Tak ada yang pasti di politik. Zaman berubah, pemimpin berganti. Respons publik Arab dan negara-negara berpenduduk Muslim terhadap UEA-Bahrain memberi kesempatan ”cek ombak” bagi Arab Saudi guna memikirkan godaan Israel.
Oleh
MH SAMSUL HADI
·2 menit baca
Bagi sebagian umat Muslim di Tanah Air, nama Sheikh Abdulrahman al-Sudais cukup populer. Ia adalah imam Masjidil Haram, Arab Saudi, dengan ciri dan gaya bacaan Al Quran yang khas, mudah dikenali, dan akrab di telinga bagi umat Muslim di Indonesia.
Selain menjadi imam Masjidil Haram, Sheikh Sudais sejak 8 Mei 2012 juga menjabat Kepala Pengelola Dua Masjid Suci (Masjidil Haram di Mekkah dan Masjid Nabawi di Madinah). Fatwa-fatwa dan keputusannya selalu ditunggu, terutama terkait dua masjid tersuci bagi umat Muslim itu pada era pandemi Covid-19. Peraih gelar PhD bidang syariat Islam di Universitas Ummul Qura itu mendapat penghargaan ”Tokoh Islam Tahun 2005 (Islamic Personality Of the Year)” oleh Panitia Dubai International Holy Qur’an Awards.
Dalam dua pekan terakhir, Sheikh Sudais menjadi buah bibir dan bahan polemik terkait khotbah Jumat-nya, 4 September lalu. Dalam khotbah berdurasi sekitar 26 menit itu, sebenarnya tak ada yang spesial dari pesan imam Masjidil Haram tersebut. Penggalan pesan yang menjadi polemik adalah ketika ia menguraikan isu hubungan antaragama, hubungan anak-orangtua berbeda agama, dan Nabi Muhammad yang bertetangga baik dengan Yahudi di Madinah.
Namun, potongan pesan sekitar 2 menit itu diangkat oleh media Barat dan Israel dengan memberi kerangka (framing) seolah sinyal dari Arab Saudi menuju normalisasi dengan Israel, seperti yang dilakukan Uni Emirat Arab (UEA) dan Bahrain. ”Setelah kesepakatan UEA dan Bahrain, apakah Arab Saudi memperlunak sikap terhadap Israel?” tulis kantor berita Reuters, 15 September 2020. Media Israel pun ”bersorak-sorai” memberitakan pesan itu. ”Khotbah beri sinyal Arab Saudi makin dekat menuju normalisasi dengan Israel,” tulis The Jerusalem Post, 6 September 2020.
Lebih dari sebulan terakhir ini, isu normalisasi negara- negara Arab dengan Israel hangat jadi pembicaraan. Diawali UEA pada 13 Agustus lalu, disusul Bahrain pada 11 September. Upacara penandatanganan peresmian hubungan UEA-Bahrain dan Israel digelar di Gedung Putih, Washington DC, Amerika Serikat, 15 September. Presiden AS Donald Trump menyebut negara Arab Teluk ketiga, Arab Saudi, akan menjalin kesepakatan dengan Israel ”pada saat yang tepat”.
Sudah bukan rahasia lagi, AS dan Israel begitu menginginkan Arab Saudi—yang dipimpin Sang Penjaga Dua Kota Suci—menjalin hubungan diplomatik dengan Israel. Hubungan diplomatik itu diharapkan menjadi ”peresmian” atas hubungan diam-diam yang diyakini telah terjalin di antara mereka selama ini, seperti pada kasus normalisasi UEA-Bahrain dan Israel. Arab Saudi bakal terus menjadi target utama Israel, dengan dukungan AS, untuk diikat dalam hubungan resmi. Bahaya ancaman dari Iran akan terus dikipaskan.
Apakah Riyadh akan juga tergoda berkawan dengan Israel? Pernyataan resmi terakhir per 15 September 2020 dalam sidang kabinet yang dipimpin Raja Salman bin Abdulaziz al-Saud, Arab Saudi menegaskan masih berpegang pada Inisiatif Damai Arab tahun 2002. Ini berarti, jika penegasan itu bisa dipercaya, Arab Saudi tak akan menormalisasi hubungan dengan Israel bila Israel tidak menarik diri dari wilayah pendudukan. Benarkah demikian?
Tidak ada yang pasti dalam politik. Zaman berubah, pemimpin akan berganti. Respons publik Arab dan negara- negara berpenduduk Muslim terhadap UEA-Bahrain akan memberi kesempatan ”cek ombak” bagi Arab Saudi untuk memikirkan godaan dari Israel secara langsung ataupun tidak langsung melalui AS. Apalagi, jika takhta Raja Salman sudah beralih ke putra mahkotanya, Pangeran Mohammed bin Salman. Siapa tahu?