Pertarungan Dua Perspektif Menuju Solusi Isu Palestina
Pembukaan hubungan diplomatik UEA dan Bahrain dengan Israel membelah perspektif dunia Arab dalam mencari solusi atas isu Palestina. Sejarah akan mencatat siapa dari pendukung dua perspektif itu yang mendekati kebenaran.
Oleh
MUSTHAFA ABD RAHMAN, DARI KAIRO, MESIR
·6 menit baca
Pembukaan hubungan diplomatik Uni Emirat Arab (UEA) dan Bahrain dengan Israel melalui upacara penandatanganan di Gedung Putih, Washington DC, AS, Selasa (15/9/2020), tak pelak lagi merupakan peristiwa terbesar di Timur Tengah saat ini. Peristiwa itu serta merta membelah perspektif dunia Arab dalam mencari solusi ideal atas isu Palestina.
Perspektif pertama adalah perspektif lama yang berpijak pada Inisiatif Damai Arab tahun 2002 yang dicetuskan oleh (saat itu) Putra Mahkota Arab Saudi Abdullah bin Abdulaziz, kemudian diadopsi sebagai Inisiatif Damai Arab dalam KTT Liga Arab di Beirut, Lebanon, tahun 2002.
Inisiatif Damai Arab 2002 menegaskan kesediaan negara-negara Arab dan Islam yang tergabung dalam organisasi Liga Arab dan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) membuka hubungan diplomatik dengan Israel secara kolektif, dengan imbalan berdirinya negara Palestina di atas tanah tahun 1967 dengan ibu kota Jerusalem Timur. Perspektif lama ini secara resmi masih dianut oleh sebagian besar negara Arab di bawah pimpinan Arab Saudi.
Perspektif kedua adalah perspektif baru yang diusung UEA dan Bahrain. Perspektif baru ini didukung oleh Mesir dan Kesultanan Oman. Mesir sudah membuka hubungan resmi dengan Israel sejak tahun 1979 melalui perjanjian damai Camp David. Adapun Kesultanan Oman masih bertahan menjalin hubungan tidak resmi dengan Israel, meskipun banyak menduga Oman akan menyusul UEA dan Bahrain, cepat atau lambat.
Arab Saudi dalam posisi unik atau bermain dua kaki, yaitu tetap memegang teguh Inisiatif Damai Arab tahun 2002, tetapi dalam waktu yang sama mendukung perspektif UEA dan Bahrain. Perspektif baru ini meyakini bahwa solusi ideal atas isu Palestina adalah membuka dahulu hubungan diplomatik dengan Israel, kemudian baru melobi Israel agar bersedia mencapai solusi politik yang adil atas isu Palestina.
Dengan kata lain, UEA dan Bahrain ingin membalik paradigma pola pikir dalam Inisiatif Damai Arab 2002, yakni beralih dari syarat berdirinya negara Palestina dahulu kemudian membuka hubungan diplomatik dengan Israel, menjadi membuka hubungan resmi dengan Israel dulu, lalu berjuang mendirikan negara Palestina.
Para pejabat serta media UEA dan Bahrain masih terus menegaskan bahwa meskipun memutuskan membuka hubungan diplomatik dengan Israel, bukan berarti mereka meninggalkan Palestina. Mereka menyatakan bahwa membuka hubungan resmi dengan Israel justru untuk menyelamatkan Palestina.
Para pejabat dan media UEA dan Bahrain berdalih, saat ini tidak ada pilihan lain, kecuali membuka hubungan resmi dengan Israel untuk mencari solusi ideal atas isu Palestina setelah bangsa Arab melalui perang maupun perundingan damai sekian dekade gagal mengembalikan hak-hak rakyat Palestina.
Para pejabat dan media UEA masih sangat berbangga menyatakan, hubungan resmi UEA-Israel telah berhasil membekukan rencana Israel menganeksasi Lembah Jordan atau 30 persen wilayah Tepi Barat. Namun, PM Israel Benjamin Netanyahu sudah sering membantah bahwa hubungan resmi UEA-Israel tidak membekukan—tetapi hanya menunda—aneksasi wilayah Tepi Barat.
Saling kecam
Ironisnya, para pendukung dua perspektif itu bukannya saling mendukung atau bekerja sama menuju solusi ideal isu Palestina, tetapi saling serang dan mengecam satu sama lain. Aksi saling kecam itu kini mewarnai berbagai media massa di Timur Tengah dalam beberapa hari terakhir ini. Hal itu tak terlepas dari persaingan geopolitik sengit antara poros Arab Saudi-UEA-Mesir, poros Iran, dan poros Turki-Qatar.
Para pejabat dan media poros Iran dan poros Turki-Qatar mengecam perspektif UEA-Bahrain itu. Sementara para pejabat dan media poros Arab Saudi-UEA-Mesir mendukung perspektif UEA-Bahrain.
Media Mesir, Al-Ahram Weekly, edisi 17-23 September 2020, menurunkan tulisan dengan judul ”Bye-bye Arab Peace Initiative”. Menurut media itu, hubungan resmi UEA dan Bahrain dengan Israel telah mengubur Inisiatif Damai Arab 2002. Koran mingguan berbahasa Inggris itu memprediksi, akan ada negara Arab lain yang akan mengikuti jejak UEA dan Bahrain.
Palestina dalam konteks ini berada di poros Iran dan poros Turki-Qatar yang mengecam keras perspektif UEA-Bahrain. Para pejabat Palestina sering menyebut, aksi UEA-Bahrain membuka hubungan resmi dengan Israel seperti menikam Palestina dari belakang.
Tak pelak lagi media Arab Saudi, UEA, dan Mesir kini mengecam keras sikap Palestina yang menolak perspektif UEA-Bahrain itu. Kolomnis asal Arab Saudi, Abdulrahman al-Rashed, dalam artikelnya di harian Asharq al Awsat edisi Selasa, 15 September 2020, menyebut, bendungan telah ambruk. Ia menulis, UEA dan Bahrain—sebelumnya Mesir dan Jordania—telah membuka hubungan resmi dengan Israel, sedangkan Arab Saudi, Oman, dan Sudan menyambut positif.
Menurut Rashed, laju kereta hubungan resmi Arab-Israel tidak akan berhenti di Manama, ibu kota Bahrain, saat Palestina masih gagal memahami perkembangan itu. Ia menyebut, pimpinan Palestina sekarang hidup jauh dari realitas kehidupan yang sudah sangat berubah dan tidak memahami kondisi baru negara-negara Arab yang telah setengah abad mendukungnya.
Pengamat Arab Saudi, Abdulah bin Bijad al-Otaibi dalam artikelnya di harian Asharq al Awsat edisi Minggu, 13 September 2020, mengatakan bahwa membuka hubungan resmi dengan Israel dan dalam waktu yang sama tetap mendukung Palestina adalah solusi realistis saat ini di tengah sangat sulitnya konflik Arab-Israel yang berlangsung tujuh dekade.
Menurut Otaibi, jalan yang ditempuh UEA dan Bahrain adalah jalan perdamaian Arab Teluk untuk mencairkan kebekuan isu Palestina saat ini sehingga isu Palestina tidak dijadikan komoditas dagang oleh pihak-pihak yang hanya ingin mengambil keuntungan sesaat dari isu Palestina.
Aneksasi jadi ukuran
Terlepas polemik antara kubu pro dan kontra UEA-Bahrain yang menghiasi berbagai media di Timur Tengah saat ini, tentu sejarah nanti akan mencatat siapa dari pendukung dua perspektif tersebut yang mendekati kebenaran. Uji coba awal untuk melihat siapa dari pendukung dua perspektif itu yang paling mendekati kebenaran adalah terkait isu aneksasi wilayah di Tepi Barat.
Jika Israel nanti tidak pernah melaksanakan aneksasi atas Lembah Jordan atau 30 persen wilayah Tepi Barat, klaim UEA adalah benar bahwa hubungan resmi UEA-Israel berhasil membekukan aneksasi tersebut. Tetapi, bila hal ini terjadi, sumbangsih UEA dalam isu Palestina sangat besar karena hampir semua sepakat bahwa aneksasi akan mengubur solusi dua negara, Palestina-Israel.
Sebaliknya, jika Israel kelak tetap melakukan aneksasi, klaim UEA tidak benar dan sekaligus gagal pula mencari solusi ideal atas isu Palestina melalui pembukaan hubungan resmi dengan Israel. Bila hal ini terjadi, akan muncul opini, yakni mencegah aneksasi saja sudah gagal, apalagi mau mendirikan negara Palestina dengan ibu kota Jerusalem Timur.
Akan muncul pula nanti opini bahwa apa yang dilakukan UEA dan Bahrain saat ini tidak lebih hanya membuat Palestina semakin tidak berdaya. Di tengah pertarungan dua perspektif itu, Palestina yang berada di pihak paling lemah seharusnya tidak emosional dengan mengecam keras sana-sini, tetapi bisa bermain cantik dengan memasang dua kaki.
Fatah dan Hamas harus bersatu untuk menghadapi perkembangan yang semakin tidak menguntungkan Palestina. Pimpinan Palestina kemudian harus berbagi peran. Tokoh seperti Presiden Mahmoud Abbas harus tetap menjaga hubungan baik dengan Arab Saudi, UEA, dan Bahrain. Sementara tokoh seperti Ismail Haniya (pemimpin Hamas) menjaga hubungan dengan poros Turki-Qatar dan poros Iran.