Aktivis Mahasiswa Pasang Plakat ”Thailand Milik Rakyat”
”Plakat Rakyat” itu merujuk plakat asli terbuat dari kuningan yang tertanam beberapa dekade di Royal Plaza. Plakat itu untuk memperingati akhir kekuasaan kerajaan yang absolut pada 1932. Plakat itu hilang tahun 2017.
Oleh
Luki Aulia
·4 menit baca
BANGKOK, MINGGU — Ribuan pengunjuk rasa prodemokrasi memasang plakat yang menyatakan Thailand adalah ”milik rakyat”. Bukan milik raja. Pernyataan sikap keras ini hasil dari gelombang unjuk rasa paling berani yang digelar para aktivis mahasiswa. Hampir setiap hari selama dua bulan terakhir ini, anak-anak muda menggugat peran monarki dan menuntut Perdana Menteri Thailand Prayut Chan-O-Cha mundur.
Plakat peringatan yang disebut ”Plakat Rakyat” tertanggal 20 September 2020 ini dipasang para aktivis mahasiswa, Minggu (20/9/2020) sore, di Lapangan Sanam Luang, Bangkok, Thailand. Di plakat itu tertulis pernyataan: ”Rakyat menyatakan negara ini milik rakyat, bukan milik raja”.
”Ganyang feodalisme. Panjang umur rakyat!” teriak Parit Chiwark, salah satu tokoh mahasiswa di balik aksi unjuk rasa itu, di hadapan massa pengunjuk rasa.
Selama akhir pekan ini, para pengunjuk rasa turun ke kawasan bersejarah di Bangkok, Lapangan Sanam Luang, yang berdekatan dengan Istana Kerajaan. Para pengunjuk rasa menuntut reformasi dan meminta keluarga kerajaan untuk tidak ikut campur dalam politik kerajaan. Otoritas keamanan memperkirakan unjuk rasa diikuti hingga 18.000 orang. Ini merupakan unjuk rasa terbesar sejak kudeta Thailand pada 2014.
Gerakan anak muda ini mengajak rakyat mempertanyakan dan menggugat peran keluarga kerajaan dalam urusan publik. Hal seperti ini belum pernah terjadi sebelumnya karena selama ini mempertanyakan keluarga kerajaan dianggap tabu di Thailand. Apalagi dengan diberlakukannya undang-undang pencemaran nama baik Kerajaan Thailand atau UU Lese Majeste.
Hapus sejarah
”Plakat Rakyat” baru itu sebenarnya merujuk pada plakat asli terbuat dari kuningan yang tertanam selama beberapa dekade di Royal Plaza. Plakat itu untuk memperingati akhir dari kekuasaan kerajaan yang absolut pada 1932. Namun, plakat itu hilang secara misterius pada 2017 atau setelah Raja Maha Vajiralongkorn menduduki kekuasaan setelah ayahnya mangkat.
Tiba-tiba ada plakat baru yang mengingatkan rakyat Thailand untuk tetap setia kepada bangsa, agama, dan raja. Para aktivis menilai, plakat asli yang hilang itu merupakan simbol dari sejarah politik Thailand yang lebih utuh. Dan, hilangnya plakat itu dicurigai sebagai upaya menghapus sejarah tersebut.
Menurut pengamat Paul Chambers, plakat Sanam Luang yang baru itu akan dianggap pemerintah kerajaan sebagai ancaman. Ia juga mengingatkan, jika unjuk rasa terus berlangsung, pemerintah kerajaan akan terpancing menggunakan kekerasan untuk menangani para pengunjuk rasa.
Ribuan pengunjuk rasa semula berencana untuk bergerak ke kantor perdana menteri, tetapi batal dan beralih ke lembaga penasihat kerajaan yang berseberangan dengan Istana Kerajaan. Para pengunjuk rasa menyampaikan daftar tuntutan mereka untuk raja melalui lembaga itu. Lembaga ini dianggap paling berpengaruh karena terdiri atas para penasihat kerajaan yang sangat berpengaruh di Thailand.
Bubarkan kabinet
Gerakan anak muda Thailand yang sedikit banyak terinspirasi oleh gelombang protes kelompok prodemokrasi di Hong Kong ini menuntut pemerintahan Prayut dibubarkan. Mereka juga menuntut penyusunan kembali konstitusi yang sebelumnya dibuat oleh militer pada 2017. Massa juga menuntut otoritas untuk menghentikan perlakuan melecehkan terhadap lawan-lawan politiknya.
Sejumlah faksi di dalam gerakan itu juga menyerukan agar ada pemeriksaan terhadap keuangan istana, penghapusan undang-undang pencemaran nama baik kerajaan, dan tuntutan agar raja tetap berada di luar urusan politik. Raja Maha Vajiralongkorn berkuasa dan mendapat dukungan dari militer yang kuat dan kalangan konservatif yang mapan. Ia lebih banyak menghabiskan waktunya di Eropa. Rakyat marah kepada raja karena perekonomian yang memburuk akibat pandemi Covid-19.
Prayut menegaskan, pihaknya akan bertindak tegas jika para pengunjuk rasa mendesak terlalu keras. Gelombang unjuk rasa seperti ini bukan pertama kali terjadi. Sejak 1932, militer sudah berkali-kali melakukan kudeta menyusul aksi protes yang berakhir rusuh. Militer beralasan, kudeta itu harus dilakukan untuk melindungi raja.
Sampai sejauh ini, gelombang protes masih berlangsung damai meski puluhan aktivis mahasiswa ditahan dengan tuduhan penghasutan. Mereka kemudian dibebaskan dengan uang jaminan. Menurut rencana, akan ada lagi aksi protes di luar gedung parlemen, Kamis mendatang. Pada saat itu parlemen diagendakan membahas rencana perubahan konstitusi.
Namun, anggota parlemen dari oposisi, Rangsiman Rome, tidak yakin akan dibahas soal reformasi monarki pada pertemuan itu. ”Anggota-anggota parlemen khawatir dan takut mereka akan mendapat masalah,” ujarnya.
Selain protes di parlemen, menurut rencana, akan ada mogok massal pada 14 Oktober mendatang. ”Rakyat sudah bangkit. Saya akan terus ikut berunjuk rasa sampai akhir hidup saya,” kata Napassorn Saengduean (20), mahasiswa. (REUTERS/AFP)