Tiga tahun berlalu tanpa ada perubahan signifikan yang diperlihatkan Pemerintah Myanmar untuk memulihkan penderitaan etnis minoritas di Negara Bagian Rakhine, khususnya etnis Rohingya. Hidup mereka terlunta-lunta.
Oleh
Mahdi Muhammad
·5 menit baca
Tiga tahun berlalu tanpa ada perubahan signifikan yang diperlihatkan Pemerintah Myanmar untuk memulihkan penderitaan etnis minoritas di Negara Bagian Rakhine, khususnya etnis Rohingya. Hidup mereka terlunta-lunta di pengungsian. Indonesia mendesak Pemerintah Myanmar lebih optimal menuntaskan tanggung jawab itu, khususnya merepatriasi mereka secara bermartabat.
Dalam sidang ke-14 Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa di Geneva, Swiss, Senin (14/9/2020), Komisioner Tinggi Dewan HAM PBB Michelle Bachelet mengatakan, tidak ada perubahan signifikan dalam beberapa tahun terakhir di daerah asal warga etnis Rohingya. Harapan akan makin sedikitnya jumlah korban sipil tak terbukti. Sebaliknya, warga sipil menjadi sasaran kejahatan kemanusiaan.
Misi Pencari Fakta PBB di Myanmar, menurut Bachelet, menemukan, militer Myanmar tidak hanya melakukan kejahatan kemanusiaan kepada etnis Rohingya, tetapi juga beberapa etnis minoritas lain, seperti Chin, Mro, dan Daignet. Mereka mengalami penghilangan paksa hingga pembunuhan ekstrayudisial. Rumah mereka dibakar. Citra satelit mendukung pernyataan Bachelet.
Duta Besar Myanmar untuk PBB di Geneva Kyaw Moe Tun membantah isi laporan itu dan menyebutnya tidak akurat. Tun mengatakan, situasi di Rakhine sangat kompleks karena terkait dengan akar sejarah. Dia menegaskan, seseorang yang bukan warga negara Myanmar tidak akan memahami hal ini. Menurut dia, Myanmar membutuhkan waktu dan ruang untuk berubah, mereformasi tata kelola negaranya.
Tahun 2017, lebih dari 730.000 warga Muslim Rohingya melarikan diri dari Negara Bagian Rakhine. Mereka lari dari operasi militer Myanmar, yang menurut PBB dilakukan dengan maksud genosida. Tentara dan Pemerintah Myanmar secara konsisten menolak tuduhan itu dan mengatakan militer menanggapi serangan pemberontak Rohingya.
Penasihat Negara Myanmar Aung San Suu Kyi ketika berbicara di Mahkamah Internasional di Den Haag, Belanda, pertengahan Desember tahun lalu, mengatakan, tindakan yang dilakukan oleh militer Myanmar bukanlah genosida, melainkan ”operasi pembersihan” sebagai tanggapan aksi terorisme kombatan Rohingya atas puluhan pos polisi.
Mengutip data Komisi Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR), tiga tahun setelah eksodus besar pada 2017 itu, saat ini ada sekitar 860.000 pengungsi Rohingya di kamp pengungsi Cox’s Bazar, Bangladesh. Negara itu menjadi tuan rumah bagi sembilan dari sepuluh pengungsi Rohingya yang tercatat di wilayah Asia Pasifik, termasuk Indonesia.
Manusia perahu
Indikasi makin banyaknya pengungsi ditandai, antara lain, oleh makin banyaknya manusia perahu yang mengadu nasib di perairan Andaman dan Selat Malaka. Dalam dua bulan terakhir, 395 pengungsi Rohingya mendarat di pesisir Kabupaten Aceh Timur, Aceh. Menurut Menteri Luar Negeri RI Retno LP Marsudi, 296 pengungsi di antaranya masuk ke wilayah Indonesia pada 7 September lalu setelah tujuh bulan terkatung-katung di laut lepas.
Menurut data Amnesty International, pada pendaratan terakhir, sebagian besar pengungsi itu adalah perempuan dan ada 14 anak. Sekitar 30 pengungsi meninggal dalam perjalanan dan jenazahnya terpaksa dibuang ke laut.
Kondisi di kamp menjadi satu sebab mereka memilih lari. Satu barak pengungsi umumnya dihuni oleh 10-13 orang. Menurut laporan The Guardian, dengan jumlah penghuni sebanyak itu, menjaga jarak antara satu dan lainnya di tengah pandemi Covid-19 adalah hal yang mustahil.
Tak hanya itu, fasilitas MCK (mandi, cuci, kakus) pun tidak memadai. Menurut laporan The Guardian, di sebuah kamp pengungsi ada 43 sumur yang bisa dimanfaatkan oleh sekitar 16.000 orang.
Laporan yang dikeluarkan oleh Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat tahun 2019, yang dikutip oleh Al Jazeera, juga menunjukkan bahwa pengungsi perempuan dan anak-anak rentan diculik dan diselundupkan oleh sindikat perdagangan orang. Mereka diselundupkan ke luar kamp menggunakan perahu menuju beberapa negara tujuan, seperti Malaysia, Indonesia, Thailand, atau bahkan Australia.
Meskipun bukan negara pihak dalam Konvensi Pengungsi 1951, Indonesia bersedia—untuk sementara waktu—menerima para pengungsi etnis Rohingya. Langkah itu diambil atas pertimbangan kemanusiaan. ”Saya ingatkan pentingnya berbagi tanggung jawab untuk mengatasi tantangan ini,” kata Retno dalam pertemuan menteri negara anggota ASEAN, 9 September 2020.
Retno mengatakan, masalah ini akan terus berulang apabila pokok persoalannya tidak diselesaikan. Untuk itu, Retno menyarankan agar Pemerintah Myanmar, dengan bantuan dan dukungan dari ASEAN, bisa mengatasi akar masalahnya di Myanmar.
Dalam jumpa pers secara daring, Sabtu (12/9/2020), Retno menegaskan, Myanmar adalah rumah bagi etnis Rohingya. ”Maka, prioritas harus diberikan untuk memastikan safe, voluntary, and dignified repatriation to Myanmar,” kata Retno.
Pernyataan Retno ini menjadi sesuatu ”yang baru” dalam perjalanan diplomatik Indonesia untuk menjembatani permasalahan pengungsi etnis Rohingya. Sejak 2016, melalui forum Bali Process, Indonesia bersama-sama sejumlah negara dan lembaga internasional menyepakati mekanisme ”kedaruratan” jika terjadi krisis pengungsi di suatu negara, termasuk krisis Rohingya. Selama beberapa tahun, Indonesia bersama-sama dengan sejumlah lembaga, seperti UNHCR, Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM), dan Komite Internasional Palang Merah (ICRC), memberi bantuan kedaruratan kemanusiaan.
Namun, pengungsi tidak bisa selamanya berada di Indonesia. Harus ada jalan keluar agar mereka dapat hidup lebih bermartabat sebagai manusia. Selain memilih untuk mendasari kerja diplomatiknya dengan fondasi kemanusiaan, Indonesia mendorong sejumlah mitra untuk lebih terbuka pada isu Rohingya. Sembari membantu manusia perahu dan warga di Rakhine, Indonesia mendorong proses repatriasi dan mengatasi kejahatan yang menyasar pengungsi, yaitu penyelundupan manusia.
Aktor
Tidak bisa dimungkiri, aktor utama penyelesaian isu Rohingya adalah Pemerintah Myanmar. Meskipun demikian, merujuk pada ungkapan Retno tentang berbagi tanggung jawab, penting kiranya keterlibatan dan dukungan kawasan serta global atas isu itu.
Juru bicara UNHCR, Andrej Mahecic, sepakat dengan sikap Indonesia. Dikutip dari laman UNHCR, Mahecic mengatakan, solusi untuk mengakhiri penderitaan etnis Rohingya terletak di tangan Myanmar.
Mahecic mengatakan, menciptakan kondisi yang kondusif bagi repatriasi warga Rohingya ke wilayah asalnya, Rakhine, membutuhkan keterlibatan seluruh masyarakat. Melanjutkan dialog antara otoritas Myanmar dan etnis Rohingya yang disertai langkah lain untuk menumbuhkan rasa saling percaya juga menjadi bagian dari langkah besar itu.
Upaya kolektif dari pihak luar, menurut Mahecic, harus diarahkan tidak hanya untuk memastikan martabat dan kesejahteraan etnis Rohingya saat ini, tetapi juga untuk menjaga harapan dan meningkatkan prospek kehidupan mereka yang lebih baik di masa yang akan datang.