Usulan Kebijakan Migrasi Baru Buat UE Lebih Terbuka
Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen mendesak negara anggota untuk lebih terbuka menerima pengungsi dan pencari suaka. UE akan mengumumkan aturan baru tata kelola migran dan mencabut Peraturan Dublin 1990.
Oleh
Mahdi Muhammad
·4 menit baca
BRUSSELS, KAMIS — Uni Eropa masih menjadi daerah tujuan utama jutaan pengungsi, sebagian terbesar berasal dari kawasan Timur Tengah yang berkonflik, untuk mencari kehidupan lebih baik. Namun, belum ada kebijakan dan kesepakatan mendasar bersama di antara negara-negara anggota UE tentang penerimaan dan pengelolaan para pengungsi ini.
Terdapat perbedaan sikap di antara negara-negara UE dalam menangani dan mengelola para pengungsi, terutama perbedaan antara negara-negara yang terletak di utara dan timur.
Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen dalam pidatonya di hadapan Parlemen Eropa di Brussels, Rabu (16/9/2020), menyatakan, migrasi adalah sebuah fakta, kondisi yang nyata, dan seluruh warga ”Benua Biru” harus belajar mengelolanya.
”Migrasi selalu menjadi fakta bagi Eropa, dan akan selalu demikian. Kita harus dan wajib untuk bisa mengaturnya, mengelolanya,” kata Von der Leyen. Von der Leyen berencana untuk mengumumkan kebijakan pengelolaan migran dan para pencari suaka pekan depan.
Dalam pidatonya, Von der Leyen mengatakan, kebijakan UE tentang migran dan para pencari suaka harus mengakui hal yang mendasar terlebih dulu, yaitu setiap manusia memiliki martabat mulia. Dasar itulah yang digunakan Von der Leyen untuk mendesak setiap negara Eropa bekerja sama menangani para migran dan pencari suaka.
”Saya mengharapkan semua negara anggota untuk ikut serta. Migrasi adalah tantangan Eropa dan seluruh Eropa harus melakukan bagiannya,” katanya. Dia menambahkan, UE mengambil pendekatan yang lebih manusiawi dalam penanganan para migran. Dia juga menyatakan, menyelamatkan nyawa para migran yang terkatung-katung di laut bukanlah sebuah pilihan.
Pidato Von der Leyen diterima baik sejumlah anggota Parlemen Eropa. Meski begitu, Von der Leyen mendapatkan beberapa kali interupsi dari anggota parlemen sayap kanan Jerman setelah dirinya menuding bahwa kelompok itu menebarkan kebencian terhadap para migran.
Peraturan Dublin dan penolakan anggota
Von der Leyen dalam pidatonya menyatakan bahwa UE akan menggantikan Peraturan Dublin yang dibuat tahun 1990 dengan sistem tata kelola migrasi yang baru. Peraturan Dublin yang terakhir kali diamendemen pada tahun 2013 itu dinilai tidak bisa mengakomodasi kondisi dan manajemen pengungsian secara lebih luas.
Berdasarkan Peraturan Dublin, untuk mencegah para migran mengajukan permohonan suaka secara paralel ke beberapa negara Eropa, semua permintaan diproses di negara yang pertama kali dimasuki para pengungsi. Dengan sistem yang baru, Von der Leyen menjanjikan sistem tata kelola migrasi Eropa yang lebih baik yang akan membantu proses suaka dan repatriasinya. Dia mencoba meyakinkan bahwa aturan baru ini secara signifikan akan meningkatkan kualitas hidup dan kondisi para pengungsi.
Selain itu, aturan baru ini juga mengajak kerja sama negara ketiga di luar negara-negara UE. Negara-negara tersebut untuk sementara menampung para migran dengan imbalan bantuan Uni Eropa sebelum mencapai wilayah Eropa dengan cara legal.
Hal yang masih menjadi perdebatan adalah klausul kewajban bagi negara anggota UE untuk menerima migran saat terjadi lonjakan. Klausul ”wajib menerima” inilah yang dinilai sejumlah negara akan mendapat tentangan keras.
Dalam beberapa tahun terakhir, upaya untuk merelokasi pencari suaka di UE telah ditolak oleh apa yang disebut kelompok Visegrad-Hongaria, Polandia, Republik Ceko, dan Slovakia, yang juga disebut kelompok timur. Sementara negara-negara tempat para migran pertama kali mendarat, seperti Yunani, Malta, dan Italia, telah meminta bantuan karena mengalami kesulitan dalam penanganan para pengungsi.
Negara-negara utara, yang ekonominya lebih mapan, seperti Jerman, Swedia, dan Belanda, adalah beberapa negara yang menginginkan para migran dan pencari suaka didistribusikan ke semua negara anggota UE.
Jerman, yang memegang enam bulan kepresidenan UE, telah menjadi yang paling terbuka untuk menerima para migran.
Menteri Dalam Negeri Jerman Horst Seehofer menyatakan keputusan Jerman untuk mengambil 1.553 pengungsi lagi dari kamp-kamp di Yunani dengan mengatakan negara tersebut dapat bangga atas perannya dalam krisis migrasi Eropa. Pada saat yang sama, Kanselir Jerman Angela Merkel mengeluh tentang kurangnya solusi bersama UE untuk menerima lebih banyak pengungsi.
Selasa (15/9/2020), Jerman mengumumkan akan menerima 408 keluarga, sebagian besar anak-anak dan orangtuanya. Keputusan itu diambil setelah peristiwa kebakaran yang menghancurkan kamp pengungsi Moria di Pulau Lesbos, Yunani, dan menyebabkan hampir 13.000 migran kehilangan tempat tinggal.
Namun, keputusan itu menuai kritik, terutama dari partai sayap kanan Alternatif untuk Jerman (AfD) yang popularitasnya melonjak menyusul keputusan Kanselir Angela Merkel pada 2015 untuk membiarkan lebih dari 1 juta pengungsi masuk ke Jerman. (AFP/REUTERS)