Sudah saatnya Uni Eropa perlu menerapkan sikap dan tindakan yang tegas dengan menjatuhkan sanksi-sanksi seperti gaya Amerika Serikat.
Oleh
Luki Aulia
·3 menit baca
BRUSSELS, RABU —Kebijakan luar negeri Uni Eropa selama ini ternyata tidak efektif menangani pelanggar hak asasi manusia di seluruh dunia. Untuk itu, barangkali sudah saatnya Uni Eropa perlu menerapkan sikap dan tindakan yang tegas dengan menjatuhkan sanksi-sanksi seperti gaya Amerika Serikat.
Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen mengusulkan hal itu dalam ”pidato kenegaraannya”, Rabu (16/9/2020).
Setelah berhasil menggunakan kekuatan nonmiliter (soft power) untuk mengubah negara-negara komunis menjadi penganut ekonomi pasar, Uni Eropa (UE) malah kerap susah bersepakat satu suara dan satu sikap untuk memengaruhi diplomasi internasional dalam berbagai persoalan, mulai dari isu Venezuela hingga Mali.
”Mengapa pernyataan sederhana tentang nilai-nilai UE saja ditunda atau malah disandera karena alasan-alasan tertentu,” kata Von der Leyen.
Apabila lambat bergerak, ia mendorong negara-negara anggota UE untuk memberanikan diri mengambil cara membuat keputusan berdasarkan hasil mayoritas melalui proses pemungutan suara. Cara ini memungkinkan UE bisa bertindak cepat menangani berbagai masalah tanpa proses yang berbelit-belit demi mencapai suara bulat dari 27 negara anggota UE.
Von der Leyen mengusulkan pembekuan aset bagi siapa saja yang bertanggung jawab atas pelanggaran HAM, mirip dengan Undang-Undang Magnitsky tahun 2012 di AS. Sergei Magnitsky adalah pengacara Rusia yang ditahan tahun 2008 karena menuduh pejabat Rusia terlibat dalam penipuan pajak berskala besar. Magnitsky meninggal di penjara Moskwa tahun 2009 setelah mengeluh mengalami penganiayaan.
Respons cepat
Dengan cara ini, UE akan bisa menjatuhkan sanksi lebih cepat pada siapa pun di manapun di dunia ini membekukan aset mereka di UE dan melarang mereka masuk UE. Von der Leyen memberikan contoh Rusia. Ia menuding Rusia secara sistematis berusaha melenyapkan lawan-lawan politik mereka yang pro-demokrasi, baik di dalam maupun luar negeri. ”Jalur pipa gas Nord Stream 2 antara Jerman dan Rusia tidak akan meningkatkan hubungan UE dengan Eropa dan Rusia yang sedang tegang,” ujarnya.
Contoh kasus lain yang dikemukakan Von der Leyen adalah intimidasi Turki terhadap Yunani dan Siprus di Mediterania Timur dalam kasus perselisihan sumber energi dan perbatasan maritim. Ia bisa memahami posisi Turki yang sulit dan harus menampung jutaan pengungsi.
Namun, hal itu tidak bisa membenarkan intimidasi terhadap Yunani dan Siprus. Kedua negara anggota UE itu marah kepada Turki karena Turki mengirim kapal-kapal penelitian dengan pengawalan angkatan laut di wilayah perairan yang menjadi sengketa.
”Turki masih dan akan tetap menjadi tetangga yang penting. Tetapi, meski dekat secara geografis, kami justru makin tidak seiring sejalan,” kata Von der Leyen kepada Parlemen Eropa.
Konflik
Ada kekhawatiran akan terjadi konflik akibat perselisihan itu. Siprus mendesak negara-negara anggota UE untuk segera menjatuhkan sanksi terhadap Turki karena tetap nekat melakukan pengeboran di wilayah sengketa. Presiden Dewan UE Charles Michel menegaskan, UE akan tegas membela Siprus dalam persoalan itu.
Para pemimpin negara anggota UE akan bertemu di Brussels, pekan depan, untuk membicarakan hubungan mereka dengan Turki. Keputusan UE tentang kebijakan luar negeri dan sanksi harus diambil dengan suara bulat. Ini yang sering membuat lambat, bahkan menunda tindakan, karena setiap negara anggota menggunakan hak veto untuk kepentingan mereka sendiri.
Salah satu contohnya, UE tak kunjung menjatuhkan sanksi terhadap Belarus karena kasus pemilu hanya karena Siprus tidak setuju. Siprus baru akan mau sepakat jika UE juga menghukum Turki. ”Rusia tidak boleh ikut campur di Belarus. Rakyat Belarus harus memutuskan masa depan mereka sendiri,” kata Von der Leyen. (REUTERS/AFP)