Pilihan kata dalam perjanjian normalisasi hubungan Israel, Bahrain, dan Uni Emirat Arab menuai kritik dari banyak pihak. Implikasi akibat pilihan kata itu tak mudah bagi rakyat Palestina. Palestina makin terpinggirkan.
Oleh
Mahdi Muhammad
·4 menit baca
WASHINGTON, RABU — Dua negara Arab, yaitu Uni Emirat Arab dan Bahrain, akhirnya menandatangani perjanjian normalisasi hubungan dengan Israel di Gedung Putih, Washington DC, AS, Selasa (15/9/2020) waktu setempat atau Rabu dini hari WIB. Uni Emirat Arab dan Bahrain—dua negara tidak pernah berperang dengan Israel—mengikuti jejak dua negara arab lainnya, Mesir dan Jordania, yang lebih menormalisasi hubungan mereka dengan Israel.
Namun, ketidaksepakatan di antara negara Arab terjadi tidak hanya soal kebijakan yang ditempuh oleh Bahrain dan Uni Emirat Arab (UEA), tetapi juga soal pemilihan dan penggunaan kata-kata dalam perjanjian normalisasi yang ditandatangani keduanya.
Tidak lama setelah penandatanganan perjanjian normalisasi kesepakatan UEA-Israel, laman resmi Gedung Putih sudah menayangkan isi perjanjian yang ditandatangani oleh Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan Menteri Luar Negeri dan Kerja Sama Internasional UEA Pangeran Abdullah bin Zayed al-Nahyan. Sementara isi perjanjian antara Israel dan Bahrain, menurut Netanyahu, masih belum sepenuhnya lengkap.
Berbeda dengan UEA yang memiliki waktu hampir satu bulan untuk membahas isi kesepakatan, menurut Netanyahu, perjanjian dengan Bahrain masih dalam proses finalisasi. Untuk keperluan seremonial, Netanyahu mengatakan, naskah yang ditandatangani adalah naskah dinilai cukup lengkap, mewakili substansi kesepakatan normalisasi secara umum.
Istilah ”normalisasi”
Penggunaan kata ”normalisasi” sangat jamak dalam pandangan Israel dan Amerika Serikat. Normalisasi, dalam pandangan Israel dan AS serta negara-negara Barat lainnya, menandakan cairnya hubungan kedua pihak di kawasan Timur Tengah. ”Normalisasi” juga diartikan bahwa Israel, yang telah lama terisolasi, bahkan dipertanyakan keberadaannya dan hak hidupnya, muncul kembali dan diakui hak hidupnya di antara negara-negara Arab di kawasan Timur Tengah.
”Normalisasi adalah tentang memberi setiap orang kesempatan, saling menghormati keyakinan satu sama lain, dan memiliki wilayah yang lebih stabil,” kata Jared Kushner, menantu Presiden AS Donald Trump yang juga merupakan penasihat Gedung Putih, kepada kantor berita UEA, WAM, Agustus lalu.
Sebaliknya, Kushner mempertanyakan kepada para pihak yang menentang normalisasi hubungan UEA-Israel. ”Jika Anda menentang normalisasi, lalu apa yang Anda perjuangkan? Anda mendukung ekstremisme, perpecahan, dan intoleransi,” katanya.
Pernyataan tiga pihak, yaitu AS, UEA, dan Israel, menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan normalisasi adalah normalisasi hubungan (diplomatik) penuh antara UEA dan Israel. Sementara Bahrain mempersepsikan normalisasi sebagai pendirian atau pembentukan hubungan (diplomatik) penuh dengan Israel.
Namun, bagi rakyat Palestina dan Arab, kata tersebut memiliki asosiasi yang sangat negatif. Menurut Khalil Shahin, analis politik Palestina, normalisasi adalah kata yang memiliki dampak buruk bagi rakyat Palestina karena hal itu berarti kekuatan bagi Israel. ”Dalam berbagai bidang, rakyat Palestina sudah lama mengalami penderitaan, ketidakseimbangan. Normalisasi artinya memperdalam penderitaan dan ketidakseimbangan itu,” kata Shahin.
Sebuah kampanye beredar di media sosial Arab meminta orang-orang untuk menandatangani Piagam Negara Palestina dan menyatakan bahwa normalisasi dalam segala bentuknya adalah pengkhianatan.
Isu perdamaian
Para pejabat Israel dan AS mencoba memopulerkan paradigma baru perdamaian dengan frasa ”perdamaian untuk perdamaian”. Hal ini sangat kontras dengan formula lama, yaitu ”tanah untuk perdamaian” yang menjadi landasan dalam setiap perundingan dengan Israel.
Partai Likud yang dipimpin Netanyahu mengontraskan paradigma lama dengan paradigma baru ini. Mereka menyatakan, untuk pertama kalinya dalam sejarah, Perdana Menteri Netanyahu mendobrak paradigma ”tanah untuk perdamaian”.
Sekretaris Jenderal Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) Saeb Erekat menilai, perjanjian normalisasi antara UEA dan Israel bukan merupakan perdamaian untuk perdamaian seperti yang dibesar-besarkan oleh Netanyahu, Partai Likud, ataupun pejabat Pemerintah AS. Erekat menilai, perjanjian itu hanyalah perjanjian untuk memperoleh perlindungan (oleh Pemerintah AS). Ia mengutip pernyataan Kushner dengan sedikit penekanan ”pilihan Anda menormalisasi hubungan dengan Israel atau kehilangan perlindungan dari AS”.
Versi yang berbeda
Hal lain yang juga sangat krusial adalah adanya perbedaan pemahaman soal kebijakan pencaplokan wilayah Tepi Barat Palestina oleh Israel pascanormalisasi hubungan.
Dalam pandangan Pemerintah UEA, perjanjian normalisasi hubungan dengan Israel membuat Netanyahu menghentikan rencana pencaplokan atau aneksasi wilayah Tepi Barat yang semula rencananya dilaksanakan awal Juli 2020. Hal ini berdasarkan isi komunike bersama tiga pihak, AS-Israel-UEA, versi bahasa Arab yang berbunyi: perjanjian telah menyebabkan rencana Israel untuk mencaplok tanah Palestina dihentikan.
Namun, dalam komunike versi bahasa Inggris, normalisasi hanya membuat Pemerintah Israel menangguhkan rencana pencaplokan wilayah Tepi Barat Palestina dan bukan menghentikan sama sekali.
Seorang pejabat UEA menyatakan perbedaan tersebut hanyalah masalah terjemahan. Namun, dalam pandangan Palestina, terjemahan itu mengandung implikasi politik yang berbeda dan menipu.
Hanan Ashrawi, seorang pejabat senior PLO, mengklaim itu tidak jujur. ”Terjemahan dalam bahasa Arab adalah cara menyesatkan opini publik Arab dengan mengatakan mereka telah berhasil menghentikan aneksasi, padahal sebenarnya mereka menangguhkannya,” katanya.
Presiden Palestina Mahmoud Abbas secara tegas menyatakan, perdamaian, keamanan, dan stabilitas di kawasan tidak akan bisa tercapai selama pendudukan wilayah Palestina oleh Israel tidak dihentikan. Keluarnya Israel dari wilayah pendudukan, berdasarkan perbatasan tahun 1967, menurut Abbas, adalah satu-satunya cara yang bisa membawa perdamaian di kawasan ini. (AFP/REUTERS)