Dewan Keamanan Tuntut Negara Pelanggar Embargo Tarik Tentara Bayaran dari Libya
DK PBB menyetujui resolusi yang menuntut para pelanggar embargo senjata ke Libya untuk menarik tentara bayaran dari negara itu. Pada saat yang sama tersiar kabar PM Fayez al-Sarraj akan mundur.
Oleh
Mahdi Muhammad
·3 menit baca
NEW YORK, RABU — Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa, Selasa (15/9/2020), mengadopsi resolusi 2542 tahun 2020 yang menuntut negara-negara pelanggar embargo senjata PBB di Libya menarik semua tentara bayaran yang mereka kerahkan dari Libya. DK PBB juga menyerukan para pihak yang bertikai kembali melakukan perundingan dan melaksanakan gencatan senjata serta mencoba meyakinkan bahwa kekerasan militer tidak akan memberikan solusi apa pun bagi rakyat Libya.
Sebanyak 13 negara menyetujui isi resolusi tersebut. Dua negara, Rusia dan China, memilih abstain.
Resolusi tersebut disetujui mayoritas negara anggota DK PBB menyusul sejumlah laporan yang disampaikan tim ahli PBB bahwa negara-negara asing yang terlibat di dalam konflik Libya, baik mendukung Pemerintahan Kesepakatan Nasional (GNA) yang dipimpin Fayez al-Sarraj maupun mendukung Tentara Nasional Libya (LNA) pimpinan Jenderal Khalifa Haftar, melanggar embargo senjata. Sejumlah negara pendukung, seperti Rusia dan Turki, yang saling berseberangan juga diketahui mengirimkan sejumlah tentara bayaran (mercenaries) untuk memperkuat posisi mereka di Libya.
Tidak hanya negara-negara yang melanggar embargo senjata, tim ahli PBB juga menyebutkan terdapat 11 perusahaan yang secara terang-terangan melanggar keputusan DK PBB soal ini. Salah satunya adalah Grup Wagner, sebuah perusahaan keamanan swasta asal Rusia. Perusahaan ini pada Mei lalu diketahui mengirimkan 800-1.200 personel tentara bayaran untuk memperkuat pasukan Hifter, yang juga didukung oleh Pemerintah Rusia.
Sekjen PBB Antonio Guterres menyatakan kecewa dengan pemerintahan dan para pihak yang secara sengaja melanggar keputusan bersama soal embargo senjata.
”Saya terkejut dengan fakta bahwa begitu banyak perusak dan begitu banyak negara telah mencampuri situasi Libya. Mereka membangun kapasitas militer di kedua sisi, sama sekali mengabaikan resolusi Dewan Keamanan terkait embargo senjata atau tentara bayaran,” kata Guterres.
Resolusi tersebut juga meminta semua pihak untuk berkomitmen, tanpa penundaan waktu, melaksanakan gencatan senjata dan dialog politik di bawah utusan khusus PBB untuk Libya yang baru.
Delegasi Pemerintah Rusia dalam pernyataannya yang dikutip dari laman PBB menyatakan, mereka memilih abstain dalam pemungutan suara karena menilai tidak semua pandangannya tecermin dalam substansi draf resolusi. Meski begitu, Vassily Nebenzia, Perwakilan Tetap Rusia di PBB, menyatakan bahwa masa depan Libya harus ditentukan sendiri oleh rakyatnya.
Pemerintah Rusia juga memandang bahwa pelaksanaan gencatan senjata harus mendapatkan persetujuan Pemerintah Libya, tanpa menyebutkan pemerintah yang dimaksud. Rusia juga berharap Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres segera menunjuk Utusan Khusus PBB untuk Libya setelah Ghassan Salame, utusan khusus PBB sebelumnya mundur pada Maret lalu.
Resolusi tersebut juga memperpanjang misi politik PBB di Libya atau UNSMIL hingga September 2021. UNSMIL diharapkan berperan lebih dalam memfasilitasi proses politik inklusif para pihak bertikai di Libya dan untuk mengawasi pelaksanaan gencatan senjata yang langgeng dan terukur. Untuk memperkuat kerja UNSMIL, beberapa negara anggota DK PBB, yaitu Belgia, Estonia, Perancis, Irlandia, dan Jerman, akan bergabung pada 1 Januari mendatang.
Keluarnya resolusi PBB agar negara-negara pelanggar embargo menarik tentara bayaran dari Libya bertepatan dengan kemunculan kabar rencana mundurnya Perdana Menteri GNA yang didukung PBB dan Turki, Fayez al-Sarraj, dalam waktu dekat. Sarraj, dikutip dari laman Al Monitor, dikabarkan berencana mundur dari jabatannya setelah terjadi perpecahan di dalam pemerintahannya dan serangkaian protes di beberapa kota di Libya.
Alison Pargeter, peneliti senior pada Sekolah Studi Keamanan King’s College London, menilai, jika rumor itu benar, pengunduran diri Sarraj akan menciptakan kekosongan politik. Hal itu akan melemahkan dan merusak pemerintahan GNA secara keseluruhan dan hubungannya dengan Turki, yang selama ini mendukung Sarraj. (AP/Reuters)