Kejahatan Kemanusiaan Terus Berlangsung di Myanmar
PBB menilai tidak ada kemajuan signifikan dalam mengurangi kejahatan perang dan genosida etnis minoritas di Myanmar.
Oleh
Mahdi Muhammad
·3 menit baca
GENEVA, SELASA – Perserikatan Bangsa-Bangsa menyatakan tidak ada perubahan yang signifikan oleh Pemerintah Myanmar untuk menghentikan atau mengurangi kejahatan perang atas warga minoritas. Kejahatan kemanusiaan yang dilakukan dengan penghilangan paksa atau pembunuhan ekstra-yudisial dalam tiga tahun terus meningkat.
Komisioner Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia Michelle Bachelet mengatakan hal itu pada Senin (14/9/2020) di Geneva, Swiss, saat ia menyampaikan rekomendasi Misi Pencari Fakta tentang situasi hak asasi manusia di Myanmar pada sidang ke-45 Dewan Hak Asasi Manusia.
Menurut Bachelet, peningkatan jumlah korban warga sipil terjadi karena mereka secara sengaja menjadi sasaran atau diserang tanpa pandang bulu. Hal ini menjadikan tindakan para penyerang sebagai kejahatan perang atau bahkan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Di hadapan para delegasi sejumlah negara, Bachelet mengatakan, pada 2019, Misi Pencari Fakta di Myanmar telah menyimpulkan bahwa Pemerintah Myanmar bertanggung jawab atas sejumlah dugaan kejahatan genosida dan kejahatan kemanusiaan. Dewan HAM PBB, katanya, telah menyerukan pertanggungjawaban atas dugaan-dugaan tersebut.
”Namun, sayangnya, tidak ada langkah konkret yang diambil. Inisiatif nasional, termasuk pelaksanaan proses pengadilan militer yang tertutup dan tertentu saja, serta Komisi Penyelidikan Nasional tidak memadai dan tidak memenuhi standar internasional,” kata Bachelet.
Dia menambahkan, tiga tahun berlalu sejak operasi militer di Rakhine menciptakan krisis HAM yang mengerikan dan hal itu belum terselesaikan.
Berdasarkan Misi Pencari Fakta di Myanmar, menurut Bachelet, bukan hanya warga etnis Rohingya yang menjadi sasaran kejahatan kemanusiaan. Beberapa etnis minoritas lainnya, seperti Chin, Mro, dan Daignet, juga mengalami kekerasan yang sama, mulai dari penghilangan paksa hingga pembunuhan ekstra-yudisial.
Operasi militer terhadap wilayah tempat tinggal mereka di Negara Bagian Rakhine dan Chin, menurut Bachelet, membuat mereka harus meninggalkan rumah dan harta benda mereka, mengungsi untuk mencari perlindungan.
Dia mengatakan, gambar satelit dan saksi mata menunjukkan bahwa daerah Rakhine utara telah terbakar dalam beberapa bulan terakhir dan menyerukan penyelidikan independen.
Duta Besar Myanmar untuk PBB di Geneva Kyaw Moe Tun mengatakan, tuduhan pelanggaran itu tidak akurat. Dia menyatakan, Pemerintah Myanmar membutuhkan waktu dan ruang untuk berubah, melaksanakan reformasi dan tata kelola negaranya.
Tun menyatakan, Myanmar tidak menerima tudingan itu yang dinilainya tidak berdasar dan tidak terverifikasi. Tun berkilah bahwa situasi di Rakhine sangatlah kompleks karena hal ini terkait dengan akar sejarah dan tidak mudah dipahami oleh banyak pihak di luar Myanmar.
Juru bicara militer Myanmar merespons permintaan tanggapan atas laporan Bachelet di Dewan HAM PBB.
Tahun 2017, 730.000 warga Muslim Rohingya melarikan diri dari Negara Bagian Rakhine barat akibat operasi militer Myanmar, yang menurut PBB, dilakukan dengan maksud genosida atau pembantaian secara masif dan terstruktur terhadap satu suku atau kelompok minoritas tertentu yang bertujuan memusnahkan suku bangsa tersebut. Tentara dan Pemerintah Myanmar secara konsisten menolak tuduhan itu dan mengatakan militer menanggapi serangan pemberontak Rohingya.
Indonesia adalah salah satu negara yang menjadi wilayah tujuan warga Rohingya. Dalam beberapa bulan terakhir, ratusan warga Rohingya mendarat di Aceh setelah berbulan-bulan terombang-ambing di laut lepas.
Menurut data Amnesty International Indonesia, pendaratan terakhir warga Rohingya di Aceh terjadi pada 7 September. Hampir 300 pengungsi Rohingya, yang terdiri dari 102 laki-laki, 181 perempuan, dan 14 anak-anak, berada di kapal selama lebih dari tujuh bulan sebelum mendarat di wilayah pantai timur Aceh. Sekitar 30 pengungsi meninggal dalam perjalanan dan jenazahnya terpaksa dibuang ke laut.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan, kerja sama negara-negara di Asia Tenggara dibutuhkan untuk melakukan pencarian dan penyelamatan pengungsi yang masih berada di laut. Usman juga mendesak Pemerintah Indonesia untuk menginisiasi dialog kawasan dalam mengatasi persoalan Rohingya ini.
Lambannya aksi pemimpin kawasan bisa mengubah lautan menjadi pemakaman massal pengungsi Rohingya,” kata Usman. (REUTERS)