Pemerintah Afghanistan mendesak Taliban melakukan gencatan senjata untuk membuktikan awal yang baik perundingan intra-Afghanistan.
Oleh
Mahdi Muhammad
·3 menit baca
DOHA, SELASA — Gencatan senjata menjadi hal paling mendasar untuk melancarkan perundingan intra-Afghanistan. Tidak hanya untuk menimbulkan rasa percaya bahwa perundingan ini menuju ke arah perdamaian, tetapi juga untuk menghindari korban jiwa dari kedua pihak bertikai dan juga warga sipil.
Pemerintah Afghanistan, Senin (14/9/2020), kembali mengulang seruannya agar gencatan senjata segera dilakukan. Ketua tim perundingan Pemerintah Afghanistan, Abdullah Abdullah, yang juga Ketua Dewan Tinggi untuk Rekonsiliasi Nasional, mengatakan, pemerintah siap membebaskan lebih banyak lagi anggota Taliban jika kelompok ini sepakat melakukan gencatan senjata.
Juru bicara Kepresidenan Afghanistan, Sediq Seddiqi, dalam serangkaian cuitannya di Twitter, menyatakan, kehadiran tim perundingan Pemerintah Afghanistan di Doha, Qatar, adalah untuk mencapai kesepakatan gencatan senjata, mengakhiri kekerasan, serta memastikan perdamaian dan stabilitas abadi di Afghanistan.
Seruan yang sama disuarakan Pemerintah Amerika Serikat dan beberapa delegasi yang ikut serta upacara pembukaan perundingan intra-Afghanistan, Sabtu (12/9/2020). Pemerintah India, Uni Eropa, dan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) adalah beberapa di antara pemerintah dan organisasi yang mendesakkan adanya gencatan senjata sejak dimulainya perundingan intra-Afghanistan.
Berdasarkan data The New York Times, hanya dalam sepekan, sebanyak 74 orang tewas akibat kekerasan bersenjata di Afghanistan. Korban tewas terdiri dari 36 anggota militer atau polisi Afghanistan dan sisanya, 38 orang, adalah warga sipil.
Para korban, termasuk korban ledakan bom yang ditujukan pada iring-iringan atau konvoi kendaraan Wakil Presiden Afghanistan Amrullah Saleh, yang tengah berkendara menuju kompleks istana kepresidenan.
Saleh yang juga tengah bersama putra bungsunya selamat dalam kejadian itu meski sebanyak 10 orang, termasuk pengawalnya dan beberapa warga sipil, menjadi korban.
Saleh mengatakan, berdasarkan hasil penelitian sementara, bahan peledak yang digunakan pada kejadian tersebut merupakan bahan yang biasa digunakan untuk kepentingan militer. Dia mengatakan, tim penyelidik akan terus menggali informasi seputar penggunaan bahan peledak standar militer itu.
Sepanjang akhir pekan lalu, menurut data pemerintah, sebanyak enam polisi tewas dalam serangan Taliban di Kunduz dan lima petugas tewas di Provinsi Kapisa. Ledakan ranjau di pinggir jalan di ibu kota juga melukai dua warga sipil, sementara ledakan lain melanda Distrik Kabul meskipun tidak ada korban yang dilaporkan.
Taliban tidak berkomentar mengenai desakan Pemerintah Afghanistan dan sejumlah pihak agar mereka memulai gencatan senjata. Sebaliknya, Zabihullah Mujahid, juru bicara Taliban di Afghanistan, mengeluarkan tudingan bahwa otoritas keamanan pemerintah dan juga pasukan AS serta pasukan koalisi melakukan serangan terhadap anggota mereka di lapangan di beberapa wilayah.
Mujahid mengatakan, sebuah pesawat nirawak milik militer AS menyerang sarana transportasi umum dan sebuah bangunan di wilayah Logar, sehari sebelum perundingan dimulai. Serangan itu menewaskan dua warga sipil dan delapan orang lainnya terluka.
Klaim adanya serangan itu langsung dibantah oleh Kolonel Sonny Legget, juru bicara militer AS di Afghanistan. ”Kabar itu tidak akurat. AS tidak melakukan serangan itu. Klaim bahwa ada korban sipil pada peristiwa itu juga tidak benar,” kata Legget.
Dia meminta agar semua pihak menahan diri untuk tidak saling menyerang selama proses perundingan berlangsung.
Delegasi Pemerintah Afghanistan memperingatkan bahwa negosiasi, pertempuran yang berlanjut di Afghanistan di tengah proses dialog damai intra-Afghanistan, akan menyulitkan dan membuat perundingan berantakan.
Utusan khusus AS untuk Afghanistan, Zalmay Khalilzad, mengatakan, warga Afghanistan harus belajar dari kegagalan untuk menerapkan proses rekonsiliasi politik di negara itu setelah Uni Soviet mengakhiri keterlibatannya di wilayah ini tahun 1989.
”Rakyat Afghanistan telah berkorban begitu banyak untuk mendorong Soviet keluar, gagal secara politik dengan melakukan perang saudara satu sama lain. Saya berharap Afghanistan memperhatikan, mempelajari pelajaran dari periode itu,” katanya kepada TV Al Jazeera. (AFP/REUTERS)