Peran perempuan mengalami perubahan besar. Mereka kini tak melulu tinggal di rumah dan hanya mengurus anak-anak. Kesediaan menerima peran perempuan yang lebih luas ini dapat menjamin perdamaian di Afghanistan.
Oleh
A Tomy Trinugroho
·4 menit baca
Isu perempuan diupayakan menjadi salah satu poin pembicaraan dalam perundingan antara Pemerintah Afghanistan dan Taliban. Sekilas, mungkin muncul pertanyaan, tidakkah seharusnya perundingan tersebut hanya fokus pada detail mekanisme gencatan senjata atau mungkin pada pengaturan pasukan pemerintah dan milisi Taliban di wilayah tertentu guna mencegah kontak senjata? Atau tidakkah perundingan seharusnya mendetailkan pembagian ”kekuasaan” antara Taliban dan Pemerintah Afghanistan?
Pentingnya isu perempuan dalam perundingan bersejarah antara Pemerintah Afghanistan dan Taliban disampaikan, antara lain, oleh Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi. Lewat sambungan telekonferensi, Retno mengikuti pertemuan ini. Kehadiran Menlu RI diperlukan karena Indonesia bersama Qatar, Norwegia, Jerman, dan Uzbekistan terlibat dalam upaya perdamaian di Afghanistan sejak awal. ”Kepentingan rakyat Afghanistan harus menjadi yang utama dalam proses perdamaian. Pelibatan semua elemen di Afghanistan, termasuk peran perempuan, sangat penting dalam proses perdamaian ini,” ujar Retno di sela mengikuti proses perundingan.
Ahli geopolitik George Friedman, dalam The Next 100 Years: A Forecast for the 21st Century, menempatkan perempuan sebagai aktor penting perubahan sosial yang berdampak sangat luas dan mendalam di tingkat nasional dan global. Akibat perubahan pola hidup perempuan modern, dunia mengalami tantangan yang tak pernah ada sebelumnya.
Friedman menyebutkan, pada abad ke-21, negara-negara maju dan berkembang menghadapi tantangan terbesar berupa perlambatan laju pertambahan penduduk. Jumlah kelahiran menurun dan proporsi orang muda dibandingkan dengan orang berusia lanjut terus menyusut. Bahkan, mengutip laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa, Friedman menyebutkan, pada 2100, dunia tak lagi mengalami pertumbuhan penduduk, melainkan pengurangan penduduk. Angka pertumbuhan populasi menjadi minus pada tahun tersebut.
Pada abad ke-21, kualitas hidup (sanitasi yang baik, fasilitas kesehatan yang memadai, kemajuan obat-obatan, dan penemuan teknologi pengobatan) memang kian membaik sehingga usia harapan hidup meningkat. Namun, di sisi lain, jumlah kelahiran terus turun.
Salah satu penyebabnya ialah memiliki anak dalam jumlah banyak pada era modern sangat mahal. Orangtua harus menyekolahkan anak di tempat berkualitas dalam waktu cukup lama agar ia dapat diterima di pos pekerjaan yang baik.
Hal ini berbeda pada abad-abad silam ketika orangtua justru harus mempunyai banyak anak. Dengan banyak anak, si ayah dapat memiliki lebih banyak pekerja di lahan pertanian. Orangtua tak perlu bersusah payah menyekolahkan anak. Bahkan, ketika baru berusia 6-7 tahun, anak sudah bisa produktif, dengan bekerja membantu ayah.
Ketika jumlah anak lebih sedikit di dalam keluarga, sang ibu memiliki lebih banyak waktu selain mengurusi anak. Ia tak perlu melahirkan hingga 10 kali dalam hidupnya. Friedman menyebutkan, di negara maju, total waktu ibu rumah tangga (dengan dua anak) untuk melahirkan dan mengurus anak secara intensif lebih kurang hanya delapan tahun (bandingkan dengan waktu hidup ibu yang bisa mencapai 80 tahun). Saat anak bersekolah penuh, bisa dikatakan si ibu dapat melakukan hal lain di luar mengurus anak. Waktu yang lebih longgar inilah yang mendorong perempuan untuk beraktivitas lain, mulai dari bekerja hingga berorganisasi.
Konsep keluarga telah berubah. Pada masa silam, perempuan harus tinggal di rumah, menghabiskan sebagian besar hidupnya untuk berkali-kali melahirkan, menyusui, dan mengurus 8-10 anak. Namun, sekarang, seorang ibu tak harus melulu sibuk di rumah dan mengurus anak-anak.
Selain itu, pentingnya pendidikan agar anak dapat bekerja dengan baik telah membuat orangtua menyekolahkan anak perempuan setinggi mungkin. Hal ini ikut mendorong perubahan kian cepat. Kesadaran akan kesetaraan jender semakin dalam dan luas. Hal itu, menurut pemikir humanis Steven Pinker dalam Enlightenment Now: The Case for Reason, Science, Humanism and Progress merupakan dampak positif dari pendidikan bagi perempuan.
Dalam situasi itulah nilai lama keluarga (perempuan harus tinggal di rumah dan hanya mengurus keluarga, tidak boleh bekerja di luar rumah) tergerus. Tarik-menarik antara kelompok tradisional dan progresif terjadi di mana-mana, termasuk di masyarakat Afghanistan, terkait perubahan peran perempuan ini. Friedman menulis, ketegangan tersebut ikut memicu ketidakstabilan di Afghanistan. Kelompok-kelompok ekstrem menguat sebagai hasil proses resistensi terhadap perubahan di dalam keluarga yang ditandai dengan meluasnya peran perempuan.
Dalam konteks itu, dapat dipahami mengapa isu perempuan sangat penting. Isu itu menjadi salah satu kunci perdamaian di Afghanistan. Kesediaan menerima peran perempuan yang lebih luas akan menjamin perdamaian sejati.