Dari Laut Tengah Bagian Timur, Turki Berambisi Membangun Neo-Ottoman
Kawasan Laut Tengah bagian timur bergejolak. Selain dipicu klaim kedaulatan dan perbatasan wilayah, ada cadangan gas melimpah di perairan itu. Turki melihatnya sebagai jalan membangun Neo-Ottoman.
Oleh
MUSTHAFA ABD RAHMAN, DARI KAIRO, MESIR
·6 menit baca
Perkembangan situasi di wilayah Laut Tengah bagian timur kini menjadi salah satu isu paling panas di muka Bumi. Bermula dari penemuan harta karun, berupa sekitar 120 triliun meter kubik gas di bawah dasar Laut Tengah bagian timur, negara-negara yang bertepi ke kawasan laut itu berebut untuk mendapat bagian dari harta karun tersebut.
Negara-negara itu, yakni Mesir, Israel, Yunani, Siprus, Italia, Jordania plus Otoritas Palestina (PA), membentuk Forum Gas Laut Tengah Bagian Timur (EastMed Gas Forum/EMGF) pada Januari 2019. Lebanon sempat diajak bergabung dalam forum tersebut, tetapi Beirut menolak karena ada Israel dalam forum itu.
Turki berang melihat terbentuknya EMGF. Kebetulan sebagian besar anggota EMGF adalah para lawan politik Turki di kawasan, seperti Mesir, Israel, Yunani, dan Siprus. Turki menuduh EMGF sebagai konspirasi yang ingin mendepak Turki dari jatah harta karun gas di Laut Tengah bagian timur.
Padahal, Turki melihat penemuan harta karun gas yang melimpah di laut tersebut merupakan momentum besar. Momentum untuk memiliki sumber gas yang bisa membantu Turki menjelma sebagai negara raksasa regional dengan basis ekonomi dan teknologi yang kuat.
Karena itu, Turki berkeras siap membayar dengan harga apa pun, meskipun dengan perang, untuk mendapatkan jatah harta karun gas di Laut Tengah bagian timur tersebut. Ankara semakin yakin, momentum untuk menjadi negara raksasa regional sudah di depan mata setelah mengklaim menemukan juga sumber gas di Laut Hitam yang diperkirakan mencapai 320 miliar meter kubik.
Sebelumnya pada November 2019, Turki telah menandatangani kesepakatan keamanan dan kemaritiman dengan Pemerintah Kesepakatan Nasional Libya (GNA) pimpinan PM Fayez al-Sarraj. Kesepakatan ini membuka pintu bagi Turki untuk memiliki akses ke sumber minyak dan gas di Libya.
Turki berharap, dengan kekuatan ekonomi yang ditopang kekayaan gas, bakal semakin mudah bagi mereka menjelma menjadi negara regional raksasa yang mengembalikan kejayaan era Imperium Ottoman (1299- 1922) dalam era yang kerap disebut dengan Neo-Ottoman. Seperti sering disebut mantan Menteri Luar Negeri Turki Ahmet Davutoglu, wilayah yang memanjang dari Asia Tengah hingga Afrika Utara adalah wilayah pengaruh strategis Turki. Dalam sejarah, wilayah pengaruh strategis Turki itu adalah wilayah yang berada di bawah kontrol Dinasti Ottoman.
Turki mulai berpaling mengembangkan pengaruh di Asia Tengah dan Afrika Utara setelah berunding bertahun-tahun gagal menjadi anggota Uni Eropa. Dengan membangun kekayaan lewat gas, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan ingin memberi pesan pula kepada Barat bahwa perlawanan terhadap Perjanjian Sevres pada 10 Agustus 1920 belum selesai.
Perjanjian Sevres adalah perjanjian antara negara-negara Sekutu dan Imperium Ottoman untuk membagi wilayah Dinasti Ottoman atas banyak wilayah, termasuk wilayah Anatolia, yang dipaksakan Inggris, Perancis, Yunani, dan Italia. Turki di bawah pimpinan Mustafa Kemal Ataturk melancarkan perlawanan atas Perjanjian Sevres sehingga mampu mendepak Inggris, Perancis, dan Italia dari wilayah Anatolia dan dipaksa menandatangani Perjanjian Lausanne tahun 1923 dengan menerima perbatasan negara Turki seperti sekarang ini.
Kebutuhan energi
Turki meyakini, tanpa tambahan kekayaan gas dan minyak, akan sulit menjadi negara raksasa regional yang bisa melahirkan Neo-Ottoman. Negara itu menyadari kelemahan besar mereka selama ini adalah tidak memiliki sumber minyak dan gas. Sebanyak 95 persen kebutuhan Turki atas minyak dan gas diimpor dari Rusia, Iran, dan Irak. Meskipun Turki memiliki pantai yang panjang dari Laut Tengah hingga Laut Hitam, selama ini tidak ditemukan sumber minyak dan gas.
Turki selama ini hanya memanfaatkan bendungan-bendungan air raksasa yang dimilikinya untuk pembangkit tenaga listrik. Namun, bendungan-bendungan air raksasa ini masih belum mencukupi kebutuhan tenaga listrik di negara itu. Seperti diketahui, dua sungai raksasa, yaitu Sungai Tigris dan Eufrat, yang berhilir di Irak, memiliki hulu di Turki.
Turki selama ini juga dikenal sebagai negara transit atau perlintasan aliran pipa minyak dan gas dari negara-negara sebelah timurnya (Rusia, Azerbaijan, Kazakhstan, Iran, dan Irak) ke negara-negara Eropa. Namun, Turki tidak berusaha mendapatkan jatah minyak dan gas yang transit melalui wilayahnya itu untuk kebutuhan minyak dan gas domestiknya. Turki hanya mendapatkan komisi transit minyak dan gas tersebut.
Amerika Serikat (AS), sebagai mitra Turki dalam Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), sempat merancang Turki menggantikan posisi China sebagai pusat produksi dan transit komoditas untuk konsumen dunia. AS menginginkan jalur sutra bermula dari Turki, bukan dari China. Hal itu menyusul perang dagang AS-China berapa tahun terakhir ini dengan kalkulasi AS ingin mereduksi sedemikian rupa peran China di dunia perdagangan.
Namun, AS mengurungkan niat tersebut menyusul makin terpuruknya ekonomi Turki akibat wabah Covid-19 sehingga nilai mata uang lokal Turki, lira, ambruk. Kini nilai 1 dollar AS setara dengan 7,48 lira Turki. Selain itu, AS kecewa pada Turki setelah Ankara mengotot membeli sistem anti serangan udara buatan Rusia, S-400, meskipun ditentang Washington DC.
AS juga melihat kekuasaan Erdogan mulai mendapat tantangan dan ancaman setelah Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) yang dipimpinnya kalah di kota-kota besar, seperti Istanbul, Ankara, dan Izmir, pada pilkada, Maret 2019. AS memandang kekuasaan Erdogan belum tentu berlanjut pascapemilu tahun 2023.
Atas pertimbangan dan kalkulasi itu, AS kemudian memilih tidak melanjutkan rencana menjadikan Turki sebagai mitra besar dalam menghadapi China di sektor perdagangan.
Peluang besar
Dalam konteks tersebut, Erdogan melihat penemuan sumber gas di Laut Tengah bagian timur sebagai peluang besar untuk menutupi kelemahan Turki selama ini, yakni negara yang miskin sumber minyak dan gas. Turki mengklaim memiliki hak konstitusional atas gas di Laut Tengah bagian timur dengan dalih adanya wilayah Siprus Utara yang mereka kontrol.
Menurut Ankara, Siprus Utara memiliki hak atas kekayaan gas di perairan Siprus. Seperti dimaklumi, Pulau Siprus sejak tahun 1974 terbagi ke dalam Siprus Selatan yang dikontrol Yunani dan Siprus Utara yang dikontrol secara unilateral oleh Turki. Siprus Yunani, yang diakui internasional, mengklaim mewakili seluruh pulau tersebut di dalam Uni Eropa (UE) meski otoritasnya efektif hanya menguasai wilayah selatan.
Keributan Turki dan Yunani tersebut akibat tumpang tindih klaim atas zona-zona laut di sekitar Pulau Siprus itu serta antara Pulau Siprus dan Yunani yang kaya dengan gas. Turki dan Yunani selama ini masih banyak berbeda pendapat terkait perbatasan lautnya. Turki dan Yunani saling kirim kapal perang ke sekitar perairan Siprus sehingga membuat semakin tegang kawasan tersebut.
Sebagian besar negara Eropa, khususnya Perancis, memihak Yunani dalam menghadapi Turki. UE mengancam akan memberi sanksi kepada Turki jika Ankara terus melancarkan provokasi di Laut Tengah bagian timur. AS dan Jerman masih bersikap netral.
Masa depan solusi isu gas di Laut Tengah bagian timur sangat tergantung pola penyelesaian kompromi yang diambil kekuatan regional dan internasional. AS mungkin mempunyai peran besar sebagai negara netral untuk melakukan mediasi yang adil, khususnya antara Turki dan Yunani, sehingga kekayaan gas di Laut Tengah bagian Timur bisa dimanfaatkan oleh negara di kawasan itu dan sekaligus bisa menyejahterakan rakyatnya.