Topik Gencatan Senjata Permanen Jadi Tantangan Perundingan
Kesepakatan intra-Afghanistan yang komprehensif akan membutuhkan waktu bertahun-tahun.
Oleh
Luki Aulia
·3 menit baca
DOHA, MINGGU — Perundingan damai intra-Afghanistan, yang melibatkan Taliban dan Kabul, dimulai pada Minggu (13/9/2020). Mereka merundingkan gencatan senjata abadi, yang menjadi salah satu tantangan besar dalam perundingan untuk mengakhiri perang yang telah berjalan 19 tahun ini.
Sebuah upacara pembukaan telah dilakukan Doha, ibu kota Qatar, Sabtu kemarin. Untuk pertama kali dalam dua dekade ini hadir para pihak dengan seruan untuk melakukan gencatan senjata permanen.
Kelompok Taliban kemungkinan menawarkan kesepakatan gencatan senjata dari sisinya dengan tuntutan untuk membebaskan anggota-anggotanya yang dipenjara. Proses perdamaian Taliban dan Kabul sudah berproses, tetapi banyak pihak tidak yakin akan ada hasil yang menjanjikan dalam waktu dekat.
Ketua Majelis Tinggi untuk Rekonsiliasi Nasional Afghanistan, Abdullah Abdullah, menduga Taliban akan meminta lagi pembebasan tahanan sebagai prasyarat untuk menghentikan gejolak kekerasan. ”Itu bisa jadi salah satu permintaan atau usulan mereka,” kata Abdullah, Sabtu (12/9/2020).
Kesepakatan seperti itu juga pernah dilakukan antara Amerika Serikat dan Taliban, Februari lalu, di Doha. AS menarik pasukan dari Afghanistan dan Taliban menuntut agar 5.000 anggota Taliban yang ditahan dibebaskan.
Sebagai imbal baliknya, Taliban juga membebaskan 1.000 tentara yang mereka tahan. ”Nanti tim perunding yang akan mencari tahu apa saja yang bisa dilakukan agar tercapai kesepakatan,” kata Abdullah.
Dalam pidato pembukaannya, Abdullah mendorong perlunya gencatan senjata secepatnya demi kepentingan seluruh rakyat. Namun, permintaannya tidak direspon oleh Wakil Pendiri Taliban Mullah Abdul Ghani Baradar.
Selama ini, Taliban selalu khawatir mengurangi gejolak kekerasan akan membuat posisi tawar mereka lemah. Meski demikian, Taliban telah menyepakati gencatan senjata sementara selama setahun terakhir.
Perundingan antara Taliban dan Pemerintah Afghanistan mendesak mengingat urgensi kamp Moria pengungsian yang menjadi tempat tinggal banyak keluarga Afghanistan, mayoritas korban perang. ”Sudah sangat mendesak,” kata Abdullah.
Hak perempuan
Para pengamat dan diplomat khawatir Taliban tidak akan mau mengurangi gejolak kekerasan. Apalagi mengingat meningkatnya gejolak kekerasan beberapa bulan terakhir meski AS sudah menarik pasukannya dari Afghanistan.
Meski prosesnya akan sulit, tim perunding Afghanistan akan mencari isu-isu mendasar yang lebih mudah diselesaikan terlebih dahulu. Salah satunya adalah perlindungan terhadap hak perempuan yang dikhawatirkan akan tergerus jika kelompok militan mengambil alih kekuasaan.
”Banyak hal yang sudah berubah dramatis di Afghanistan. Kita tidak bisa membangun negeri tanpa menciptakan kondisi di mana laki-laki dan perempuan bisa berperan sama-sama pentingnya,” kata Abdullah.
Kesepakatan yang komprehensif akan membutuhkan waktu bertahun-tahun dan bergantung pada keinginan kedua belah pihak untuk menyatukan visi mereka yang berbeda untuk Afghanistan. Pada akhirnya, diharapkan keduanya bisa berbagi kekuasaan.
Kelompok Taliban ingin membentuk kembali Afghanistan sebagai emirat Islam, sementara pemerintahan Presiden Afghanistan Ashraf Ghani ingin mempertahankan status quo konstitusional republik yang melindungi banyak hak, termasuk hak-hak perempuan. (REUTERS/AFP/AP)