Tertatih Meniti Buih Gelombang Rivalitas AS-China
Mengarungi ombak yang mengalun deras di antara dua karang bukanlah perkara mudah. Arus di permukaan dan di dalam sama kuatnya. Jika gegabah, siapa pun, sekuat apa pun, akan terseret dan hanyut dan bisa fatal akibatnya.
Setelah dalam satu dekade terakhir dinamika kawasan cenderung tenang tanpa gejolak berarti, tiba-tiba semua berubah. Ketegangan di kawasan meningkat seiring dengan semakin menajamnya rivalitas dua kekuatan utama dunia, yaitu Amerika Serikat dan China.
Berturut-turut setelah isu perang dagang, keduanya berhadapan dalam isu pengembangan teknologi digital, lalu isu Hong Kong dan Taiwan. Tentu saja, tidak bisa ditinggalkan adalah isu Laut China Selatan dan terakhir isu Covid-19.
Baca juga: Tegas di Laut China Selatan
Persoalannya, mandala dari sejumlah isu itu adalah Asia. Menteri Luar Negeri RI Retno LP Marsudi, Sabtu (12/9/2020), di Jakarta, seusai mengikuti rangkaian pertemuan para menteri luar negeri negara anggota ASEAN atau AMM ke-53, mengatakan, rivalitas di antara kekuatan utama dunia itu mengingatkan pada kenangan buruk mengenai era Perang Dingin.
Menyikapi situasi itu, dalam sejumlah pertemuan, baik AMM, Forum Regional ASEAN atau ARF, ASEAN Plus Three, maupun pertemuan antara ASEAN dan sejumlah negara mitra wicara, Retno berulang menegaskan pentingnya mengedepankan kerja sama dan perdamaian.
”Dalam pertemuan tadi (ARF), saya menyampaikan beberapa hal, yaitu pertama, pentingnya kita memproyeksikan budaya dan nilai dialog dan penyelesaian konflik secara damai. Saya sampaikan bahwa selama lebih dari lima dekade, nilai dan norma ini telah menavigasi kawasan Asia Tenggara (mampu) menghadapi berbagai tantangan yang tidak ringan dan menjadi panduan bagi kerja sama dengan mitra di kawasan. Kita harapkan semua negara mitra, termasuk yang tergabung dalam ARF, untuk memegang teguh nilai ini,” kata Retno.
Lebih lanjut ia mengatakan, Indonesia ingin melihat kawasan Laut China Selatan damai dan stabil. Prinsip-prinsip internasional yang diakui secara internasional, termasuk Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982, ditegakkan.
Sebelumnya, para menteri luar negeri negara-negara anggota ASEAN dalam pernyataan bersama mereka, Kamis lalu, menyampaikan hal yang sama. Mereka sepakat meletakkan UNCLOS 1982 sebagai kerangka hukum untuk semua aktivitas di perairan dan laut.
Rezim hukum laut internasional itu pula yang mereka sepakati menjadi basis bagi pembahasan kode tata perilaku atau code of conduct di Laut China Selatan yang saat ini tengah dibahas bersama China.
Baca juga: Pesan Tegas untuk Para Mitra ASEAN
Hal itu tidak dapat dipisahkan dari apa yang dalam pernyataan itu disebutkan sebagai ”kekhawatiran (yang) diungkapkan oleh beberapa menteri atas reklamasi, kegiatan, dan insiden serius di kawasan itu (Laut China Selatan) yang telah mengikis kepercayaan, meningkatkan ketegangan, dan dapat merusak perdamaian, keamanan, dan stabilitas di kawasan itu”.
Jika merujuk pada rangkaian pertemuan yang digelar ASEAN dengan Amerika Serikat dan ASEAN dengan China, muncul suasana tegang bahwa ASEAN seolah ditarik-tarik.
Dalam pertemuan ASEAN-AS, Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo mendesak ASEAN untuk melawan perundungan maritim oleh China. Pompeo mendesak agar ASEAN lebih percaya diri dan yakin terhadap dukungan AS.
Bulan lalu, AS menjatuhkan sanksi kepada 24 perusahaan milik China yang terlibat dalam militerisasi Beijing di kawasan Laut China Selatan. Terkait dengan hal itu, Pompeo mendorong negara-negara ASEAN mempertimbangkan kembali untuk tidak bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan itu.
Baca juga: RI Ajak Negara-negara Mitra ASEAN Menjaga Stabilitas Kawasan
”Hari ini saya katakan, terus maju. Jangan hanya berbicara, tetapi bertindak,” kata Pompeo. ”Pertimbangkan kembali urusan bisnis dengan perusahaan milik negara yang menindas negara-negara pesisir ASEAN di Laut China Selatan. Jangan biarkan Partai Komunis China menginjak-injak kita dan rakyat kita.”
Sehari sebelumnya, Rabu lalu, dalam pertemuan ASEAN-China, Menteri Luar Negeri China Wang Yi mengatakan, Washington campur tangan di Laut China Selatan dan menghadirkan kekuatan militernya di kawasan di mana China mengklaim sebagai wilayahnya.
Terkait itu, ASEAN menegaskan, mereka tidak ingin memihak, termasuk atas ketegangan terbaru bahwa aktivitas militer kedua negara di kawasan panas itu meningkat. Sebagaimana dikabarkan, AS mengirim pesawat pengintainya pada saat China tengah menggelar latihan militer. Dalam latihan militer itu, China menguji rudal antikapal mereka.
Sadar bahwa ketegangan itu pasti akan merambat di pertemuan tahunan para menteri luar negeri ASEAN, Selasa lalu, Retno Marsudi mengatakan, ASEAN tidak ingin terjebak dalam persaingan atau perebutan pengaruh itu.
Bertindak sebagai tuan rumah rangkaian pertemuan ASEAN kali ini, Menteri Luar Negeri Vietnam Pham Binh Minh mengungkapkan keprihatinan serius atas militerisasi di kawasan Laut China Selatan. ”Tindakan itu telah mengikis kepercayaan, meningkatkan ketegangan, merusak perdamaian, keamanan, dan supremasi hukum di kawasan itu,” kata Pham Binh Minh.
Prinsip ASEAN
Dalam beberapa kesempatan, Menlu Retno kembali menegaskan komitmen ASEAN dan mitra terhadap pernyataan yang diserukan pada Hari Ulang Tahun Ke-53 ASEAN, 8 Agustus lalu. Dalam pernyataan, sejumlah nilai dasar ASEAN, yaitu keutuhan ASEAN, kohesivitas, dan penegasan bahwa ASEAN adalah kawasan damai, aman, netral, dan stabil harus terus dijaga secara konsisten.
Baca juga: Indonesia Kembali Dorong Soliditas ASEAN
Selain itu, dalam pernyataan itu ditegaskan agar semua pihak menahan diri dari tindakan-tindakan yang dapat memicu eskalasi di kawasan. Bagi ASEAN, penting untuk mengedepankan dialog dan cara damai untuk mengembangkan kepercayaan strategis, menegaskan sentralitas ASEAN dan prinsip-prinsip dalam ASEAN Outlook on the Indo-Pacific, serta multilateralisme.
Dihubungi secara terpisah, Guru Besar Ilmu Hubungan Internasional Universitas Pelita Harapan Aleksius Jemadu mengapresiasi ASEAN yang mampu membuat forum yang dapat menghadirkan AS dan China. Ia pun mengapresiasi sikap netral yang ditegaskan oleh ASEAN.
Hegemoni
Namun, di sisi lain, ia menilai, dibandingkan kepada AS, ASEAN tampak lebih berhati-hati dan tidak ingin bersikap frontal, terutama kepada China. Jemadu menduga, kuatnya relasi yang makin luas dan mendalam—terutama dalam sektor ekonomi—antara ASEAN atau sejumlah negara anggota ASEAN dan China menjadi faktor pemicunya.
”Sehingga yang muncul adalah pernyataan-pernyataan normatif, seperti menjaga stabilitas, keamanan, dan perdamaian,” katanya.
Merujuk pernyataan bersama yang dihasilkan, ia melihat, ASEAN belum bisa melangkah lebih jauh, misalnya jika China atau AS melanggar hukum laut di Laut China Selatan. ”Misalnya, jika tidak segaris dengan UNCLOS 1982, apa yang dilakukan,” kata Jemadu.
Ketika militer China menguji rudal antikapal di wilayah Laut China Selatan, ASEAN atau sejumlah negara ASEAN yang memiliki sengketa wilayah di kawasan itu cenderung diam.
Baca juga: China Menuding AS Telah Memicu Perlombaan Senjata
Vietnam sejauh ini dinilainya masih menjadi yang paling kritis terhadap China. Namun, di sisi lain, Vietnam memiliki ikatan perdagangan dan ekonomi besar dengan China. Hal serupa juga terjadi pada Filipina.
Di era pemerintahan Presiden Rodrigo Duterte, Filipina cenderung pragmatis dalam hubungan mereka dengan China. Pekan lalu, Filipina menyatakan, mereka tidak ingin mengikuti jejak AS yang menjatuhkan sanksi kepada 24 perusahaan China karena Manila membutuhkan investasi China. Manila memilih menggunakan mekanisme dialog dengan China untuk membicarakan isu sengketa wilayah.
Jemadu melihat, sikap Filipina—yang cenderung pragmatis—juga dapat ditemukan pada sejumlah negara ASEAN lain dan China memahami situasi itu. Menurut dia, kombinasi hegemoni ekonomi dan militer di kawasan itulah yang membuat China kini berada di atas angin.
Akankah ASEAN berhasil melewati tarikan arus itu?
(AP/AFP/REUTERS)