Jalan Terjal untuk Atasi Perbedaan antara Taliban dan Pemerintah Afghanistan
Perundingan intra-Afghanistan telah dimulai. Beberapa isu akan membuat negosiasi menjadi alot. Sementara desakan agar kedua pihak melakukan gencatan senjata juga menguat.
Oleh
Mahdi Muhammad
·3 menit baca
DOHA, SABTU – Perundingan intra-Afghanistan yang tertunda selama hampir enam bulan, Sabtu (12/9), akhirnya dimulai. Kedua pihak, Pemerintah Afghanistan dan Kelompok Taliban diharapkan bisa mengatasi perbedaan dan mencari persamaan agar perdamaian di negara ini bisa segera terwujud.
Tidak hanya mencari persamaan, sejumlah pihak yang menanti hasil perundingan ini berharap kedua pihak segera melaksanakan gencatan senjata tanpa syarat. Keduanya harus membangun kepercayaan satu sama lain agar perundingan bisa berjalan dengan baik.
Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Mike Pompoe, yang khusus hadir di Doha untuk menyaksikan dimulainya perundingan intra-Afghanistan menyatakan, Taliban dan Pemerintah Afghanistan memikul tanggung jawab besar dalam peristiwa ini. Keduanya, menurut Pompeo, memiliki tanggung jawab untuk mengatasi semua perbedaan dan mencari solusi yang baik untuk 37 juta rakyat Afghanistan.
Dia mendorong para negosiator untuk menghormati keragaman Afghanistan, termasuk kaum perempuan, etnis dan agama minoritas. Pompeo menyatakan, meski pilihan sistem politik Afghanistan ada di tangan para negosiator, AS telah menemukan bahwa demokrasi dan rotasi kekuatan politik berfungsi paling baik.
“Saya hanya bisa mendorong tindakan ini. Anda akan menulis bab selanjutnya dari sejarah Afghanistan, ”katanya. Pada saat yang sama, dia juga memperingatkan, bahwa keputusan dan perilaku mereka akan memengaruhi ukuran dan bantuan AS di masa yang akan datang.
Sejumlah pihak menduga akan ada kesulitan dalam perundingan intra-Afghanistan ini, terutama gencatan senjata permanen, penghormatan terhadap hak-hak perempuan, etnis dan agama minoritas serta perlucutan senjata anggota Taliban. Kesulitan ini sudah mulai terbaca saat Mullah Abdul Ghani Baradar menyatakan mereka membayangkan sistem Islam yang mencakup semua warga Afghanistan, tanpa memberikan penjelasan dan konteks lebih jauh.
Namun, dalam beberapa kesempatan, sejumlah petinggi Taliban sempat mengeluarkan pernyataan bahwa mereka akan menghormati hak perempuan untuk bekerja dan mendapat pendidikan yang baik hingga ke jenjang tertingi. Di dalamnya juga termasuk hak untuk berpartisipasi dalam politik. Namun, Taliban masih belum sepakat mengenai kemungkinan adanya presiden perempuan atau ketua hakim perempuan.
Di kubu pemerintah, meski ada beberapa aktivis perempuan di tubuh tim perunding, anggota tim perunding dari kalangan konservatif sependapat dengan pemikiran Taliban.
Gencatan senjata
Sejumlah pihak, diantaranya Uni Eropa, Organisasi Konferensi Islam dan Pemerintah India, mendesak Pemerintah Afghanistan dan Taliban untuk melaksanakan gencatan senjata tanpa syarat bersamaan dengan dimulainya perundingan intra-Afghanistan. Kepercayaan satu sama lain perlu dibangun, salah satunya dengan pelaksanaan gencatan senjata.
Abdullah Abdullah, Ketua Dewan Tinggi untuk Rekonsiliasi Nasional sekaligus ketua tim juru runding Pemerintah Afghanistan dalam sambutannya menyatakan kedua pihak tidak perlu menyetujui setiap detail yang terkait gencatan senjata. Tapi, mereka berkewajiban mengumumkan gencatan senjata kemanusiaan.
Abdullah mencatat bahwa sejak kesepakatan damai Doha, antara Pemerintah AS dan Kelompok Taliban, korban kekerasan bersenjata di Afghanistan mencapai 1200 korban tewas, sebagian adalah warga sipil, dan lebih dari 15.000 lainnya terluka. Perserikatan Bangsa-Bangsa telah mendesak pengurangan kekerasan dan mengkritik korban sipil di kedua sisi. (AP/AFP/Reuters)