Susul Myanmar, PBB Ikut Hapus Peta Desa-desa Rohingya
Sejumlah 400 desa Rohingya diserbu dan digusur tentara dan milisi Myanmar pada 2017. Kini, nama sebagian desa itu dihilangkan dari peta.
Oleh
Kris Mada
·3 menit baca
YANGON, JUMAT — Peta terbaru Perserikatan Bangsa-Bangsa disusun mengikuti langkah Pemerintah Myanmar, yakni tidak mencantumkan nama desa-desa yang pernah ditinggali warga Muslim Rohingya di Negara Bagian Rakhine, Myanmar. Pada 2017, desa-desa itu digusur, dibakar, dan penduduknya mengungsi ke berbagai tempat; sebagian besar ke Bangladesh.
Kantor berita Reuters, Jumat (11/9/2020), membandingkan beberapa versi peta buatan PBB dan citra satelit dari sejumlah lembaga. PBB menyebutkan, peta versi 2020 itu dibuat dengan merujuk pada peta Pemerintah Myanmar. Peta itu menjadi acuan lembaga-lembaga PBB dan lembaga-lembaga kemanusiaan yang bekerja dengan PBB di Myanmar.
Dalam beberapa versi peta PBB, terlihat ada desa-desa yang hilang di Rakhine. Organisasi Nasional Arakan Rohingya, kelompok pembela Rohingya yang berpusat di Inggris, memprotes PBB atas penghilangan desa-desa itu.
Human Rights Watch (HRW) menyebutkan, 400 desa diserbu dan digusur tentara serta milisi Myanmar pada 2017. Kini, sebagian desa itu sudah tidak terdaftar lagi dan namanya dihapus dari peta.
Salah satu desa itu bernama Kan Kya. Pada akhir 2019, Myanmar menghapus nama desa itu dari peta resmi yang diikuti PBB pada 2020. Dalam citra satelit dari Planet Labs dan Google Earth, di bekas Kan Kya kini berdiri aneka bangunan milik pemerintah.
Sebagian merupakan markas tentara dan polisi yang dilengkapi pagar kawat berduri. Bangunan-bangunan itu mulai terlihat sejak 2017 atau selepas pengungsian ratusan ribu warga Rohingya.
PBB mengakui, ada 11 desa yang dihapuskan dari daftar dalam lima tahun terakhir. Wilayah bekas desa-desa itu dimasukkan dalam kota Myin Hlut yang diusulkan menjadi kawasan wisata.
Kepala Perwakilan PBB di Myanmar Ola Almgren mengatakan tidak membahas penghapusan desa-desa itu demi menjaga situasi tetap kondusif untuk pemulangan pengungsi. Padahal, sejak pengusiran besar-besaran atas nama perburuan kelompok ekstremis, ratusan ribu warga Rohingya masih mengungsi dan tidak jelas kapan akan kembali.
Juru bicara Sekretaris Jenderal PBB, Stephane Dujarric, menyebut pendataan ulang merupakan proses administrasi rutin. Unit pemetaan PBB memanfaatkan nama resmi dari pemerintah untuk menghindari kebingungan di kalangan pekerja kemanusiaan di lapangan.
Mantan pelapor PBB untuk isu HAM di Myanmar, Yanghee Lee, mengatakan, Pemerintah Myanmar bertujuan menyulitkan pengungsi kembali ke rumah mereka. Sebab, desa-desa yang pernah mereka tinggali kini sudah tidak bernama. Bukti mereka pernah tinggal di sana juga sudah dihapus. PBB pun ikut-ikutan.
Kini, kasus Myanmar sedang disidangkan di Mahkamah Kriminal Internasional (ICC) atas gugatan Gambia. Organisasi pemantau HAM Myanmar, Fortify Rights, mendesak ICC mengadili dua bekas tentara Myanmar yang membelot beberapa waktu lalu, Myo Win Tun (33) dan Zaw Naing Tun (30). Sebab, mereka diduga terlibat dalam kejahatan terhadap orang Rohingya karena diperintah atasan.
Juru bicara militer Myanmar, Brigadir Jenderal Zaw Min Tun, menyebut dua orang itu memang pernah jadi tentara. Mereka pernah ditahan tentara Arakan, kelompok separatis yang ingin Rakhine merdeka dari Myanmar. ”Mereka diancam dan dipaksa mengaku,” ujarnya.
Juru bicara Arakan, Khine Thu Kha, mengatakan, ”Mereka mengaku secara sukarela soal kejahatan perang oleh tentara Myanmar.” (AP/AFP/REUTERS)