RI-China dan Penggalan Kisah Kerja Sama
Selain dengan negara-negara Barat, Indonesia secara khusus juga menjalin kerja sama dengan China untuk mengembangkan dan memproduksi vaksin Covid-19.
Perang pernah menjadi palagan di mana banyak pemuda dari latar belakang bangsa berbeda bersatu bahu-membahu melawan musuh. Kini, semangat yang sama diperlukan untuk menghadapi pandemi.
Dunia tengah bergulat dengan pandemi Covid-19. Segala upaya dilakukan baik oleh setiap pemerintah ataupun oleh banyak negara bersama-sama.
Selain dengan negara-negara Barat, Indonesia secara khusus juga menjalin kerja sama dengan China untuk mengembangkan dan memproduksi vaksin Covid-19. Kerja sama seperti itu sejatinya bukanlah kisah baru dalam relasi kedua negara.
Dulu ketika dunia ada dalam bayang-bayang Perang Dunia, ketika China berada dalam masa-masa sulit saat berperang melawan Jepang, ribuan orang muda dari Indonesia—ketika itu masih sebagai Hindia Belanda—membantu China.
Mereka terlibat dalam beragam mandala pertempuran dan juga aktif dalam Akademi Militer Huang Pu yang menjadi simpul sejarah Indonesia-China.
Nouval Mursita, alumnus Magister di Shenyang, timur laut China, yang meneliti berbagai arsip sejarah China dan Indonesia, menceritakan, ada ribuan sukarelawan dari Hindia Belanda, Malaya, dan Singapura yang menjadi sukarelawan membantu China berperang melawan Jepang pada 1930-an hingga akhir Perang Dunia II tahun 1945.
”Dari Nusantara ada 950-an sukarelawan. Banyak yang mendaftar di Akademi Militer Huang Pu. Juga ada sumbangan pembelian pesawat tempur Vought dari Amerika Serikat dari dana yang dikumpulkan dari Jawa untuk Angkatan Udara Republik China. Pesawat tersebut diserahterimakan dan diberi nama Zhao Wa—Jawa dalam sebutan Mandarin,” kata Nouval Mursita asal Aceh yang fasih berbahasa Mandarin itu.
Baca juga: Melihat Kemiripan Pandemi Covid-19 di Indonesia dan China
Nouval menerangkan, sesudah insiden Jembatan Marcopolo yang direkayasa militer Jepang pada 1937, banyak pemuda keturunan China di Jawa dan Sumatera bertekad untuk melawan agresi Jepang. Mereka sebagian masuk dalam Akademi Militer Huang Pu Jun Xiao di kota Kanton, kini dikenal sebagai Guangzhou.
Akademi militer itu boleh dikatakan menjadi simpul sejarah relasi pemuda Nusantara dan China untuk melawan serangan fasisme Jepang. Di akademi militer yang sama, sejumlah perwira lulusan Huang Pu juga datang ke Indonesia dan turut mendukung dalam perang kemerdekaan RI (1945-1949).
Sebagian pemuda asal Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sunda Kecil, hingga Maluku tersebut mendapat pelatihan militer dari instruktur Rusia Putih—Tsarist, Jerman, dan beberapa menjadi penerbang. Bahkan, sebagian penerbang tersebut dilatih di Amerika Serikat.
Berjuang bersama
Para pemuda Hindia Belanda dari berbagai latar suku bangsa juga turut memperjuangkan nasib China yang ditindas militer Jepang. Kolonel Dara Singh, seorang Sikh asal Ipoh, Penang, menjadi salah satu komandan sukarelawan dari Asia Tenggara di front Burma–China melawan Jepang. Dara Singh sempat menjadi ajudan Panglima South East Asia Command Lord Louis Mounbatten. Nun di Eropa, para pelajar Indonesia di Belanda juga pernah mengadakan pertunjukan seni untuk penggalangan dana kemanusiaan di China pada 1930-an itu.
Pemuda-pemudi keturunan China di Indonesia, terutama dari Jawa, Kalimantan, dan Sumatera, banyak yang terpanggil menjadi sukarelawan. Pada 1939, ada sembilan gelombang pengiriman sukarelawan ke China sejumlah 913 orang. Sebagai sukarelawan pengemudi kendaraan bermotor dan mekanik. Menurut Nouval, hampir separuh dari sukarelawan tersebut gugur dalam perang melawan Jepang.
Baca juga: Menilik Definisi Bangsa Indonesia dari Karakter Kosmopolitan Orang Tionghoa
Dalam buku Tionghoa dalam Sejarah Kemiliteran sejak Nusantara sampai Indonesia dari Penerbit Buku Kompas disebutkan, beberapa penerbang itu juga bertempur di kota Wuhan dan kota lain melawan Jepang. Berita-berita sukarelawan dari Jawa dan Hindia Belanda ketika itu rutin diterbitkan oleh Koran Sin Po—tempat WR Supratman bekerja—yang juga mendukung pergerakan nasionalisme Indonesia.
Pendiri Rumah Sakit Jang Seng Ie—kini RS Husada, Jakarta—Ang Jang Goan, dalam memoar Ang Jang Goan juga mengungkapkan adanya pengiriman tim medis RS Jang Sen Ie. Tim medis itu terdiri dari sejumlah dokter dan perawat yang bergerak dari Guang Xi ke Guang Dong. Mereka menjadi sukarelawan medis dan mendapat dukungan dari Konsul Perancis yang menerima kiriman obat dari Hanoi, koloni Perancis di Indo China.
Ang Jang Goan, yang juga aktif dalam grup koran Melayu Tionghoa, Sin Po, bergandengan tangan dengan para nasionalis Indonesia.
Selain itu, ada rombongan pemuda teknisi dan juru mudi dari Medan, Sumatera, yang bertugas di Burma Road yang menghubungkan pasokan Sekutu dari India ke Kunming di Provinsi Yunnan, wilayah komando Jenderal Joseph Stilwell dari Angkatan Darat Amerika Serikat.
Pendek kata, banyak pemuda Nusantara kala itu terlibat dalam pergolakan di China. Sebaliknya, sejumlah pemuda asal China pun disebutkan terlibat dalam perang kemerdekaan di Indonesia.
Merujuk pada tulisan berjudul ”Akademi Militer Huang Pu: Melawan Jepang hingga Perang Kemerdekaan Indonesia” (Kompas.id, 2 September 2020) disebutkan, sastrawan Pramoedya Ananta Toer menuliskan dalam buku Biografi Ghanda Winata Bangkit dan Pantang Menyerah: Kisah Nyata Inspiratif Seorang Prajurit, Pendidik, dan Pebisnis Tionghoa, peran Surjo Budihandoko alias Kho Sien Hoo yang menjadi Komandan Tertinggi Lasykar Rakyat Magelang dan Kedu. Kho memimpin BKR merampas senjata Nakamura Butai—Batalyon—dan melawan Pasukan Inggris Gurkha dan NICA di front Ambarawa.
Kho Sien Hoo, dalam Wartakota.com edisi 17 Januari 2017 bertajuk ”Sejarah yang Terlupakan antara Huang Pu dan Nusantara” disebut berasal dari Fujian, ia adalah alumnus Akmil Huan Pu. Dalam satu kesempatan wawancara, Ghanda Winata mengatakan, Kho Sien Hoo datang bersama dua temannya, alumni Akmil Huang Pu, yakni Lim Tjiang Kee dan Lim Sun Kho. Mereka turut berperang dalam revolusi fisik RI.
Saat ini, di tengah deraan pandemi Covid-19, penggalan sejarah itu dapat menjadi penyegar ingatan sekaligus membangkitkan semangat untuk memperkuat kerja sama.
Baca juga: Akademi Militer Huang Pu: Melawan Jepang hingga Perang Kemerdekaan Indonesia
Tidak mungkin melawan Covid-19 sendirian. Bahkan, bila satu negara ”telah mampu mengendalikan” pandemi, ia membutuhkan negara lain untuk dapat melakukan hal yang sama. Untuk itu, mereka pun perlu menjalin kerja sama guna memastikan bahwa setiap negara dapat mengendalikan pandemi Covid-19.
Tidak mengherankan jika kemudian Indonesia pun turut bersama dengan entitas dan negara lain, seperti China, mengembangkan vaksin. Dengan kerja sama, beban menjadi lebih ringan disangga.