Makin terbuka dan tanpa tedeng aling-aling, dua mitra kuat ingin menyeret ASEAN pada rivalitas mereka. ASEAN perlu, berulang kali, menegaskan netralitasnya.
Oleh
REDAKSI
·2 menit baca
Sebenarnya, sudah tak terhitung jumlahnya ASEAN, sebagai organisasi kawasan di Asia Tenggara beranggotakan 10 negara, menegaskan sikapnya dalam menghadapi dinamika kawasan, termasuk rivalitas dan pertarungan kekuatan besar. Melalui pernyataan pemimpin atau menteri luar negeri, ASEAN juga menyatakan tak mau terlibat rivalitas itu. Terakhir, pernyataan itu dilontarkan Menlu Retno LP Marsudi pada Pertemuan Menlu ASEAN (AMM), yang digelar virtual karena pandemi Covid-19, Rabu dan Kamis (9-10/9/2020), ataupun di media.
Dalam pertemuan East Asia Summit (EAS), seperti dicatat harian ini, Retno menegaskan agar kekuatan utama dunia tak melibatkan negara ASEAN dalam ketegangan geopolitiknya. ASEAN tak mau memihak atau terjebak rivalitas itu. Lebih halus, pesan serupa disampaikan di hadapan Menlu Amerika Serikat Mike Pompeo pada pertemuan menlu ASEAN-AS, berupa ajakan kepada AS untuk menjaga stabilitas di kawasan. Kepada Menlu Australia Marise Payne, secara terpisah, Retno berbicara lugas, jangan jadikan kawasan Indo-Pasifik, termasuk Asia Tenggara, sebagai arena persaingan geopolitik.
Sebulan sebelumnya, bertepatan dengan HUT ke-53, ASEAN—atas inisiatif Indonesia—juga mengeluarkan delapan poin pernyataan sikap, salah satunya adalah komitmen ASEAN menjaga Asia Tenggara sebagai kawasan perdamaian, keamanan, netralitas, dan stabilitas. Pertanyaannya, mengapa negara kuat itu, seperti AS dan China, tak berhenti berupaya menyeret ASEAN ke dalam arena pertarungan mereka?
Pompeo, misalnya, dalam pertemuan menlu ASEAN, tanpa tedeng aling-aling menyerukan kepada negara ASEAN agar memutus hubungan dengan perusahaan China, yang masuk daftar hitam AS, karena terlibat pembangunan pulau buatan di Laut China Selatan (LCS). Jangan hanya bisa bicara, tegas Menlu AS itu kepada para menlu ASEAN, tetapi bertindaklah. Pernyataan ini, selain tak sesuai dengan kultur dan tata diplomatik ASEAN, juga sudah terlalu jauh. Menlu China Wang Yi di forum EAS membalas sengit dengan menyebut AS sebagai penggerak terbesar militerisasi di LCS.
Sikap dan perilaku AS-China di kawasan tak bisa dilepaskan dari kepentingan mereka. Posisi ASEAN strategis sebab berada di sekitar LCS. Menghadapi negara besar itu, ASEAN harus berulang kali menegaskan posisi netralnya. Dalam pesan yang seolah diarahkan kepada China, pemimpin ASEAN dalam KTT ASEAN, Juni lalu, menegaskan Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982 harus menjadi dasar menentukan hak berdaulat dan kedaulatan di LCS. Filipina, Malaysia, Brunei, dan Vietnam terlibat sengketa dengan China di LCS.
Pesan tegas perlu juga ditujukan kepada AS, setidaknya agar negara itu tidak mencoba menyeret ASEAN dalam rivalitasnya dengan China. Pesan serupa berlaku bagi negara lain, yang menjadikan kawasan ini sebagai arena rivalitas, bukan wilayah kerja sama. Stabilitas kawasan Asia Tenggara harus terjaga.