Covid-19 Perlihatkan Kelemahan Rezim-rezim Kuat dalam Menangani Pandemi
Enam bulan setelah pandemi Covid-19 menyapu dunia, banyak negara--termasuk yang dipimpin orang-orang kuat--tak kuasa membendung laju penularan virus.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN & MH SAMSUL HADI
·4 menit baca
LONDON, KAMIS — Enam bulan pandemi Covid-19 telah memperlihatkan kelemahan sejumlah rezim orang kuat di berbagai penjuru dunia. Pengamat melihat, rezim-rezim orang kuat itu secara umum memiliki sikap sama terhadap pandemi Covid- 19. Setelah terkesan meremehkan di awal kemunculan wabah, mereka tak suka terhadap fakta dan cenderung menindas.
Mereka juga terkadang dengan terang-terangan mengabaikan kesejahteraan warganya. Ketidakmampuan mereka dalam menghadapi pandemi telah merusak kepercayaan yang diberikan warganya terhadap para orang kuat di sejumlah negara itu. ”Mereka semua memiliki perilaku kepemimpinan yang serupa, yaitu kepemimpinan macho,” kata Uma Kambhampati, ekonom pembangunan di University of Reading, Inggris.
”Pandemi semacam ini pasti sangat mengganggu mereka,” kata Kambhampati, seperti dikutip kantor berita AFP, Kamis (10/9/2020).
Sering tampil di depan publik ketika awal pandemi terjadi, para pemimpin seperti Perdana Menteri India Narendra Modi dan Presiden Rusia Vladimir Putin sekarang justru kerap menghindari pertanyaan seputar Covid-19. India, misalnya, kini menjadi negara terparah kedua di dunia setelah Amerika Serikat yang terpukul pandemi Covid-19.
Hingga Kamis, menurut Kementerian Kesehatan India, negara itu mencatat 4,4 juta kasus positif Covid-19 dengan 75.062 kasus kematian akibat penyakit tersebut. Dalam 24 jam, terdapat 1.172 orang di India meninggal akibat Covid-19. Dalam sehari, terjadi penularan baru hingga 95.735 kasus. Para ahli memperingatkan, wabah di negara itu memasuki fase lebih berbahaya seiring menyebarnya virus korona ke kota-kota kecil dan desa-desa.
Rusia, Kamis kemarin, melaporkan 5.363 kasus baru sehingga total kasus Covid-19 di negara itu mencapai 1.046.370 orang atau terbesar keempat di dunia. Adapun jumlah kematiannya tercatat 18.263 kasus setelah ada tambahan 128 kemarin dalam 24 jam terakhir.
”Pada tahap awal mereka (para pemimpin negara) bisa menyalahkan orang lain, tetapi sekarang setelah enam bulan mereka tidak bisa lagi menyalahkan orang lain,” kata Kambhampati. ”Ini bukan situasi yang nyaman bagi mereka.”
Bungkam kritik
Amnesty International menambahkan, satu respons yang khas dari rezim otoriter adalah membungkam kritik yang dilontarkan petugas medis dan petugas lapangan lainnya. Kepemimpinan di China, Rusia, Malaysia, dan Pakistan menjadi contohnya.
Dalam laporan bertajuk ”Exposed, Silenced, Attacked” bulan Juli 2020, Amnesty International menyoroti kasus-kasus pemerintah yang membatasi tenaga medis menyampaikan kritik terhadap kebijakan pemerintah. Kritik para tenaga medis umumnya berkisar pada kondisi kerja yang tidak aman, kurangnya alat pelindung diri, pelatihan yang tidak cukup, dan kurangnya tes Covid-19 terhadap para petugas medis.
Di China, dokter mata, Li Wenliang, yang memperingatkan sejawatnya akan adanya Covid-19 pada awal kemunculan virus korona di Wuhan justru dijatuhi sanksi dengan tuduhan ”menyebarkan rumor”.
Di Mesir, otoritas pemerintah menjadikan tuduhan ”menyebarkan berita bohong” dan ”terorisme” untuk menangkap sedikitnya sembilan dokter dan apoteker, Maret-Juni 2020, karena mereka menyampaikan kritik. Tuduhan yang sama juga diarahkan kepada Mohamed Mounir (65), jurnalis Al Jazeera, yang meninggal karena Covid- 19 di dalam penjara Juli lalu.
Di Pakistan, polisi dengan menggunakan tongkat membubarkan protes para dokter yang mengkritik kondisi kerja yang buruk dan kurangnya alat pelindung diri. Puluhan dokter juga ditangkap. ”Negara otoriter memiliki pola tertentu yang semakin diperkuat oleh pandemi,” kata Benno Zogg, peneliti senior di Center for Security Studies di Swiss.
”Mereka ingin menampilkan citra kuat untuk menunjukkan bahwa rezim otoriter seperti di Rusia dan China lebih baik dalam menangani krisis dibandingkan negara demokrasi,” kata Benno. ”Mereka melakukan sejumlah langkah yang pada dasarnya mengendalikan masyarakat dan memastikan tidak ada alternatif informasi atau opini.”
Bukan soal tipe rezim
Francis Fukuyama dari Freeman Spogli Institute for International Studies at Stanford University dalam artikelnya di jurnal Foreign Affairs (Juli/Agustus 2020) menyebutkan, bukan persoalan tipe rezim—demokratis atau otoriter—yang menentukan suksesnya penanganan pandemi Covid-19. Ia menyebut tiga faktor penentu suksesnya respons terhadap pandemi, yakni kapasitas negara, kepercayaan sosial, dan kepemimpinan.
”Negara-negara dengan ketiga faktor itu—aparatur negara yang kompeten, pemerintahan yang dipercaya dan didengar warganya, serta pemimpin yang efektif—tampil impresif, menekan dampak yang diderita,” tulis Fukuyama. ”Negara-negara disfungsi, masyarakatnya terpolarisasi, atau kepemimpinan yang lemah tampil buruk, menyebabkan rakyat serta ekonominya terdampak dan rentan.”
Tepat enam bulan setelah Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendeklarasikan Covid-19 sebagai pandemi, Kamis (10/9/2020), total kasus Covid-19 global telah mencapai lebih dari 27,7 juta dengan jumlah kasus meninggal menembus angka 900.000 kasus. Amerika Latin dan Karibia menjadi kawasan yang paling terdampak disusul oleh Eropa.
Penyebaran virus korona terjadi sangat cepat di India melebihi kecepatan penyebaran di negara lain. Negara di Asia Selatan ini kembali melaporkan rekor penambahan kasus baru dalam sehari, yakni 95.735 kasus dengan penambahan kasus meninggal sebanyak 1.172 kasus.
Sementara WHO menyebutkan, kasus Covid-19 di wilayah kerja WHO Timur Tengah dari Maroko hingga Pakistan telah mencapai lebih dari 2 juta kasus. Jumlah ini dua kali lipat dibandingkan kondisi 1 Juli 2020.
Iran menjadi negara paling terdampak di kawasan ini dengan lebih dari 393.000 kasus, disusul Arab Saudi dengan lebih dari 320.000 kasus, dan Pakistan dengan kasus tidak sampai 300.000.
Direktur WHO Regional Timur Tengah Ahmed Mandhari memperingatkan negara-negara dengan kasus Covid-19 yang sudah relatif terkendali, seperti Lebanon, Maroko, dan Tunisia, kini menghadapi lonjakan signifikan.
Menurut Mandhari, sejumlah faktor menjadi penyebab lonjakan kasus terjadi, antara lain, penerbangan internasional yang kembali beroperasi di kawasan Timur Tengah, dibuka kembalinya sekolah, dan flu musiman. (AFP/REUTERS)