Diplomasi Vaksin
Kepentingan strategis nasional setiap negara menjadi aspek penting dalam tawar menawar akses terhadap vaksin Covid-19.
Perburuan vaksin Covid-19 negara-negara di dunia pada akhirnya, mau tidak mau, dalam praktiknya berkelindan dengan situasi geopolitik dan kepentingan strategis negara masing-masing.
Saat ini ada lebih dari 150 calon vaksin Covid-19 yang dikembangkan oleh berbagai lembaga dari sejumlah negara. Dari jumlah itu, ada sembilan yang sudah memasuki fase uji klinis tahap III untuk mengetahui aspek keamanan dan efikasinya. Dari sembilan calon vaksin di fase uji klinis tahap III berasal dari China.
Kesembilan calon vaksin itu dikembangkan Moderna-National Institutes of Health (Amerika Serikat), BioNTech-Pfizer-Fosun Pharma (Jerman/AS/China), CanSino Biologics (China), Gamaleya Research Institute (Rusia), AstraZeneca-University of Oxford (Inggris-Swedia/ Inggris). Kemudian Sinovac Biotech (China), Wuhan Institute of Biological Products/ Sinopharm (China), Beijing Institute of Biological Products/ Sinopharm (China), Murdoch Children’s Research Institute (Australia).
Setiap negara memiliki preferensinya masing-masing dalam memburu calon vaksin Covid-19 potensial. Satu hal yang pasti, mereka akan mencarinya tidak hanya dari satu sumber, tetapi dari berbagai sumber.
Baca juga: Vaksin Covid-19 adalah Vaksin Rakyat
Satu hal yang harus menjadi perhatian setiap negara dalam mencari calon vaksin Covid-19 potensial adalah terpenuhinya aspek keamanan dan efikasi yang dibuktikan dengan hasil studi ilmiahnya. Dengan kategori seperti ini, vaksin Sputnik V dari Rusia yang minim informasi penelitiannya tidak menjadi prioritas pertama banyak negara di dunia.
Dalam laporan South China Morning Post, 6 Agustus 2020, Jeremy Lim, Associate Professor dari Saw Swee School of Public Health di National University of Singapore, berpendapat, alasan geopolitik menjadi alasan mengapa sebuah negara menjatuhkan pilihannya pada calon vaksin Covid-19 tertentu. Negara-negara akan ”secara alami menyesuaikan” dengan kepentingan strategis nasionalnya di luar kesehatan.
Apabila melihat peta negara yang memiliki calon vaksin Covid-19 potensial pada uji klinis tahap III, yakni AS, China, Rusia, Jerman, Inggris, dan Swedia, maka pilihan mengerucut kepada AS dan China yang selama ini berseberangan dalam banyak hal.
Dengan peta geopolitik itu dan sikap AS yang mengutamakan kebutuhan vaksin dalam negerinya sendiri, tidak heran pilihan banyak negara dijatuhkan pada China yang memiliki lebih dari satu calon vaksin Covid-19.
Baca juga: Dunia Berpacu Membuat Vaksin
Pada saat yang sama China yang terus mengembangkan pengaruhnya pun bersikap lebih fleksibel. Untuk kepentingan uji klinis calon vaksinnya, China membutuhkan negara yang masih memiliki kasus Covid-19 aktif yang tinggi.
Adapun negara-negara di Asia dan Afrika juga Amerika Latin berkepentingan mengamankan pasokan vaksin Covid-19 dalam negerinya. Di situlah dua kepentingan itu bertemu.
Sejumlah negara dalam Organisasi Kerjasama Islam (OKI) yang sebenarnya memiliki kepakaran, pendanaan, dan pasar pun kemudian cenderung memilih calon vaksin Covid-19 buatan Sinovac atau Sinopharm dari China.
Contohnya, Indonesia. Walaupun memiliki PT Bio Farma yang produk vaksinnya sudah diekspor ke sekitar 130 negara dan sudah memenuhi prakualifikasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), telah bekerja sama dalam uji klinis calon vaksin Covid-19 Sinovac dan untuk jangka pendek berhasil mengamankan pasokan vaksin untuk keperluan nasional sambil menunggu vaksin ”Merah Putih” yang dikembangkan berbagai lembaga riset Tanah Air.
Sekretaris Perusahaan PT Bio Farma Bambang Hariyanto pernah menyebutkan bahwa pilihannya untuk bekerja sama dengan Sinovac karena selama ini Bio Farma sudah terbiasa bekerja sama dengan perusahaan China itu. Selain itu, teknologi pembuata vaksin yang dipakai oleh Sinovac sudah dikuasai dan ada klausul alih teknologi dalam perjanjian kerja sama mereka.
Kemudian Pakistan yang selama ini jadi mitra dekat China pun akan mendapat vaksin bagi 20 persen dari 220 juta jiwa populasinya melalui kerja sama uji klinis. Di Bangladesh, Sinopharm telah bekerja sama dalam uji klinis dengan Pusat Penelitian Internasional untuk Penyakit Diare yang berbasis di Dhaka.
Di Asia Tenggara, Menteri Luar Negeri Malaysia juga telah bertemu dengan Menteri Luar Negeri China Wang Yi dan Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo membahas kerja sama pengembangan vaksin.
Alat diplomasi
Baik China maupun AS belum menjanjikan Malaysia akses terhadap vaksin. Namun, kedua negara itu tetap mencari cara untuk memperkuat hubungannya dengan Kuala Lumpur di tengah ketegangan isu Laut China Selatan.
Pakar kesehatan global juga memiliki prediksi bahwa China, Rusia, dan negara-negara lain akan berupaya menjadikan vaksin Covid-19 sebagai alat diplomasi di tengah permintaan yang tinggi.
Bagi Thomas J Bollyky, Direktur Kesehatan Global di Council on Foreign Relations, seperti dilaporkan The Wall Street Journal, 16 Agustus 2020, vaksin memiliki daya tawar yang lebih dibandingkan diplomasi masker yang sudah banyak dilakukan China di awal pandemi. ”Ini akan jadi level yang lain,” ujarnya.
Beijing tidak membuka negara mana saja yang sudah mengikat kesepakatan dengan perusahaan China dalam kerjasama pengembangan vaksin Covid-19. Namun, perlu diingat bahwa China berupaya memperluas pengaruhnya dalam pengendalian penyakit di negara berkembang dengan meluncurkan ”Jalan Sutra Kesehatan” tahun 2017 sebagai ekstensi dari megaproyek infrastruktur Inisiatif Sabuk dan Jalan (BRI).
Akan tetapi, upaya China memperluas pengaruhnya melalui ”diplomasi vaksin” ini bisa saja tidak berjalan mulus. Jennifer Bouey, peneliti kebijakan senior di RAND Corporation, menyebutkan, meski memiliki kapasitas produksi yang besar, industri vaksin China belum lama lolos prakualifikasi WHO.
Sejauh ini, kurang dari 40 produsen vaksin di China yang memenuhi standar praktik produksi yang baik (GMP) dan hanya segelintir vaksin buatan China yang telah memenuhi prakualifikasi WHO sebagai syarat pengadaan oleh badan-badan dunia, seperti WHO atau Unicef.
Baca juga: WHO dan Negara Berkembang Inginkan Kesetaraan Akses atas Vaksin
Barangkali, itu sebabnya, meski dipesan banyak negara, tidak ada satu pun calon vaksin Covid-19 dari China yang saat ini sudah masuk dalam COVAX Facility, mekanisme pengembangan dan pengadaan vaksin Covid-19 global yang dikembangkan WHO-Gavi-Koalisi Inovasi Kesiapsiagaan pandemi (CEPI).
Sembilan calon vaksin Covid-19 yang kini sudah masuk COVAX Facility adalah calon vaksin dari Inovio, Moderna, CureVac, Institut Pasteur/Merck/Themis, AstraZeneca/University of Oxford, University of Hong Kong, Novavax, Clover Biopharmaceuticals, dan University of Queensland/CSL.
Pakar penyakit menular dari AS, Anthony Fauci, menyebutkan, sistem pengembangan vaksin di China dan Rusia lebih buruk dari negara-negara Barat. ”Saya benar-benar berharap China dan Rusia menguji vaksin sebelum memberikannya kepada siapa pun,” ujarnya.
Pakar penyakit menular dari Singapura, Leong Hoe Nam, menambahkan, alasan lain untuk meragukan vaksin buatan China adalah ”citra di media” terhadap perusahaan China dalam beberapa tahun terakhir yang membuat vaksin yang ”tidak efektif dan kualitasnya jelek”.
Contohnya, tahun 2018 produsen obat Changchun Changsheng melanggar standar pembuatan ratusan ribu dosis vaksin difteri, tetanus, dan batuk yang diberikan kepada 200.000 anak dan menyebabkan kelumpuhan dalam beberapa kasus.
Bagi banyak negara, semakin banyak sumber, kebutuhan pasokan vaksin akan semakin aman. Selain kekuatan finansial, kekuatan politik dalam peta geopolitik dunia mungkin saja dimainkan untuk mendapatkan akses vaksin yang lebih luas.