Suu Kyi Janjikan Kemenangan di Tengah Tantangan Berat
Pada Pemilu Myanmar 2020 ini, Aung San Suu Kyi diperkirakan mendapat tantangan besar dari militer, partai lain, dan isu Rohingya.
Oleh
Luki Aulia
·4 menit baca
YANGON, SELASA — Pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi kembali mencalonkan diri dan menjanjikan kemenangan bagi partainya, Liga Nasional untuk Demokrasi, pada pemilu 8 November 2020.
Pemilu ini menjadi ujian terberat bagi pemerintahan yang bertransisi dari kekuasaan militer ke sistem yang demokratis. Proses ini tak akan mudah mengingat Myanmar tengah didera berbagai krisis, mulai dari isu Rohingya hingga pandemi Covid-19.
Suu Kyi (75) yang berstatus sebagai kepala pemerintahan de facto Myanmar atau setara perdana menteri itu sedianya memulai kampanye tatap muka di ibu kota bisnis Yangon, Selasa (8/9/2020). Namun, rentetan kampanye ke daerah-daerah dibatalkan karena pandemi Covid-19.
”Kita harus mematuhi instruksi kementerian kesehatan karena kesehatan kini yang harus diutamakan,” ujar Ketua Liga Nasional untuk Demokrasi atau NLD, partai berkuasa, itu.
Juru bicara NLD, Myo Nyunt, mengatakan, kampanye akan tetap berlanjut dengan hanya membagikan bendera dan pamflet ke rumah warga. ”Karena pandemi, kami tidak akan bisa bertatap muka langsung dengan rakyat,” katanya.
Militer dan Rohingya
NLD memenangi pemilu 2015 dan mengakhiri rezim militer yang telah berkuasa selama setengah abad. NLD diyakini akan kembali menang pemilu meski kemungkinan menang tipis.
Partai Persatuan Solidaritas dan Pembangunan atau USDP, yang didominasi militer dan pensiunan pegawai negeri sipil, akan menjadi saingan terberat NLD. ”Kemenangan partai adalah kemenangan seluruh rakyat,” kata Suu Kyi.
Perolehan suara NLD bisa jadi berkurang karena pemerintahan Suu Kyi yang dianggap sebagai ikon demokrasi itu kerap didera kritik akibat gagal mengendalikan kekuasaan militer dan menghentikan konflik-konflik etnis.
Suu Kyi juga dikecam komunitas internasional karena kekerasan militer terhadap kelompok minoritas Muslim Rohingya pada 2017.
Akibat kekerasan militer itu, lebih dari 730.000 warga Rohingya mengungsi ke perbatasan Myanmar-Bangladesh dan hingga kini nasib mereka tak menentu. Tim penyelidik PBB pernah menyatakan terjadi genosida di Myanmar.
Pada Januari lalu, Suu Kyi mengakui terjadi kejahatan perang terhadap Rohingya, tetapi ia membantah telah terjadi genosida.
Suu Kyi seakan tak berkutik mengendalikan militer karena konstitusi yang membuat posisi militer masih kuat. Konstitusi yang masih digunakan di Myanmar saat ini pun disusun oleh rezim junta militer Myanmar sebelumnya.
Dalam konstitusi tahun 2008 ada klausa yang melarang Suu Kyi menjadi presiden karena ia memiliki anak yang berkewarganegaraan asing dari hasil perkawinannya dengan Michael Aris, akademisi Inggris yang meninggal pada 1999.
Militer masih mengendalikan tiga kementerian penting dan 25 persen kursi parlemen. Hal ini membuat militer memiliki kekuasaan untuk memveto undang-undang dan perubahan konstitusi apa pun.
Kelemahan Suu Kyi dan NLD ini dianggap sebagai peluang bagi USDP. ’Kami sedang membangun pemahaman dengan partai-partai etnis,’ kata Ketua USDP, Than Htay.
Partai Pelopor Rakyat (PPP) yang dipimpin pengusaha Thet Thet Khine yang ditendang dari NLD pada tahun lalu juga menjanjikan akan memenangi pemilu dengan tidak menjalankan pemerintahan seperti Suu Kyi ataupun militer.
Tunda pemilu
Selama beberapa pekan terakhir, Myanmar tidak melaporkan adanya penularan Covid-19 lokal. Jumlah kasusnya mencapai 1.464 kasus dengan delapan kematian.
Otoritas kesehatan memberlakukan kebijakan karantina parsial di Yangon dengan meminta warga tetap tinggal di rumah dan melarang makan di restoran dan bar. Sekolah juga masih ditutup dan jumlah penerbangan dibatasi.
Selain itu, otoritas kesehatan juga melarang lebih dari 50 orang berkumpul sehingga di masa kampanye ini partai-partai politik hanya bisa menggelar kampanye dengan jumlah peserta terbatas.
Karena pandemi ini, banyak pihak meminta agar pemilu ditunda. Namun, menurut pengamat Myanmar, Richard Horsey, Suu Kyi pasti tidak akan mau ditunda. Jika ditunda, rakyat akan menilai itu pertanda Suu Kyi tidak mampu menangani pandemi. Penundaan lebih dari dua bulan juga akan memicu krisis konstitusional, bahkan akan bisa mendorong status darurat.
”Pasti nanti pemerintah dan militer akan mencapai konsensus untuk mengatasi kebuntuan politik,” kata Horsey.
Komisi Pemilihan Myanmar belum memutuskan akan menunda pemilu. Mereka hanya melarang kegiatan kampanye di wilayah-wilayah yang dikarantina, seperti negara bagian Rakhine dan tujuh daerah di Yangon. Keputusan akan nasib pemilu ini akan diumumkan pada Oktober mendatang.
Pada pemilu November mendatang, para pemilih akan memilih anggota DPRD dan DPR. Sampai sejauh ini, terdapat sekitar 7.000 kandidat dari 94 partai politik peserta pemilu tahun ini. (REUTERS/AFP/AP)