Industri Busana Global Terancam Perang Dagang AS-China
Lebih dari sepertiga katun global tergantung pada Xinjiang. Beijing berulang kali menyangkal ada kerja paksa terhadap orang Uighur.
Oleh
kris mada
·4 menit baca
Otoritas AS mempertimbangkan larangan impor beberapa atau semua produk terbuat dari kapas Xinjiang, China. Indonesia bisa terkena dampak.
WASHINGTON DC, SELASA — Perang dagang Amerika Serikat-China berpotensi merugikan banyak negara di Asia Selatan dan Asia Tenggara. Terutama karena AS kini mempertimbangkan untuk segera melarang penggunaan produk katun buatan Xinjiang, China. Larangan impor untuk beberapa atau semua produk dari kapas Xinjiang bisa mengganggu produksi busana dan tekstil global, termasuk di Indonesia.
Badan Cukai dan Perlindungan Perbatasan (CBP) AS, Senin (7/9/2020) malam waktu Washington atau Selasa pagi WIB, dalam laporannya, menyebutkan akan mengeluarkan larangan itu.
Seperti dilaporkan The New York Times(NYT), larangan diberlakukan karena warga Uighur dan etnis minoritas lain, seperti Kazakh, diduga masuk kerja paksa di perkebunan kapas dan industri tekstil di Xinjiang. Kebijakan serupa pernah diterapkan CBP kepada para pihak yang diduga merancang kerja paksa di Xinjiang.
Larangan terbaru akan menambah daftar sanksi AS terkait dengan isu Xinjiang. Pada Juli 2020, Washington melarang sejumlah perusahaan dari sejumlah negara membeli produk AS. Sebab, semua perusahaan itu masuk dalam daftar hitam yang disusun untuk para pihak yang dituding terkait dengan kerja paksa pada warga Uighur.
Xinjiang adalah sumber utama kapas, tekstil, petrokimia, dan barang-barang lain yang digunakan pabrik-pabrik China. Banyak merek busana terkenal di dunia bergantung pada rantai pasokan dari China, termasuk menggunakan kapas dan tekstil yang diproduksi Xinjiang.
Bagi industri busana dan mode global, larangan itu bisa berdampak serius. Dalam kajian Australian Strategic Policy Institute (ASPI), sedikitnya 83 perusahaan global menerima bahan baku dan produk jadi dari 27 pabrik penampung pekerja paksa dari Xinjiang.
Merek-merek terkenal, menurut penelitian ASPI, menggunakan bahan baku, bahan setengah jadi, dan suku cadang dari pabrik-pabrik yang menggunakan pekerja paksa dari Xinjiang. Sebagian besar dari perusahaan yang dilacak ASPI itu berasal dari AS dan Eropa.
Kebutuhan global
Center for Strategic and International Studies (CSIS) Washington mengungkapkan, 84 persen katun China dihasilkan Xinjiang. Sementara jika digabung dengan benang, busana, kain, hingga bahan mentah lain terkait industri busana dan mode, China memasok hingga 31,6 persen kebutuhan global pada 2018. Khusus katun, 46,7 persen kebutuhan global dipasok China. Dengan kata lain, lebih dari sepertiga katun global tergantung pada Xinjiang.
CSIS menyebutkan, benang dan kain China amat penting bagi industri busana dan mode di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Padahal, menurut CSIS, diduga katun dan aneka produk terkait diduga diproduksi dari pertanian dan pabrik yang merekrut etnis Uighur dalam program kerja paksa.
NYT mengatakan, di tengah perang dagang berkepanjangan dan meningkatnya ketegangan AS-China, banyak perusahaan sudah berupaya merelokasi rantai pasokan pakaian jadi, antara lain ke Indonesia. Larangan terbaru AS bisa berdampak.
Larangan AS itu juga menambah daftar tindakan keras pemerintahan Presiden Donald Trump sejak perang dagang dimulai pada 2018. Belakangan, alasan menekan China dari sektor perdagangan dan investasi merambah ke sektor keamanan, teknologi, dan HAM.
Dugaan pelanggaran HAM di Xinjiang menjadi salah satu isu pokok ketegangan AS-China dalam dua tahun ini. Pada April dan Juli tahun ini, koalisi organisasi pembela etnis Uighur mengeluarkan petisi yang mendesak perusahaan-perusahaan busana dan mode global berhenti membeli katun dan tekstil dari Xinjiang. Petisi dikirimkan ke Inggris dan CBP AS.
”Merek global harus bertanya apakah nyaman karena terlibat dalam kebijakan genosida terhadap warga Uighur? Perusahaan-perusahaan ini menghindari pengawasan untuk keterlibatan (dalam kasus Uighur). Hentikan sekarang,” kata Direktur Eksekutif Proyek HAM Uighur Omer Kanat.
Salah satu penanda tangan petisi pada AS dan Inggris, Konsorsium Hak Pekerja (Workers Rights Consortium/WRC), perusahaan-perusahaan tak punya cara untuk membuktikan produk mereka bebas dari bahan yang dihasilkan dari kerja paksa di Xinjiang.
”Pekerja paksa di Uighur akan menghadapi pembalasan keras jika mengungkap kondisi mereka. Perusahaan yang menyatakan semua pabrik dan pertanian (sumber bahan baku) bebas dari kerja paksa mungkin dapat informasi yang salah,” ujar Direktur Eksekutif WRC Scott Nova.
Dibantah China
Beijing bolak-balik menyangkal adanya sistem kerja paksa terhadap warga etnis Uighur. Global Times belum lama ini melaporkan, pemasok perusahaan-perusahaan yang disebut dalam laporan ASPI telah menyangkal bahwa mereka menggunakan pekerja paksa dari Xinjiang.
Pakar-pakar yang diwawancarai media China itu menyebut warga Uighur memang masuk sekolah keterampilan dan setelah itu dipekerjakan di berbagai pabrik di luar Xinjiang. Program itu merupakan bagian dari upaya pengentasan dari kemiskinan di Xinjiang.
”Pengentasan rakyat dari kemiskinan adalah target Perserikatan Bangsa-Bangsa. Alasan Trump (menggunakan isu Uighur) adalah karena pengangguran terus naik di AS,” kata peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Xinjiang, Gu Liyan, kepada Global Times.
Pengajar di Southwest University, Zhu Ying, menuding Barat mencoba untuk menjelekkan upaya China yang memperbaiki kesejahteraan penduduk Xinjiang. Ia mengklaim, berdasarkan penelitian universitasnya, warga Xinjiang mau bekerja di luar daerah karena mengharapkan upah lebih tinggi.
Mereka juga mengharapkan akses dan layanan pendidikan lebih baik bagi anak-anak mereka. Salah satu cara mewujudkan harapan itu adalah dengan pindah ke kota-kota yang lebih besar dibandingkan dengan kota-kota di Xinjiang.
Dalam laporan Global Times, para pekerja dari sekolah-sekolah keterampilan Xinjiang menerima upah rata-rata 500 dollar AS per bulan. Sebagian malah menerima hingga 600 dollar AS per bulan. Mereka terutama bekerja di industri tekstil, elektronik, dan suku cadang otomotif. (REUTERS/RAZ)