Ekonomi Terpuruk Jadi Tantangan Berat Pemimpin Baru Jepang
Perekonomian Jepang mengalami tekanan terburuk sejak Perang Dunia II. Ini menjadi tantangan dan tugas berat bagi perdana menteri baru negara itu.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·3 menit baca
TOKYO, SELASA — Perekonomian Jepang mengalami tekanan terburuk sejak Perang Dunia II. Hal itu setidaknya tergambar dari data kinerja ekonomi Jepang pada triwulan II-2020, di mana efek respons atas pandemi Covid-19 telah mengguncang bisnis di negara itu lebih dalam dari perkiraan sebelumnya. Kondisi pelik ini menggarisbawahi tugas berat yang diemban perdana menteri baru sepeninggal Shinzo Abe.
Negara dengan perekonomian terbesar ketiga di dunia itu menyusut sekitar 28,1 persen secara tahunan pada periode April-Juni. Data produk domestik bruto (PDB) yang direvisi dan dirilis pada Selasa (8/9/2020) menunjukkan ekonomi Jepang mengalami kontraksi terparah sejak Perang Dunia II. Sebelum direvisi, PDB Jepang pada triwulan II-2020 secara tahunan adalah minus 27,8 persen.
Pengeluaran rumah tangga dan tingkat upah terdata jatuh pada Juli. Meluasnya dampak pandemi Covid-19 membuat konsumsi tetap lemah bahkan setelah langkah-langkah pembatasan wilayah di Jepang dicabut pada Mei lalu. Perdana menteri Jepang harus memastikan pemulihan ekonomi dapat berlangsung dengan baik sehingga menghindari resesi lebih dalam. Pemimpin baru Jepang diharapkan mengambil langkah-langkah dukungan ekonomi yang lebih berani.
Penyebab utama di balik revisi data PDB di Jepang adalah terjadinya penurunan belanja modal 4,7 persen. Tingkat penurunannya jauh lebih besar dari penurunan awal sebesar 1,5 persen. Kondisi itu menunjukkan pandemi Covid-19 menghantam sektor ekonomi yang lebih luas. ”Kami tidak dapat mengharapkan belanja modal menguat jauh ke depan. Perusahaan tidak akan meningkatkan pengeluaran ketika prospeknya sangat tidak pasti,” kata Hiroshi Miyazaki, ekonom senior di Mitsubishi UFJ Morgan Stanley Securities.
Kepala Sekretaris Kabinet Jepang Yoshihide Suga, yang digadang-gadang menjadi PM Jepang pengganti Abe, telah mengisyaratkan kesiapannya meningkatkan pengeluaran jika dia memimpin negara itu. Jepang baru-baru ini terindikasi mengalami peningkatan kasus terkonfirmasi baru Covid-19. Namun negara itu telah terhindar dari besarnya jumlah korban sebagaimana terlihat di negara-negara Barat. Total kasus terkonfirmasi Covid-19 hingga awal pekan ini 72.321, dengan 1.380 kematian.
Namun kondisi itu tertahan dengan turunnya pengeluaran rumah tangga. Upah riil di negara itu juga terdata turun secara berturut-turut dalam kurun lima bulan terakhir.
Perekonomian Jepang mencoba bergerak lagi belakangan setelah tergelincir ke dalam kontraksi sepanjang tiga triwulan secara berturut-turut kontraksi. Produksi pabrik-pabrik naik pada Juli, pada tingkat laju tercepat. Ini menunjukkan adanya pembalikan arah positif dalam permintaan mobil. Namun kondisi itu tertahan dengan turunnya pengeluaran rumah tangga. Upah riil di negara itu juga terdata turun secara berturut-turut dalam kurun lima bulan terakhir.
Sejumlah perusahaan di Jepang masih memproyeksikan kondisi bisnis mereka masih suram. Alih-alih espansif, mereka memilih dalam posisi bertahan sekuat mungkin. Honda Motor Co memperkirakan laba operasi perusahaan akan anjlok hingga 68 persen tahun ini. Perusahaan kosmetika Shiseido Co bahkan memperkirakan bakal menderita kerugian bersih tahun ini karena pandemi.
Kumpulan data baru akan menjadi salah satu faktor yang diamati Bank of Japan (BoJ). Bank sentral akan merilis tinjauan suku bunga pada pekan depan. Bank sentral Jepang telah melonggarkan kebijakan moneter dua kali tahun ini termasuk dengan mengadakan fasilitas pinjaman. Fasilitas itu dimaksudkan untuk memompa uang ke perusahaan kecil yang kekurangan dana, melengkapi dua paket pengeluaran pemerintah yang besar.
Banyak analis memperkirakan BOJ menunda peningkatan stimulus untuk saat ini. Sebab langkah-langkah untuk memacu permintaan seperti itu dapat membuat orang bergerak lebih bebas ke pusat perbelanjaan dan pasar. Risikonya adalah peningkatan kasus terkonfirmasi Covid-19. ”Meskipun pembatasan kegiatan ekonomi telah dilonggarkan, beberapa dari mereka akan tetap di bawah gaya hidup baru yang dipaksakan pandemi,” kata Yoshiki Shinke, kepala ekonom di Dai-ichi Life Research Institute. ”Mungkin akan membutuhkan waktu lama bagi ekonomi untuk kembali normal dan kembali ke level sebelum pandemi.”
Analis yang disurvei Reuters pada Agustus mengatakan, mereka memperkirakan ekonomi Jepang akan menyusut 5,6 persen pada tahun fiskal saat ini hingga Maret mendatang. Ekonomi negara itu diperkirakan hanya tumbuh 3,3 persen pada tahun berikutnya. Proyeksi itu lebih rendah dibandingkan perkiraan BOJ yang dirilis pada Juli. Ekonomi Jepang kala itu diproyeksikan terkontraksi 4,7 persen tahun ini dan positif 3,3 persen tahun depan. (AP/REUTERS)