Amnesti Internasional Desak Negara Asia Tenggara Lindungi Rohingya
Penderitaan warga Rohingya sudah cukup lama. Mereka dipersekusi dan hak dasar untuk hidup layak dikangkangi. Tidak sedikit mereka mati saat dalam pelayaran dan jenazahnya dibuang ke laut.
Oleh
ZULKARNAINI/NIKSON SINAGA
·4 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS — Lembaga nonpemerintah Amnesti Internasional mendesak negara-negara di Asia Tenggara untuk melindungi warga etnis Rohingya, di Rakhine, Myanmar. Selama praktik persekusi tidak dihentikan, gelombang pengungsi akan terus mengalir.
Direktur Amnesti Internasional Usman Hamid dihubungi dari Banda Aceh, Selasa (8/9/2020), menyesalkan sikap negara-negara Asia Tenggara yang belum membahas isu Rohingya dengan serius. Padahal, penderitaan yang dialami warga Rohingya sudah berkepanjangan.
”Negara-negara Asia Tenggara belum melakukan diskusi regional dalam memberikan perlindungan bagi para pengungsi Rohingya,” kata Usman.
Pada Senin (7/9), sebuah kapal kayu membawa 295 pengungsi etnis Rohingya terdampar di Pantai Ujong Blang, Kota Lhokseumawe, Provinsi Aceh. Sebelumnya, pada 24 Juni 2020, sebanyak 94 warga Rohingya juga terdampar di pantai Aceh Utara. Semua pengungsi itu ditempatkan di gedung balai latihan kerja milik Pemkot Lhokseumawe.
Gelombang pengungsi etnis Rohingya pertama kali tiba di Aceh pada 2011. Saat itu, sebanyak 129 warga Rohingya terdampar di Pantai Krueng Raya, Kabupaten Aceh Besar. Nelayan Aceh Besar menarik kapal kayu ke pantai dan mengevakuasi pengungsi. Saat itu, warga menyebut mereka manusia perahu. Kemudian, hampir setiap tahun, gelombang pengungsi Rohingya terdampar di Aceh.
Usman menambahkan, penderitaan warga Rohingya sudah cukup lama. Mereka dipersekusi dan hak dasar untuk hidup layak dikangkangi. Tidak sedikit dari mereka yang mati saat dalam pelayaran dan jenazahnya dibuang ke laut.
Menurut Usman, penderitaan warga Rohingya seharusnya menjadi tanggung jawab semua pihak. Usman berharap Indonesia menjadi inisiator dialog regional antarnegara Asia Tenggara membahas isu Rohingya secara komprehensif. ”Tanpa adanya dialog regional untuk penyelamatan yang sistematis, hal seperti ini terjadi lagi di masa depan,” kata Usman.
Tanpa adanya dialog regional untuk penyelamatan yang sistematis, hal seperti ini terjadi lagi di masa depan.
Usman berharap Pemerintah RI, pemerintah daerah, dan lembaga nonpemerintah menjamin pemenuhan pangan, kesehatan, dan perlindungan pengungsi Rohingya selama berada di tempat penampungan. Berkaca pada penanganan sebelumnya, para pengungsi akan ditempatkan ke negara ketiga atau dikembaliken ke Rakhine, Myanmar. Akan tetapi, sebagian pengungsi justru kabur dari lokasi penampungan.
Kepala Bagian Humas Pemkot Lhoksemawe Marzuki mengatakan, pihaknya memfasilitasi tempat dan tenaga untuk penanganan pengungsi Rohingya. Namun, Pemkot Lhokseumawe tidak memiliki anggaran untuk pengadaan pangan dan kebutuhan lain pengungsi.
”Kebutuhan makanan dan lainnya ditanggung oleh UNHCR dan lembaga internasional lain,” kata Marzuki.
Pihaknya memfasilitasi tempat dan tenaga untuk penanganan pengungsi Rohingya.
Marzuki mengatakan, para pengungsi Rohingya itu akan tinggal di posko penampungan hingga ada kebijakan selanjutnya. Selama berada di tempat penampungan, mereka dikawal oleh petugas keamanan.
Staf Badan Penanganan Pengungsi (UNHCR) Perserikatan Bangsa-Bangsa Perwakilan Indonesia, Oktina Hafanti, mengatakan, untuk sementara waktu, pengungsi itu ditempatkan di Lhokseumawe hingga ada kebijakan selanjutnya. Pihaknya berterima kasih kepada Pemkot Lhokseumawe dan warga karena telah menyelamatkan pengungsi Rohingya.
Dari Medan, Sumatera Utara, dilaporkan, ribuan pengungsi asing sudah bertahun-tahun tinggal di 20 tempat pengungsian di Medan. Sebagian sudah dikirim ke negara ketiga, tetapi sekitar 2.000 orang saat ini masih tinggal di 20 tempat pengungsian di Medan.
”Saya sudah lima tahun tinggal di tempat pengungsian di bekas Hotel Pelangi di Medan. Saya menikah dengan sesama pengungsi dan kini sudah mempunyai anak berusia tiga tahun,” kata Masud (26), pengungsi dari Bangladesh, Selasa.
Masud mengatakan, para pengungsi asing di Medan sudah bertahun-tahun menunggu untuk dikirim ke negara ketiga. Mereka berasal dari sejumlah negara konflik, seperti Somalia, Myanmar, Irak, Iran, Bangladesh, dan Afghanistan.
Sejak 2012, para pengungsi tinggal di 20 tempat penampungan yang tersebar di beberapa tempat di Medan, antara lain Hotel Beraspati, Hotel Pelangi, dan Cendana Residence. Jumlah pengungsi asing di Medan saat ini sekitar 2.000 orang.
Menurut Masud, para pengungsi mendapat bantuan dari Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) sebesar Rp 1.250.000 per orang per bulan. Istri Masud pun saat ini dalam proses wawancara untuk ditempatkan ke negara ketiga. Namun, ia sendiri belum mendapat kejelasan.
Selama pandemi Covid-19 ini, beberapa pengungsi asing yang hendak dikirim ke negara ketiga pun harus ditunda. Ada yang sudah berangkat ke Jakarta dan menunggu terbang. Namun, mereka pun harus kembali menunggu karena penerbangan ke negara ketiga dibatalkan.
Dalam catatan Kompas, pengungsi asing di Medan pun beberapa kali berunjuk rasa di Kantor Perwakilan Komisi Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR) Medan. Mereka menyebutkan sudah sangat frustrasi dalam penantian bertahun-tahun untuk ditempatkan ke negara ketiga.