Ankara meminta pemimpin Kosovo menghindari langkah-langkah yang akan membahayakan status Jerusalem.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·3 menit baca
ANKARA, MINGGU — Turki menyampaikan kekecewaannya atas keputusan negara berpenduduk mayoritas Muslim, Kosovo, menjalin hubungan diplomatik dengan Israel dan akan mendirikan kantor kedutaan besar di Jerusalem.
Selain vokal dalam membela perjuangan Palestina, Turki merupakan salah satu negara yang pertama mengakui Kosovo setelah Kosovo mendeklarasikan kemerdekaannya dari Serbia tahun 2008. ”Bahkan, para pejabat Kosovo memikirkan langkah itu saja—yang jelas melanggar hukum internasional—sudah mengecewakan,” demikian pernyataan Kementerian Luar Negeri Turki, Minggu (6/9/2020).
Ankara meminta pemimpin Kosovo menghindari langkah-langkah yang akan membahayakan status Jerusalem.
Pengumuman soal langkah Kosovo menjalin hubungan diplomatik disampaikan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan Presiden AS Donald Trump, Jumat (4/9/2020), atau tiga pekan setelah Uni Emirat Arab mengumumkan hubungan diplomatik dengan Israel. Trump bertemu dengan Perdana Menteri Kosovo Avdullah Hoti dan Presiden Serbia Aleksandar Vucic di Gedung Putih, Washington DC, AS.
Pemimpin Kosovo dan Serbia itu sepakat menormalisasikan hubungan ekonomi kedua negara sekaligus sepakat memulihkan hubungan dengan Israel. Sebaliknya, Kosovo, yang menyatakan merdeka dari Serbia pada 2008, mendapatkan pengakuan secara formal dari Israel. Kosovo akan membuka perwakilannya di Jerusalem. Sementara Serbia, yang sebelumnya sudah menjalin hubungan diplomatik dengan Israel, akan memindahkan kedutaannya dari Tel Aviv ke Jerusalem.
Jumat lalu, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengatakan, Serbia akan menjadi negara Eropa pertama yang memindahkan kedutaan besarnya ke Jerusalem. Dalam kesempatan terpisah, Sabtu lalu, Kementerian Luar Negeri Turki juga menyatakan ”sangat prihatin” dengan langkah Serbia.
Keputusan Serbia dan Kosovo itu merupakan hasil fasilitasi Amerika Serikat. Sebelumnya, AS juga memfasilitasi Uni Emirat Arab memulihkan hubungannya dengan Israel. Sampai sejauh ini, hanya ada AS dan Guatemala yang membuka kantor perwakilan di Jerusalem.
Meski beberapa negara kini mulai menjalin hubungan diplomatik dengan Israel, Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo gagal membujuk Sudan dan Bahrain untuk menjalin hubungan dengan Israel.
Israel menguasai Jerusalem Timur dalam Perang Enam Hari tahun 1967 dan kemudian menganeksasinya, sebuah langkah yang ditentang oleh komunitas internasional. Israel menganggap bahwa Jerusalem merupakan ibu kotanya. Namun, warga Palestina melihat sebagian besar wilayah timur Jerusalem, termasuk Kota Tua dengan situ-situs sucinya, ingin dijadikan ibu kota negara yang tengah mereka perjuangkan.
Pada Desember 2017, AS mengakui Jerusalem sebagai ibu kota Israel dan memindahkan kedutaannya dari Tel Aviv ke Jerusalem. Langkah ini memicu kemarahan warga Palestina.
Palestina menanggapi kesepakatan dan langkah yang diambil Kosovo dan Serbia dengan sinis. Palestina menilai langkah itu hanya untuk mendukung Trump terpilih kembali sebagai presiden dalam pemilihan, November mendatang.
”Palestina menjadi korban ambisi pemilu Presiden Trump. Tim Trump akan melakukan apa saja untuk bisa terpilih lagi, tak peduli apakah itu akan merusak perdamaian. Ini sama saja dengan kesepakatan Uni Emirat Arab dan Israel. Ini bukan perdamaian Timur Tengah,” sebut Sekretaris Jenderal Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) Saeb Erekat di Twitter.
Selain mulai menjalin hubungan dengan Israel, Serbia dan Kosovo juga menjalin hubungan ekonomi. Kedua negara sepakat mengesampingkan perbedaan soal normalisasi hubungan politik. Selama setahun ke depan, mereka berjanji akan bekerja sama dalam membangun jalan dan jalur rel kereta.
Kepada wartawan, Presiden Serbia Aleksander Vucic mengatakan, masih banyak perbedaan antara Serbia dan Kosovo yang merupakan bekas provinsinya. Ia menyampaikan kepada media Serbia bahwa kesepakatan Serbia adalah dengan AS, bukan dengan Kosovo.
PM Kosovo Avdullah Hoti berharap langkah saat ini harus mengarah pada pengakuan kedua negara.
Para analis berpendapat, kesepakatan itu tidak memuaskan dan tidak jelas. ”Menurut saya, ini lebih pada dimulai kembalinya dialog kedua negara. Ini bagus untuk kawasan. Tetapi, ini bukan terobosan yang besar,” kata Jasmin Mujanovic, ahli politik yang memiliki spesialisasi Eropa Timur. (AFP/REUTERS)