Hezbollah dan Hamas, musuh bebuyutan Israel, sepakat untuk bertemu dengan faksi-faksi lain di Palestina.
Oleh
Luki Aulia
·3 menit baca
BEIRUT, MINGGU — Kesepakatan normalisasi hubungan antara Uni Emirat Arab dan Israel membuat kelompok Hezbollah di Lebanon dan Hamas di Gaza, Palestina, gerah.
Dua kelompok yang memusuhi Israel itu sepakat untuk bertemu dengan faksi-faksi lain di Palestina untuk merencanakan langkah-langkah mereka. Faksi-faksi di Palestina sama-sama bertemu terakhir kali pada tahun 2013 di Kairo, Mesir.
Pemimpin politik Hamas, Ismail Haniyeh, disambut bak pahlawan saat tiba di kamp pengungsian terbesar warga Palestina di wilayah Lebanon, Ain al-Helweh, Minggu (6/9/2020).
Stasiun Al-Manar yang dioperasikan Hezbollah melaporkan, pemimpin gerakan Hezbollah yang didukung Iran, Hassan Nasrallah, dan Haniyeh menekankan konsistensi sikap melawan Israel. Perlawanan terhadap Israel menjadi salah satu agenda utama mereka ke depan.
Hezbollah dan Hamas juga membahas perkembangan politik dan militer di Palestina dan Lebanon serta risiko ancaman terhadap Palestina, termasuk rencana normalisasi negara-negara Arab dengan Israel.
Haniyeh tiba di Lebanon, Rabu. Ini merupakan kunjungan pertamanya dalam 30 tahun terakhir. Ia berkomunikasi langsung dan melalui konferensi video dengan kelompok-kelompok Palestina lain yang juga menentang inisiatif diplomatik Israel. Haniyeh yang memimpin biro politik Hamas, gerakan politik di Jalur Gaza, mengecam kesepakatan Uni Emirat Arab (UEA) dengan Israel.
”Dulu, roket-roket kita hanya bisa mencapai sasaran beberapa meter dari perbatasan Gaza. Sekarang, perlawanan Gaza sudah punya roket yang bisa sampai ke Tel Aviv dan lebih jauh lagi,” kata Haniyeh yang sejak Hezbollah kalah dalam perang dengan Israel tahun 2006 hidup berpindah-pindah di lokasi yang dirahasiakan.
Haniyeh melanjutkan, normalisasi antara Israel dan negara-negara Arab tidak mewakili kepentingan rakyat, sejarah, dan warisan bangsa Arab sama sekali. Pertemuan Haniyeh-Nasrallah terjadi setelah Amerika Serikat mengumumkan kesepakatan UEA dan Israel, 13 Agustus lalu.
Berkhianat
Meski upaya diplomatik yang dimotori AS itu dianggap sebagai upaya memperkuat aliansi regional terhadap Iran, Palestina mengecam kesepakatan itu karena negara-negara Arab seperti berkhianat menusuk dari belakang mengingat Palestina masih dalam posisi dijajah Israel.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengatakan saat ini tengah berbicara dengan negara Arab yang lain dan para pemimpin Muslim untuk menormalisasi hubungan. Dalam kesepakatan UEA-Israel, Israel menunda, bukan mencabut, rencana aneksasi.
UEA menjadi negara ketiga di Arab yang sepakat menormalisasi hubungan dengan Israel. Sebelumnya, Mesir menandatangani kesepakatan damai pada 1979, kemudian diikuti Jordania pada tahun 1994.
Selama beberapa pekan terakhir, militer Israel menyerang Hamas di Jalur Gaza dan kelompok Hezbollah di sepanjang perbatasan dengan Lebanon. Israel juga sering menyerang Suriah melalui udara karena Hezbollah dan kelompok militan pro-Iran lainnya berperang di pihak rezim Presiden Bashar al-Assad.
Faksi Palestina
Menurut rencana, kata perwakilan Hamas di Lebanon, Ali Baraka, Kamis mendatang, Haniyeh akan bertemu perwakilan faksi-faksi Palestina untuk merespons kesepakatan UEA-Israel dan rencana perdamaian Timur Tengah.
Pertemuan yang diadakan di Kedutaan Besar Palestina di Beirut, Lebanon, itu akan berlangsung bersamaan dengan pertemuan Presiden Palestina Mahmoud Abbas dengan perwakilan faksi Palestina di Ramallah.
Pertemuan di Ramallah dan Beirut sama-sama hendak mencari strategi bersama melawan skema normalisasi dan menolak rencana aneksasi Tepi Barat. Ahmad Majdalani, anggota Komite Eksekutif Organisasi Pembebasan Palestina, mengatakan, pertemuan itu juga akan mendorong persatuan antarfaksi.
”Mereka hendak membuka lembaran baru dengan mengakhiri perselisihan untuk meraih rekonsiliasi nasional dan membangun kerja sama nasional antarfaksi,” kata Majdalani.
Kedubes Palestina di Lebanon menyebutkan, pertemuan itu dilakukan di Lebanon karena sebagian besar partisipan berada di Beirut, Suriah, atau Ramallah.
Baraka juga menyatakan, pilihannya jatuh ke Lebanon karena negara itu mendukung perjuangan Palestina dan menampung banyak pengungsi dari Palestina. Hal ini akan terdampak pada rencana perdamaian Timur Tengah Presiden AS Donald Trump. (AFP)