Alumni Al Azhar Diminta Lebih Bersinergi
Indonesia sudah 75 tahun merdeka, tidak boleh melupakan peran Mesir dan Liga Arab dalam mendukung kemerdekaan.
KARIO, KOMPAS -- Pelajar dan mahasiswa Indonesia yang menuntut ilmu di lembaga pendidikan Al Azhar, Kairo, Mesir, sudah ada sejak tahun 1850-an. Kini, sudah banyak alumni Al Azhar yang berkiprah di berbagai lini di Indonesia.
Jumlah mahasiswa Indonesia di Mesir kini mencapai 7858 orang. Diharapkan, mahasiswa dan alumni Al Azhar semakin bersinergi, sehingga kiprahnya kian optimal.
Dalam upaya mengoptimalkan peran mahasiswa dan alumni Al Azhar, ICMI Pusat bekerjasama dengan ICMI cabang Mesir dan PPMI (Persatuan Pelajar dan Mahasiswa Indonesia), Minggu (6/9/2020), menggelar acara Webinar dengan tema Peran Mahasiswa dan Alumni Mesir.
Ketua ICMI Pusat, Jimly Assiddiqi, dalam sambutan pembukaan acara webinar itu mengatakan, Indonesia sudah 75 tahun merdeka, tidak boleh melupakan peran Mesir dan Liga Arab dalam mendukung kemerdekaan Indonesia.
Baca juga: Cendekiawan Diminta Ikut Menjawab Tantangan Bangsa
Mesir tercatat sebagai negara pertama yang mendukung dan mengakui kemerdekaan Indonesia pada 22 Maret 1946.
Menurut Jimly, ada tiga alasan Mesir dan Liga Arab memberi dukungan atas kemerdekaan Indonesia itu. Pertama, pertimbangan keagamaan. Kedua, pertimbangan persaudaraan. Ketiga, pertimbangan kekeluargaan.
Ketua Umum ICMI itu menyebut, aksi-aksi demontrasi pelajar dan mahasiswa Indonesia di Kairo menjelang kemerdekaan Indonesia, menyebabkan munculnya dukungan Mesir dan Liga Arab atas kemerdekaan Indonesia itu.
Ia lalu berharap, hubungan Indonesia dan Mesir kedepan lebih terprogram, dan ICMI bekerjasama dengan Pemerintah Indonesia dan Mesir bisa ikut berperan menjalankan program-program itu.
Duta besar RI untuk Mesir periode 2002-2005, Bachtiar Aly yang menjadi pembicara dalam webinar itu mengatakan, alumni Al Azhar mesir telah terbukti mewarnai dunia dakwah indonesia.
“Para aktivis dan tokoh-tokoh yang muncul di berbagai lini di Indonesia, banyak dari alumni Al Azhar. Tantangan alumni Al Azhar ini, bagaimana bisa jadi arsitek bukan sekedar jadi tukang,” ujar Aly.
Baca juga: Kekuatan Moderat di Indonesia Jauh Lebih Besar
Maka, lanjutnya, hendaknya ilmu dan pengalaman yang didapat di Mesir bisa diterapkan di Indonesia, dan juga harus diciptakan kesadaran kolektif, bahwa para alumni harus menciptakan solidaritas yang tinggi.
Menurut mantan duta besar RI di Mesir itu, alumni Mesir ini punya visi intelektual, punya jaringan dan punya akses ke masyarakat bawah. “Potensi ini harus dioptimalkan dan disinergikan,” lanjutnya.
Adapun Ketua Organisasi Internasional Alumni Al Azhar (OIAA), Tuan Guru Bajang (TGB) yang juga mantan gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB) meminta agar mahasiswa dan alumni Al Azhar melakukan dua hal.
Pertama, menjaga citra Indonesia dengan mentaati aturan dan hukum di Mesir, agar semakin diterima oleh masyarakat Mesir. Kedua, perlu membangun kerjasama yang optimal untuk memperkuat kiprah dari mahasiswa dan alumni.
“Kiprah itu bukannya belum ada. Mahasiswa dan alumni Al Azhar itu sudah berkiprah di Indonesia bahkan sejak sebelum kemerdekaan Indonesia. Sejak 1850-an, sudah ada pelajar dan mahasiswa Indonesia di Al Azhar,” ujar mantan gubernur NTB itu.
Menurut mantan gubernur NTB itu, ketika belajar di Timur Tengah, tidak hanya belajar keagamaan tapi juga belajar nilai kebangsaan. Kini ketika Indonesia telah merdeka, lanjut TGB, menanam dan mengokohkan nilai kebangsaan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari seluruh proses belajar.
“Penguatan peran alumni sangat penting, dan sekarang era kolaboratif. Salah satu modal alumni Al Azhar adalah miripnya landscape budaya dan keagamaan Indonesia dan Mesir. Kalau kehidupan keagamaan di Arab Saudi sangat konservatif. Tapi di Mesir justru diajarkan kita berpikir terbuka dengan pandangan yang berimbang dan proporsional. Ada \'kosmopolitanisme\' di Mesir yang sangat berguna ketika kembali ke Indonesia karena Indonesia memiliki tingkat keragaman yang mirip dengan Mesir,” ujar TGB.
Baca juga: Al-Azhar Beri Penghargaan pada TGB atas Jasa Mengembangkan Islam Wasathiyah
TGB lalu berharap, ada kolaborasi antara ICMI, PPMI, OIAA, pemerintah Indonesia dan pemerintah Mesir untuk merancang langkah-langkah kedepan.
Wakil Ketua Umum ICMI, Ilham Habibie, yang juga menjadi pembicara dalam acara webinar mengatakan, pertama, harus bisa membangun keseimbangan antara Imtaq (iman dan taqwa) dan Iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi).
Kedua, penguasaan teknologi untuk menyelesaikan masalah atau mencari solusi, dan memudahkan serta meningkatkan kualitas hidup kita manusia.
Ketiga, melakukan inovasi teknologi berdasarkan prinsip ekonomi pasar. Keempat, untuk ICMI sedang dicanangkan program membuat platform e-masjid.
Menurut Habibie, platform e-masjid yang akan menggunakan bahasa Indonesia, Inggris dan Arab, berisi empat bidang, yaitu keislaman, ekonomi, kesehatan dan pendidikan.
“Dalam platform e-masjid, ada sharing konten antar masjid dan sinergi pemikiran konsep dan data antar masjid di seluruh dunia,” ungkap wakil ketua umum ICMI itu.
Baca juga: Wapres: ICMI Perlu Reformasi
Habibie lalu menghimbau, mahasiswa di Mesir harus melihat dan mengetahui apa yang diterapkan di Mesir dan bisa bermanfaat untuk rakyat Mesir itu, bisa ditiru untuk bisa diterapkan di Indonesia dan juga bermanfaat untuk rakyat Indonesia.
“Contoh start up di Mesir mungkin bisa kerjasama dengan start up di Indonesia,” lanjut putra Presiden RI ke-3 almarhum BJ Habibie itu.