PM Jepang Baru Diimbau Utamakan Pengendalian Covid-19
Jika terpilih menjadi perdana menteri Jepang, para calon kuat dihadapkan pada pilihan berat, ekonomi atau kesehatan. Janji calon kuat, Yoshihide Suga, untuk mendahulukan pemulihan kesehatan diragukan para ahli.
Oleh
Luki Aulia
·3 menit baca
TOKYO, KAMIS — Kepala Kabinet Jepang Yoshihide Suga yang digadang-gadang akan bisa menggantikan Perdana Menteri Shinzo Abe berjanji akan fokus pada upaya mengakhiri pandemi Covid-19. Namun, Suga belum menjabarkan rencananya itu secara rinci. Inilah yang membuat para pakar kesehatan belum bisa percaya. Suga dikhawatirkan akan memprioritaskan pemulihan ekonomi.
Kekhawatiran ini beralasan karena selama ini Suga mendukung kebijakan Abe tentang perjalanan domestik di masa pandemi Covid-19 untuk memulihkan perekonomian. Kebijakan ini dinilai justru berisiko menyebarkan Covid-19 dari kota-kota besar ke daerah-daerah perdesaan.
”Suga kemungkinan besar akan memprioritaskan ekonomi dan bukan pengendalian penularan Covid-19. Saya ragu akan ada sesuatu yang baru kalau Suga terpilih,” kata Fumie Sakamoto, penanggung jawab pencegahan Covid-19 di Rumah Sakit Internasional St Luke di Tokyo, Jepang, Kamis (3/9/2020).
Para pakar penyakit di Jepang, Rabu, menyarankan pemerintah agar memperhatikan gelombang kedua Covid-19 yang memuncak akhir Juli lalu. Belum lagi kecenderungan bertambahnya kasus di Osaka, Fukuoka, dan Okinawa. Jumlah kasus Covid-19 di Jepang mencapai sekitar 70.000 kasus dengan 1.327 orang di antaranya yang tewas.
Meski jumlah kasusnya banyak, Jepang dianggap lebih mampu mengendalikan Covid-19 ketimbang negara-negara maju lainnya. Para pakar menduga keberhasilan itu antara lain karena kebiasaan masyarakat Jepang yang selalu berusaha hidup bersih, hidup sehat, dan disiplin mengenakan masker.
Perjalanan domestik
Kekhawatiran para pakar kesehatan sebenarnya belum terbukti. Ketua Tim Ahli Pemerintah, Takaji Wakita, mengatakan, dari 6 juta warga yang melakukan perjalanan domestik, hanya ditemukan 10 kasus positif Covid-19. ”Masih harus diteliti lebih lanjut,” ujarnya.
Menyadari adanya kekhawatiran para pakar kesehatan, Suga berjanji akan melanjutkan sebagian besar kebijakan Abe. Ia juga akan tetap melanjutkan sistem layanan kesehatan yang hampir gagal karena banyaknya kasus Covid-19 pada April dan Mei lalu. Dulu juga sempat ada ganjalan pada sistem birokrasi yang menyebabkan kapasitas tes Covid-19 per harinya rendah.
Peneliti di London School of Hygiene and Tropical Medicine, Kazuki Shimizu, menilai sistem pengumpulan data Jepang belum bisa sampai melacak dan menganalisis penularan sementara sistem peringatan kesehatannya kacau. ”Pemerintah harus meninjau kembali kesalahan-kesalahan dalam komunikasi kesehatan. Kondisi darurat kesehatan tidak bisa ditangani asal-asalan,” ujarnya.
Dukung Suga
Setelah Suga mengumumkan pencalonan dirinya menjadi pengganti Abe, Menteri Pertahanan Jepang Taro Kono (57) menyatakan akan mendukung Suga dan membantu menangani krisis Covid-19. Berbagai media lokal sebelumnya menyebut Kono berpotensi menjadi kandidat PM dan Kono pun sempat mempertimbangkan akan ikut mencalonkan diri. Namun, setelah tahu Suga maju, ia pun mengurungkan niatnya.
”Sangat penting memprioritaskan pengendalian Covid-19 tetapi di saat yang bersamaan kita juga harus memulihkan perekonomian. Suatu saat nanti saya akan menjadi PM,” kata Kono.
LDP akan melakukan pemungutan suara untuk memilih pengganti Abe pada 14 September mendatang. Siapa pun pemenangnya akan menjadi PM baru karena LDP mayoritas di parlemen.
Kono yang juga menjadi menteri luar negeri itu ingin agar PM yang baru fokus membangun kembali keuangan publik segera setelah pandemi Covid-19 berakhir. ”Kita harus mengamankan jaminan sosial kita. Harus dipikirkan bagaimana menyediakan jaminan sosial, uang pensiun, kesehatan, dan layanan kesehatan anak. Itu yang terpenting,” ujarnya.
Seperti halnya Suga, Kono juga setia pada kebijakan-kebijakan Abe, termasuk sikap dan pendekatannya yang keras kepada Korea Selatan terkait sejarah masa perang. Ini yang membedakan Kono dengan ayahnya, Yohei Kono, mantan kepala sekretaris kabinet yang menulis permintaan maaf pada tahun 1993 terhadap semua perempuan korban perang Jepang yang dipaksa bekerja di rumah bordil militer di masa perang. (REUTERS)