Harapan Akhiri Konflik pada Perundingan Intra-Afghanistan
Pemerintah Afghanistan telah membebaskan semua anggota Taliban yang ditahan, termasuk tujuh orang yang mendapat perlakuan khusus. Dunia kini menunggu komitmen Taliban.
Oleh
Mahdi Muhammad
·4 menit baca
KABUL, JUMAT — Harapan bagi banyak pihak agar perundingan intra-Afghanistan bisa dimulai dalam waktu dekat tergambar dengan keberadaan tim perunding Pemerintah Afghanistan di Doha, Qatar, tempat para petinggi Kelompok Taliban berkantor.
Tidak hanya itu, Pemerintah Afghanistan akhirnya membebaskan ratusan anggota kelompok tersebut yang sempat memicu protes dari sejumlah pihak, terutama dari keluarga korban tewas akibat kejahatan yang telah dilakukan orang-orang yang ada di daftar tersebut.
Dari ratusan tahanan anggota Taliban yang dibebaskan, tujuh orang di antaranya adalah memiliki status khusus bagi kelompok ini. Setelah dibebaskan, ketujuh orang ini langsung diterbangkan menuju Doha, Qatar, lokasi kantor politik Taliban.
Mengutip The New York Times, ketujuh anggota Taliban ini adalah orang-orang yang memiliki daftar kejahatan yang panjang, termasuk pembunuhan warga Amerika Serikat, Australia, dan Perancis. Kepindahan mereka ke Qatar disebut tidak untuk dibebaskan sepenuhnya, tetapi mereka akan menjalani status tahanan rumah. Tidak disebutkan detail mengenai status ini.
Dengan pengiriman tujuh tahanan khusus ini, juru bicara Dewan Keamanan Afghanistan Javid Faisal, dikutip dari The New York Times, Jumat (4/9), tidak ada alasan bagi Taliban untuk mangkir dari perundingan intra-Afghanistan. ”Kami mendesak agar perundingan ini segera dimulai,” kata Faisal.
Perundingan intra-Afghanistan ini ditunggu-tunggu banyak pihak setelah tertunda hampir lima bulan. Menurut Nota Kesepahaman Damai Doha, 29 Februari 2020, seharusnya perundingan intra-Afghanistan berlangsung pada 10 Maret. Namun, ketidaksepakatan antara Taliban dan Pemerintah Afghanistan, yang merasa ditinggalkan dalam proses perundingan antara Pemerintah Amerika Serikat dan Taliban, membuat perundingan intra-Afghanistan ini tertunda.
Taliban memanfaatkan keengganan Kabul untuk terus melakukan serangan-serangan bersenjata terhadap otoritas keamanan Afghanistan. Korban tidak hanya jatuh dari kalangan otoritas keamanan, tetapi juga warga sipil, termasuk perempuan dan anak-anak, yang menghendaki perdamaian di negara mereka.
Deborah Lyons, perwakilan khusus Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa, dalam laporannya kepada Sekjen PBB, mengatakan, perundingan ini penting setelah banyak generasi rakyat Afghanistan menyaksikan peperangan tanpa henti. ”Kini, mereka memiliki lebih banyak alasan daripada sebelumnya untuk berharap konflik yang menghancurkan dan telah membawa banyak penderitaan, berakhir,” kata Lyons.
Peta jalan
Lyons, yang juga merupakan Kepala Misi Khusus PBB untuk Afghanistan (UNAMA), mendesak semua negara untuk memperkuat seruan PBB agar gencatan senjata untuk kemanusiaan diberlakukan. Bukan hanya ketika negosiasi dimulai, melainkan juga waktu dinyatakan perundingan akan dimulai.
”Meski ada aura optimisme, tingkat kekerasan di lapangan tetap sangat mengkhawatirkan. Beberapa minggu terakhir, kami mencatat rekor jumlah insiden keamanan, termasuk serangan terhadap warga sipil yang ikut serta dalam proses perundingan damai,” kata Lyons. Pernyataan Lyons ini mengacu pada serangan yang terjadi atas diri Fawzia Koofi, aktivis perempuan yang ikut dalam tim perundingan Pemerintah Afghanistan.
Dia menambahkan, kekerasan demi kekerasan yang terjadi meski semua hal yang disyaratkan agar perundingan bisa berjalan kembali, akan menciptakan suasana ketidakpercayaan. ”Suasana ketidakpercayaan yang berisiko menggagalkan negosiasi,” kata Lyons.
Penghentian kekerasan senjata secara permanen adalah misi utama tim perunding Afghanistan yang langsung dipimpin Abdullah Abdullah, Ketua Dewan Tinggi untuk Rekonsiliasi Nasional. Pandangan yang sama juga disampaikan juru bicara Kelompok Taliban, Suhail Shaheen, meski dia tidak menyebutkan gencatan senjata sebagai poin utama substansi perundingan.
Tidak hanya soal gencatan senjata, Taliban, di dalam pernyatannya dan sejumlah wawancara dengan kantor berita AP, menyebutkan, mereka tidak ingin memonopoli kekuasaan dan ingin berbagi dengan kelompok lain. Selain itu, mereka juga menerima bahwa perempuan memiliki hak untuk bekerja dan anak-anak perempuan memiliki hak bersekolah serta mendapat pendidikan yang baik. Tapi, mereka belum sepakat bahwa perempuan bisa ditempatkan sebagai pimpinan sebuah lembaga, seperti lembaga kehakiman atau bahkan presiden.
Lyons mengatakan, hak kaum perempuan muncul sebagai salah satu hal yang paling sulit dalam penyelesaian konflik. Kompromi apa pun, menurut dia, akan menimbulkan kesulitan.
”Masalah hak-hak perempuan ini akan menjadi lebih sentral dalam proses perdamaian Afghanistan daripada yang pernah kita lihat dalam negosiasi perdamaian lainnya,” kata Lyons.
Lyons mengatakan, peran kunci PBB adalah untuk memastikan hak asasi manusia, dan mempertimbangkan kekhawatiran para korban perang, memastikan bahwa suara mereka disertakan dalam negosiasi perdamaian. Lyons menyerukan kepada semua pihak untuk membantu menciptakan lingkungan yang kondusif guna perundingan damai dan memastikan dasar yang disiapkan berkembang ketika kesepakatan tercapai.
”Pada akhirnya, negosiasi harus menjawab berbagai pertanyaan mendalam dan mendasar, seperti gambaran ideal negara seperti apa yang diinginkan rakyat Afghanistan, ataupun lainnya. Hal ini hanya bisa ditangani sesama rakyat Afghanistan. Solusi tidak akan ditemukan di medan perang. Tidak juga bisa dipaksakan dari luar,” kata Lyons. (AP/Reuters)