Protes UEA-Israel, Seniman dan Intelektual Arab Boikot Ajang Budaya
Spirit keberpihakan dan dukungan pada rakyat Palestina melatarbelakangi aksi boikot terhadap forum pemberian penghargaan dan acara budaya yang didukung Pemerintah UEA.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·4 menit baca
DUBAI, KAMIS — Langkah Uni Emirat Arab untuk menormalisasi hubungan diplomatik dengan Israel telah memicu reaksi balik dari kalangan seniman dan kaum intelektual Arab. Mereka memboikot forum pemberian penghargaan dan acara budaya yang didukung Pemerintah UEA.
Para seniman dan kaum intelektual itu menyatakan spirit keberpihakan dan dukungan pada perjuangan rakyat Palestina melatarbelakangi sikap mereka.
”Saya mengumumkan bahwa saya menarik diri dari pameran Anda,” tulis fotografer Palestina, Mohamed Badarne, kepada Yayasan Seni Sharjah, yang berbasis di salah satu dari tujuh emirat yang membentuk UEA.
Badarne tinggal di Berlin, Jerman. Ia menambahkan, ”Sebagai salah satu warga (yang hidup) di bawah pendudukan, kami harus mengambil sikap terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan rekonsiliasi dengan penjajah (Israel).”
Sebagaimana diwartakan secara luas, UEA pada bulan lalu telah setuju untuk membangun hubungan diplomatik penuh dengan Israel dalam sebuah kesepakatan yang ditengahi AS. Delegasi AS-Israel pun telah mengunjungi Abu Dhabi beberapa hari lalu.
Langkah itu menjadikan UEA sebagai negara Teluk pertama dan negara Arab ketiga yang melakukannya. Perjanjian tersebut dikecam keras oleh Palestina dan memicu protes yang meluas.
Banyak warga Palestina melihat kesepakatan itu sebagai pengkhianatan dari upaya lepas dari pendudukan Israel. Kesepakatan itu juga dinilai melanggar konsensus bahwa normalisasi dengan Israel hanya diperbolehkan setelah masalah Palestina diselesaikan.
Menteri Kebudayaan Palestina Atef Abu Seif mendesak para intelektual Arab untuk menentang keputusan yang dinilai telah memperkuat Israel sebagai musuh Palestina.
Seruan Badarne juga dilakukan oleh sejumlah tokoh budaya dari Aljazair, Irak, Oman, Tunisia serta dari UEA sendiri. Mereka dengan keras mengutuk kesepakatan tersebut.
”Sungguh hari yang menyedihkan dan sebuah bencana,” tulis penulis UEA, Dhabiya Khamis, menyusul pengumuman mengejutkan dari Presiden AS Donald Trump tentang kesepakatan itu pada 13 Agustus.
”Katakan tidak untuk normalisasi antara Israel dan Emirat dengan negara-negara Teluk Arab! Israel adalah musuh seluruh bangsa Arab.”
Otoritas UEA dalam beberapa tahun terakhir telah menginvestasikan dana di bidang kebudayaan. Negara itu, misalnya, membangun Louvre Abu Dhabi, cabang dari museum serupa di Paris yang ikonik. Louvre Abu Dhabi dibuka pada tahun 2017.
Sebagai negara Teluk yang kaya minyak, UEA juga mendanai beberapa penghargaan sastra. Salah satunya adalah The Sheikh Zayed Book Prize, sebuah penghargaan yang namanya diambil dari nama mantan presiden Emirat. Ajang penghargaan itu membagikan medali emas dan hadiah uang tunai dengan total 1,9 juta dollar AS setiap tahun.
Otoritas UEA dalam beberapa tahun terakhir telah menginvestasikan dana di bidang kebudayaan. Negara itu, misalnya, membangun Louvre Abu Dhabi, cabang dari museum serupa di Paris yang ikonik. Louvre Abu Dhabi dibuka pada tahun 2017.
Penulis Maroko, Zohra Ramij, telah mengumumkan penarikan novel terbarunya dari ajang kompetisi penghargaan itu. Sementara penyair Maroko, Mohamed Bennis, memilih mengundurkan diri dari kepanitiaan penyelenggaraan ajang itu.
”Merupakan sebuah dosa untuk mendapatkan hadiah dari Emirat,” kata penulis Palestina, Ahmed Abu Salim, yang menarik dirinya dari Ajang Internasional untuk Fiksi Arab (IPAF).
Kompetisi yang dimulai pada 2007 dan diawasi oleh Booker Prize Foundation di London itu didanai oleh Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Abu Dhabi. Ajang itu memberikan hadiah 50.000 dollar AS kepada pemenang utama dan 10.000 dollar AS bagi setiap finalis. ”Saya adalah pendukung intelektual perjuangan Palestina, berapa pun harga yang harus dibayar,” kata Salim kepada AFP.
Beberapa mantan pemenang hadiah dan anggota juri, termasuk intelektual Palestina Khaled Hroub, menulis surat terbuka kepada wali IPAF. Mereka menuntut penghentian pendanaan dari otoritas Emirat atas ajang itu.
”Kami meminta Dewan Pengawas saat ini untuk memikul tanggung jawab budaya historisnya dalam melindungi ajang penghargaan dengan mengakhiri pendanaan Emirat, untuk menjaga kredibilitas dan kemerdekaan ajang penghargaan itu”, demikian, antara lain, bunyi surat itu. Sejauh ini pihak pengurus IPAF tidak menanggapi permintaan komentar.
Omar Barghouti, salah satu pendiri gerakan Boikot, Divestasi dan Sanksi (BDS) Palestina, mengatakan boikot semacam itu adalah ”respons alami dan patriotik dari para intelektual Arab”.
Israel di sisi lain melihat gerakan yang mendorong tindakan BDS sebagai ”perlawanan sipil” terhadap negara Yahudi, sebagai ancaman strategis, dan menuduh sebagai pendukung gerakan anti-Semitisme.
Pemerintah UEA sendiri pada pekan lalu telah mencabut undang-undang yang berlaku sejak tahun 1972 yang memboikot Israel.
Namun Barghouti memperingatkan apa yang disebutnya sebagai kaum ”taipan korup”—untuk menyebut pihak-pihak di UEA—masih akan merasakan dampak boikot yang dilakukan pihaknya. Penyair Palestina Ali Mawassi mengatakan bahwa meskipun sebagai negara, UEA menormalisasi hubungannya dengan Israel, di tataran warga tidak harus melakukan hal yang sama.
”Puluhan tahun setelah Jordania dan Mesir berdamai dengan tetangga Israel mereka, banyak seniman kedua negara itu tetap menolak untuk berhubungan dengan apa pun yang terkait dengan Israel,” kata Mawassi.
Namun, ia mengingatkan bagaimanapun para artis dan intelektual akan tetap diiming-imingi uang tunai. ”Ada banyak seniman yang akan diam dan memanfaatkan peluang yang diberikan oleh dana dari Emirat.” (AFP)