Pencapaian teknologi kecerdasan buatan (AI) terus berkembang. Meski program-program AI saat ini semakin ”pintar”, masih banyak kelemahan yang bisa terus diperbaiki.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·4 menit baca
Menulis novel memerlukan kecerdasan berbahasa, kreativitas yang liar, dan kedalaman makna penulisnya. Namun, sekarang, dengan teknologi kecerdasan buatan, program komputer bisa menyusun untaian kalimat yang sangat alami dan masuk akal seperti layaknya tulisan manusia.
Adalah GPT-3, sebuah teknologi kecerdasan buatan (AI) dari perusahaan yang turut didirikan oleh miliarder Elon Musk di California, OpenAI, yang mampu menghasilkan cerita yang koheren, seperti novel, bahkan juga kode komputer. Akan tetapi, teknologi ini masih buta akan ide-ide terkait rasisme atau seksisme.
GPT-3 mampu menyelesaikan dialog di antara dua orang, meneruskan serangkaian pertanyaan dan jawaban, atau menyelesaikan puisi bergaya Shakespeare. Mulai saja merangkai sebuah kalimat atau teks, GPT-3 akan meneruskannya untuk kita berdasarkan mega informasi yang sudah ditanamkan ke dalam program ini.
Program ini juga akan bermanfaat bagi layanan pelanggan, pengacara yang butuh rangkuman kasus-kasus hukum sebelumnya, atau penulis yang butuh inspirasi.
Meski teknologi ini bukan hal yang baru dan belum mampu memberikan atau memproses alasan seperti otak manusia, GPT-3 dari OpenAI telah mendapatkan pujian atas kemampuannya menghasilkan tulisan yang menyerupai tulisan manusia.
”Program ini mampu menghasilkan kalimat yang alami dan masuk akal,” kata Bruce Delattre, spesialis AI di agensi konsultan data Artefact. ”Sungguh mengesankan melihat bagaimana model ini mampu memilih gaya penulisan sastra yang pas, bahkan ketika ada pengulangan.”
GPT-3 juga mampu menemukan respons yang tepat terhadap masalah, seperti nama sebuah penyakit berdasarkan deskripsi gejala. Program ini bisa menyelesaikan sejumlah soal matematika, mengekspresikan dirinya dalam beberapa bahasa, atau menghasilkan kode komputer untuk tugas sederhana yang harus dikerjakan seorang penyusun kode.
Menurut Delattre, semua kemampuan itu ada berkat ”keteraturan statistik”. ”Model ini mengetahui ke mana arah kecenderungan kata (atau ekspresi) tertentu,” ujar Delattre.
Amine Benhenni, direktur ilmiah di perusahaan penelitian dan pengembangan AI, Dataswati, mengatakan bahwa ”perbedaan terbesarnya” dibandingkan dengan sistem serupa adalah ukuran model itu sendiri. GPT-3 telah diisi miliaran konten dari laman yang banyak tersedia gratis di internet dan semua jenis karya tulisan.
Untuk memberikan gambaran besarnya proyek ini, semua isi dari ensiklopedia daring Wikipedia mewakili hanya 3 persen dari semua informasi yang ditanamkan ke dalam program ini. Dengan bekal pengetahuan sebanyak itu, program tersebut tidak perlu dilatih lagi untuk mengerjakan perintah seperti yang harus dilakukan pada model-model lainnya ketika materi baru, seperti kedokteran, hukum, atau media dimasukkan.
Berikan saja beberapa perintah untuk menyelesaikan kalimat, misalnya, program tersebut akan mengetahui bagaimana menyelesaikan kalimat tersebut, tak peduli apa pun temanya. Inilah yang disebut model bahasa ”tebakan jamak”.
”Sungguh luar biasa jika Anda mengetahui bagaimana membuat model bekerja dengan baik,” kata Shreya Shankar, ilmuwan komputer spesialis AI di Twitter. Ia telah menggunakan GPT-3. ”Ini akan mengubah paradigma mesin pembelajar.”
Kelemahan
Meski GPT-3 mendapat pujian dan menjadi pembahasan menarik di antara para spesialis AI, program ini hanya menempati urutan ke-10 pada peringkat SuperGLUE yang mengukur algoritma pemahaman bahasa. Ini karena ketika sejumlah pengguna menanyakan pertanyaan yang absurd, model tersebut meresponsnya dengan jawaban yang tidak jelas.
Misalnya, pengembang AI Kevin Lacker menanyakan, ”Berapa banyak mata yang dimiliki matahari?” Program itu menjawab, ”Matahari memiliki satu mata.”
Claude de Loupy, salah seorang pendiri usaha rintisan asal Perancis, Syllabs, yang memiliki spesialisasi dalam pembuatan teks otomatis, menuturkan bahwa sistem tersebut tidak memiliki ”pragmatisme”.
Masalah besar lainnya adalah program tersebut mereplikasi, tanpa berpikir dua kali, stereotip atau ujaran kebencian selama masa pelatihannya. Karena itu, dalam waktu singkat, tulisan yang dihasilkan oleh program tersebut bisa menjadi sangat rasis, antisemitik, atau seksis.
Oleh karena itu, para ahli merasa GPT-3 tidak cukup dapat diandalkan untuk sektor-sektor yang mengandalkan mesin, seperti robo-journalism atau layanan pelanggan. Meski demikian, program ini bisa bermanfaat untuk sektor lain, seperti menulis ulasan palsu atau bahkan produksi massal cerita untuk kampanye disinformasi.
Khawatir akan ”potensi bahaya dari aplikasi teknologi”, OpenAI—yang mendapat pendanaan, salah satunya, dari Microsoft—memilih untuk tidak merilis versi sebelumnya dari GPT-3, yaitu GPT-2 pada Februari 2019.
OpenAI semula nirlaba, tetapi kemudian menjadi perusahaan ”laba terbatas”. Ini berarti, para investor perusahaan itu mendapat pembagian keuntungan yang terbatas. Pada Juni lalu, perusahaan tersebut mengubah taktiknya dan membuka model GPT-3 untuk penggunaan komersial yang memungkinkan penggunanya memberikan umpan balik.
Menurut Claude de Loupy, langkah itu bisa menghasilkan keuntungan besar. ”Tidak diragukan lagi bahwa teks yang dihasilkan oleh AI akan meledak di jaringan internet.” (AFP)