Kanada dan Belanda Bergabung dalam Penuntutan Genosida Myanmar
Pemerintah Kanada dan Belanda bergabung dengan Gambia dalam proses penuntutan dugaan genosida warga Rohingya oleh militer dan Pemerintah Myanmar. Kedua negara mendesak negara lain melakukan hal yang sama.
Oleh
Mahdi Muhammad
·3 menit baca
[caption id="attachment_11221438" align="alignleft" width="720"] Tampilan layar dari video yang diambil pada 20 April 2020 ini menunjukkan pembebasan tahanan Rohingya. Sambil memakai masker, para tahanan tiba di Dermaga Sittwe, Negara Bagian Rakhine, setelah diangkut menggunakan kapal militer.[/caption]
OTTAWA, KAMIS — Pemerintah Kanada dan Belanda berniat bergabung dengan Gambia dalam proses penuntutan kasus genosida warga Rohingya oleh Pemerintah Myanmar. Kedua negara juga mendesak negara-negara lain untuk mendukung perjuangan hukum ini.
Dalam pernyataan bersama kedua pemerintahan yang diumumkan Menteri Luar Negeri Kanada Francois-Philippe Champagne dan Menlu Belanda Stef Blok, Rabu (2/9/2020), keputusan untuk bergabung dengan Gambia didasari pada kewajiban di bawah Konvensi Genosida: mencegah kejahatan genosida dan meminta pertanggungjawaban para pelaku.
”Membawa kasus ini ke Mahkamah Internasional oleh Gambia adalah langkah terpuji untuk mengakhiri impunitas bagi mereka yang melakukan kekejaman di Myanmar,” kata Champagne dan Blok.
Baik Champagne maupun Blok menyebut kasus genosida di Myanmar ini amat memprihatikan bagi semua umat manusia. Kedua pemerintahan menyatakan, mereka akan membantu masalah hukum yang kompleks ini dan memberikan perhatian khusus kepada kejahatan yang terkait dengan kekerasan seksual dan berbasis jender. Termasuk di dalamnya pemerkosaan.
Gambia, sebuah negara kecil di Afrika, yang sebagian besar penduduknya adalah warga Muslim, membawa kasus genosida warga Rohingya Myanmar ke Pengadilan Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa di Den Haag. Pemerintah dan militer Myanmar dituduh telah melangar Konvensi Genosida PBB 1948.
Sekitar 740.000 warga Rohingya melarikan diri melintasi perbatasan ke wilayah Bangladesh dan negara-negara tetangga di kawasan Asia Tenggara. Bahkan, beberapa melarikan diri hingga ke Australia setelah Pemerintah Myanmar melancarkan serangan militer besar-besaran di Negara Bagian Rakhine, Agustus 2017.
Tim pencari fakta telah mengeluarkan laporan tentang dugaan genosida terhadap warga Rohingya itu, termasuk lebih dari 100 nama pejabat sipil dan militer yang diduga terlibat. PBB jauh hari telah merilis nama-nama jenderal yang terlibat, termasuk Panglima Angkatan Bersenjata Myanmar Jenderal Min Aung Hlaing.
Pemimpin sipil Myanmar yang juga peraih Nobel Perdamaian, Aung San Suu Kyi, pada sidang awal di Mahkamah Internasional, Desember tahun lalu, membantah tuduhan bahwa pemerintahan sipil yang berada di bawah pengaruhnya melakukan genosida. Dia juga mengingatkan majelis hakim yang memimpin persidangan itu bahwa melanjutkan proses penuntutan berdasarkan tuntutan Gambia berisiko menyalakan kembali krisis dan merusak proses rekonsiliasi.
Bertentangan dengan pernyataan Suu Kyi di persidangan yang menyatakan terdapat proses rekonsiliasi, kenyataan hingga akhir Juni 2020 tekanan militer terhadap warga Rohingya di Negara Bagian Rakhine masih terus terjadi.
Pemerintah Rakhine dan organisasi kemanusiaan memperkirakan sekitar 100.000 warga Rohingya mengungsi dari wilayah Rakhine.
Tekanan dari dalam dan luar negeri tentang kasus genosida itu membuat Pemerintah Myanmar gerah. Pada Selasa (1/9/2020), Kementerian Telekomunikasi Myanmar memerintahkan operator seluler untuk memblokir situs web yang dijalankan oleh aktivis yang menyelidiki kegiatan militer terkait kampanye anti-genosida.
Menurut Kemenkominfo Myanmar, pemblokiran situs-situs itu karena, dalam pandangan pemerintah, mereka menyebarkan berita palsu. Sebaliknya, dalam pandangan para aktivis HAM, tindakan itu adalah upaya membungkam suara-suara kritis.
Myo Swe, Juru Bicara Kemenkominfo, mengatakan telah menindaklanjuti laporan oleh kelompok pemantau media sosial terkait dengan pasukan keamanan, tetapi menolak menyebutkan nama kelompok tersebut.
”Tim pemantau media sosial menemukan bahwa beberapa situs web menyebarkan berita palsu,” kata Myo Swe.
Kelompok kampanye yang situsnya diblokir, Justice for Myanmar, telah menerbitkan serangkaian laporan hasil investigasinya. Termasuk laporan tentang dana sumbangan dari pengusaha dan kelompok bisnis tertentu militer Myanmar ketika operasi militer terhadap warga Rohingya itu berlangsung.
Tentara menyangkal genosida, dengan mengatakan pihaknya terlibat dalam operasi yang sah terhadap militan.
Dalam beberapa bulan terakhir, kementerian telekomunikasi telah memblokir lebih dari 200 situs web karena menyebarkan apa yang dianggapnya sebagai berita palsu, termasuk lembaga yang meliput konflik antara militer dan pemberontak etnis minoritas.
Yadanar Maung, mewakili Justice for Myanmar, mengatakan, tindakan itu adalah upaya membungkam suara-suara kritis, menutupi kebenaran tentang adanya kartel militer di negara ini dan kejahatan internasional.
Maung menyatakan, mereka tidak akan mundur meski mendapat tekanan. ”Kami akan terus berbicara kebenaran kepada penguasa,” ujarnya. (AFP/REUTERS)