Dari Mekkah dan Kairo, Gerakan Nasionalisme Indonesia Bangkit
Kota Mekkah, Arab Saudi, dan Kairo, Mesir, pun pada abad ke-19 dan ke-20 sangat berperan dalam membangun gerakan nasionalisme yang mengantarkan kemerdekaan Indonesia tersebut.
Gerakan nasionalisme Indonesia yang mengantarkan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 ternyata memiliki cikal bakal tidak hanya dari perjuangan anak-anak bangsa di dalam negeri. Anak-anak bangsa yang berada di Timur Tengah, persisnya kota Mekkah dan Kairo, abad ke-19 dan ke-20, juga berjuang untuk kemerdekaan Indonesia tercinta.
Kota Mekkah, Arab Saudi, dan Kairo, Mesir, pun pada abad ke-19 dan ke-20 sangat berperan dalam membangun gerakan nasionalisme yang mengantarkan kemerdekaan Indonesia tersebut. Itulah faktor yang juga berada di balik negara-negara Arab kemudian menjadi pihak yang pertama mengakui kemerdekaan Indonesia.
Mesir merupakan negara pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia pada 22 Maret 1946. Kemudian, segera disusul oleh negara-negara Arab lain, seperti Suriah, Irak, Lebanon, Arab Saudi, Yaman, dan Maroko. Pengakuan itu menjadi modal bagi pengakuan yang lebih luas lagi.
Baca juga : Nasionalisme
Dalam upaya menelusuri kembali jejak gerakan nasionalisme Indonesia dari kota Mekkah dan Kairo itu, KBRI Kairo bekerja sama dengan Universitas Sumatera Utara (USU) pada Senin (31/8/2020) menggelar webinar tentang Relasi Kairo dan Haji dalam Jejaring Nasionalisme Indonesia. Webinar diadakan dalam rangka memperingati HUT kemerdekaan ke-75 Indonesia pada Agustus 2020.
Acara webinar yang dibuka Dubes RI untuk Mesir Helmy Fauzy dan Dekan Fakultas Ilmu Budaya USU Budi Agustono itu menghadirkan narasumber guru besar dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof M Dien Madjid dan Prof Azyumardi Azra, serta dari Universitas Utrecht, Belanda, Prof Martin van Bruinessen.
Budi Agustono mengungkapkan, peran kota Kairo dan para jemaah haji pada abad ke-19 dan ke-20 sangat besar dalam membangkitkan gerakan nasionalisme. Adapun Helmy Fauzy dalam sambutannya menyebut, film Moonrise Over Egypt karya Amir Sambodo yang diputar pada 2017 cukup menggambarkan peta peran kota Kairo dan para mahasiswa Indonesia di Mesir dalam menggerakkan nasionalisme Indonesia.
Baca juga : Liga Muslim Dunia Belajar Islam Damai dari Indonesia
Menurut dia, semangat nasionalisme Indonesia yang bergelora di Mesir pada 1920-an sangat dipengaruhi oleh situasi politik di Timur Tengah, khususnya Mesir, yang berhasil meraih kemerdekaan pada tahun 1922 di bawah pimpinan Saad Zaghloul Pasha.
Menuntut kemerdekaan
Helmy mengungkapkan, menurut laporan konsulat Belanda di Mesir, para pelajar dan mahasiswa Indonesia pada 1926-1929 giat berdemonstrasi untuk menuntut kemerdekaan. Para mahasiswa Indonesia pada hari raya Idul Fitri tahun 1929 menyanyikan lagu ”Indonesia Raya”.
Baca juga : Hiduplah ”Indonesia Raya”
Kemudian, teks lagu kebangsaan itu diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh mahasiswa Indonesia bernama Mahmud Yunus lalu dibagikan ke semua mahasiswa Indonesia dan Melayu di Mesir.
Menurut Fauzy, cikal bakal gerakan nasionalisme Indonesia di Mesir bermula dari seorang pemuda Minangkabau, Taher Djalaludin, yang datang ke Kairo pada 1895. Sebelum ke Kairo, Djalaludin belajar di Mekkah pada 1880-1895. Selama di Mesir, dia berhubungan baik dengan tokoh pembaru, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha.
Djalaludin sangat mengagumi pemikiran Abduh dan Ridha yang menyadarkan tentang pentingnya nasionalisme dan bebas dari penjajahan. Djalaludin kemudian ikut menyebarkan pemikiran Abduh dan Ridha yang tertuang dalam majalah al-Manar.
Kesadaran tentang nasionalisme yang dikembangkan Djalaludin itu kemudian dilanjutkan pemuda Indonesia asal Sambas bernama Muhammad Basyuni yang datang ke Kairo pada 1910. Basyuni sebelumnya belajar di Mekkah selama 10 tahun.
Transformasi organisasi
Para pemuda Indonesia saat itu lalu menginisiasi berdirinya perhimpunan sosial bernama Al Jam’iyah Al-Khairiyah Al-Jawiyah (Perhimpunan Kebaktian Jawa). Organisasi sosial ini kemudian melakukan transformasi haluan organisasi, dari organisasi sosial ke politik dengan membuat majalah seruan al-Azhar untuk membangkitkan semangat nasionalisme.
Gerakan nasionalisme Indonesia di Mesir itu terus berlanjut hingga 1940-an. Bahkan, saat Ir Soekarno dan Mohammad Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945, mahasiswa Indonesia di Mesir belum mengetahui berita kemerdekaan dan masih mengajukan tuntunan kemerdekaan. Surat kabar Mesir, al-Ahram, edisi 26 Agustus 1945, masih memuat artikel tuntutan kemerdekaan Indonesia itu.
Baca juga : Orang Indonesia dan Tanahnya Seratus Tahun Kemudian
Sementara Prof Dien Madjid juga menyampaikan, pembentukan gagasan nasionalisme Indonesia di Mesir sudah terjadi pada abad ke-19 dan ke-20. Menurut dia, perjuangan pemuda dan mahasiswa Indonesia di Mesir pada abad ke-20 semakin menunjukkan taringnya dengan menggalang diskusi dan aktivitas politik yang menyuarakan kejahatan Belanda menjajah Indonesia. Mereka terus memperkenalkan perjuangan Indonesia kepada publik Mesir dan Arab melalui lisan dan tulisan.
Madjid lalu menyinggung peran besar sastrawan Mesir kelahiran Surabaya tahun 1910, Ali Ahmad Bakatsir. Ia mengungkapkan, Bakatsir melalui karya-karya sastranya mencoba memperkenalkan kepada publik Arab bahwa nun jauh di sana di seberang Samudra Hindia terdapat negara yang penduduknya mayoritas Muslim, yang sedang berjuang merebut kemerdekaannya dari Jepang dan Belanda.
Madjid juga menyebut, haji berperan menjadi sarana untuk mempertebal rasa nasionalisme dan antikolonialisme. Jemaah haji yang berada dalam satu kapal keberangkatan merasa mempunyai nasib yang sama. Kesadaran ini membuncah menjadi rasa persatuan Tanah Air. Waktu berhaji digunakan sebagai ajang bertukar konsep perjuangan oleh para jemaah haji dari seluruh Nusantara.
Dua faktor
Martin van Bruinessen menyebutkan, ada dua faktor penting yang melahirkan nasionalisme di Indonesia pada abad ke-19. Pertama, pengaruh jaringan Eropa, khususnya kolonial Belanda. Kolonial Belanda menerapkan sistem administrasi negara dan pendidikan serta mempersatukan Nusantara dari Sabang sampai Merauke. Kedua, perdagangan antarpulau dilakukan oleh orang yang mayoritas beragama Islam.
Menurut Bruinessen, Melayu merupakan bahasa dan budaya serta Islam sebagai agama antarsuku yang mempersatukan para pedagang. Budaya asli Indonesia bukan wayang, melainkan orkes Melayu yang lebih merakyat dan lebih merata di Nusantara. Dua faktor tersebut, kata Bruinessen, yakni kolonial dan jaringan dagang Melayu Islam, menciptakan bangsa Indonesia bersatu. Jaringan Islam itu lalu diperkuat oleh model pendidikan yang muncul pada abad ke-19, seperti pendidikan pesantren, pondok, dan surau.
Pada saat itu, Indonesia praktis memiliki dua ibu kota, yaitu Batavia (Jakarta sekarang) sebagai ibu kota administrasi negara dan Mekkah sebagai ibu kota simbolik. Menurut cendekiawan asal Belanda itu, Mekkah mempunyai peranan dalam pemersatu Nusantara. Di Mekkah ada ulama, mahasiswa, dan pedagang asal Nusantara, yang karena mereka minoritas di kota itu, berandil menumbuhkan perasaan persatuan. Identitas Nusantara lebih penting daripada identitas suku.
Bruinessen mengatakan, ribuan orang dalam setahun melakukan ibadah haji dan ada yang menetap di Mekkah untuk belajar ke ulama di kota itu dan ada pula yang pindah dari Mekkah ke Kairo. Ia menyebut, Mekkah dan Kairo berperan besar dalam membangun nasionalisme dan majalah al-Manar yang diasuh Ridha sangat berperan besar menumbuhkan nasionalisme itu.
Baca juga : Lagu Kebangsaan dan Perayaan KeIndonesiaan Kita
Sementara Prof Azyumardi Azra menjelaskan tentang evolusi pada pemuda dan mahasiswa Indonesia yang mulai datang ke Mekkah pada abad ke-17, dari semula menyandang predikat kedaerahan, yakni Ashabul Jawiyin (para pemuda asal Jawa) hingga bertransformasi ke arah keindonesiaan pada abad ke-19.
Para murid Al-Jawiyian mulai berdatangan ke Mekkah pada abad ke-17, seperti Nurudin ar;-al-Nariri dan Muhammad Yusuf al-Makasari. Pada abad ke-18, para murid Al-Jawiyian datang ke Mekkah, seperti Sheikh Muhammad Arsyad al-Banjari dan Muhammad Nafis al-Banjari.
Pada abad ke-19, para pemuda Nusantara, seperti Nawawi al-Bantani dan Saleh darat al-Samarani, mulai berminat datang ke Kairo dari Mekkah. Para pemuda Nusantara yang datang ke Kairo menjalin hubungan baik dan dekat dengan tokoh pembaru dan antikolonial, Sheikh Rasyid Ridha. Hubungan baik dan dekat tersebut yang berandil besar atas lahir dan tumbuhnya rasa nasionalisme para pemuda diaspora asal Nusantara itu.