Presiden Perancis Emanuel Macron menegaskan dukungannya kepada Lebanon. Namun, ia pun meminta dengan sungguh-sungguh negara itu melakukan reformasi. Tanpa langkah itu, Perancis akan menjatuhkan sanksi.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·3 menit baca
BEIRUT, RABU — Presiden Perancis Emmanuel Macron mengatakan, politisi Lebanon telah berkomitmen terhadap peta jalan yang dimulai dengan membentuk jajaran pemerintahan dalam waktu dua minggu ke depan dan dengan cepat melakukan reformasi. Jika gagal menjalankan reformasi dalam tiga bulan, Lebanon terancam dijatuhi sanksi.
Berbicara pada hari terakhir lawatan dua harinya di Beirut, Rabu (2/9/2020), Macron juga menyampaikan bahwa Perancis berkomitmen membantu Lebanon keluar dari krisis. Namun, jika reformasi tidak berhasil dilakukan dalam waktu tiga bulan, Perancis akan menjatuhkan sanksi, termasuk menunda bantuan internasional.
”Yang sudah disepakati partai politik, tanpa kecuali, adalah pembentukan pemerintahan yang tidak perlu waktu lebih dari 15 hari,” kata Macron. Ia menghendaki pemerintahan baru itu diisi oleh para ahli dan bukan wakil dari partai politik.
”Kembali bekerja seperti biasa itu gila,” ujar Macron kepada wartawan pada akhir lawatannya. ”Sekarang terserah pada kekuatan politik di Lebanon untuk menyetujui implementasi peta jalan ini.”
Macron juga akan tetap memberikan sanksi kepada elite politik jika mereka terus melakukan korupsi, dan jika sanksi dijatuhkan, itu akan dikoordinasikan dengan Uni Eropa.
Dalam kurun waktu kurang dari sebulan, Macron telah dua kali berkunjung ke Lebanon yang menghadapi krisis multidimensi, kejatuhan ekonomi, dan bencana pascaledakan di pelabuhan Beirut. Dalam kunjungan kali ini, ia membawa ambisi besar untuk mendorong perubahan di Lebanon.
Macron menambahkan, dirinya akan menggelar konferensi internasional di Paris pada Oktober nanti untuk mengoordinasi bantuan dan memobilisasi dukungan internasional untuk agenda reformasi Lebanon. Ia juga menyampaikan akan kembali ke Lebanon bulan Desember untuk menindaklanjuti kemajuan yang sudah dicapai.
”Apabila pada akhir Oktober apa yang sudah disepakati para pemimpin belum tercapai, itu akan memicu reaksi,” kata Macron. Jika itu yang terjadi, Macron akan menyampaikan kepada komunitas internasional bahwa pihaknya tidak bisa memberikan bantuan. ”Ini bukanlah cek kosong,” kata Macron.
Macron tiba di Lebanon pada Senin malam atau beberapa jam setelah Duta Besar Lebanon di Jerman, Mustapha Adib, ditunjuk Presiden Michel Aoun untuk membentuk pemerintahan yang baru setelah mendapat dukungan dari partai politik dan para pemimpin.
Sementara itu, Selasa siang, ribuan orang berkumpul di Martyr Square untuk memprotes secara damai kelas penguasa yang dinilai bertanggung jawab atas keterpurukan ekonomi dan ledakan di pelabuhan Beirut. ”Saatnya bertanggung jawab,” demikian salah satu tulisan spanduk yang dibawa dalam aksi itu.
Polisi menembakkan gas air mata ke arah para pemrotes yang mulai melempari aparat keamanan dengan batu dan mencoba menembus barikade polisi untuk mencapai parlemen.
Berada di bawah tekanan dari warganya dan kekuatan Barat, para pemimpin Lebanon berjanji mengabaikan sistem pembagian kekuasaan yang dinilai mengganggu kehidupan politik.
Sistem pembagian kekuasaan membagi kekuasaan antara komunitas Kristen dan Muslim. Di bawah pengaturan puluhan tahun ini, presiden Lebanon selalu harus seorang Kristiani Manorit, perdana menteri harus seorang Muslim Sunni, dan ketua parlemen seorang Syiah.
Bagi banyak pengkritiknya, sistem ini telah melumpuhkan negara dan menyuburkan korupsi dengan memperkuat kekuasaan mantan panglima perang sektarian dan elite partai yang berasal dari segelintir keluarga penguasa.
Sistem tersebut pernah dipuji sebagai pilar koeksistensi. Namun, setelah krisis politik dan ekonomi berulang kali, politisi yang tersingkir telah bergabung dengan para aktivis dan menyebut sistem tersebut sebagai ”penyebab semua penyakit.” (AP/AFP)