Dalam skenario paling optimistis, dibutuhkan Rp 62 triliun untuk pengadaan vaksin Covid-19 di Indonesia. Calon pemasok dan kontrak pengadaan vaksin sudah dijajaki dan kesepakatan telah dicapai. Langkah lanjutan dinanti.
Oleh
Kris Mada, Adhitya Ramadhan, Karina Isna Irawan
·7 menit baca
Jika pencarian vaksin adalah perburuan, Kementerian Luar Negeri dan perwakilan diplomatik RI adalah tim pelacak sasaran. Selama beberapa bulan terakhir, diplomat Indonesia menghubungi sejumlah pihak demi mengamankan pasokan vaksin ke dalam negeri. Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menjadikan perburuan vaksin sebagai prioritas tugas para diplomat di Kementerian Luar Negeri dan sejumlah perwakilan RI.
Bahkan, dalam kesempatan pertama lawatan ke luar negeri setelah lama sulit ke sejumlah negara, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi bersama Menteri BUMN Erick Thohir menjadikan perburuan vaksin sebagai agenda utama kunjungan mereka. Dari lawatan ke China dan Uni Emirat Arab, Retno dan Erick mengamankan pasokan 20 juta dosis untuk 2020 dan 290 juta dosis untuk 2021. Mereka juga telah mengamankan tambahan pasokan hingga 10 juta dosis untuk 2020 dan 50 juta dosis untuk 2021.
Retno menyebut, pembelian vaksin dari luar negeri adalah langkah jangka pendek. Meskipun demikian, dalam pembicaraan dengan pihak produsen, menurut Retno, dibahas juga langkah strategis untuk kerja sama di masa mendatang, terutama terkait pengembangan vaksin. ”Saat ini produk jadi, next apa? Yang lebih strategis dan long term. Dari pembicaraan kita, ada transfer teknologi, kedua adalah transfer of knowledge,” kata Retno.
Salah satu yang dicapai dari upaya itu adalah kerja sama dengan G42 dari Uni Emirat Arab (UEA) untuk pengembangan deteksi virus berbasis teknologi laser yang mampu mengenali aneka virus, bergantung pada data yang dimasukkan. Dalam pembicaraan itu, Indonesia menjajaki peluang untuk kerja sama riset dan pengembangan.
”Untuk mendeteksi virus di masa mendatang. Jadi, saat kita bicara, kita tidak bicara mengenai Covid-19, tetapi kita bicara mengenai next-nya. Semua ini dalam konteks health security yang kita bangun. Sekarang dalam politik luar negeri, isu health security jadi lebih bold, lebih penting itu. Jadi, gambarannya itu,” kata Retno.
Selain langkah bilateral dengan China dan UEA, Indonesia juga menjajaki dan terlibat dalam upaya multilateral melalui Koalisi Inovasi Kesiapan Menghadapi Epidemi (CEPI), Aliansi Vaksin dan Imunisasi Global (GAI), serta mekanisme global COVAX Facility yang dikembangkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Mekanisme ini mengorganisasi langkah global menghentikan pandemi dengan mendorong riset, pengembangan, juga pengadaan vaksin dan terapi.
Harap diingat, tidak seorang pun akan aman sampai semua orang aman. Dalam dunia yang semakin terhubung melalui perdagangan, perjalanan, dan relasi global lain, penting artinya untuk memutus penyebaran virus korona serentak. Ketimpangan akses atas vaksin hanya akan membuat pandemi berkepanjangan.
Secara khusus, COVAX Facility yang diluncurkan April 2020 didesain sebagai polis asuransi untuk mengamankan akses atas vaksin Covid-19 yang aman dan efektif melalui portofolio calon vaksin yang menggunakan berbagai teknologi. Saat ini ada sembilan calon vaksin Covid-19 yang masuk dalam COVAX Facility, yaitu calon vaksin dari Inovio, Moderna, CureVac, Institut Pasteur/Merck/Themis, AstraZeneca/University of Oxford, University of Hong Kong, Novavax, Clover Biopharmaceuticals, dan University of Queensland/CSL.
Tujuan dari COVAX Facility adalah menyediakan setidaknya 2 miliar dosis vaksin Covid-19 hingga akhir 2021 dan memastikan akses setara. Sebanyak 172 negara turut serta dalam mekanisme ini, termasuk 92 negara berpenghasilan rendah hingga menengah yang memenuhi syarat mendapatkan vaksin yang mayoritas biayanya ditanggulangi oleh GAVI.
Dalam negeri
Untuk jangka panjang, Indonesia tengah berusaha mengembangkan sendiri vaksin Covid-19. Pengembangan vaksin nasional itu direncanakan melibatkan sejumlah pihak di luar negeri. Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM) Penny K Lukito, di Jakarta, Selasa (1/9/2020), mengatakan, kerja sama internasional dilakukan, antara lain, oleh PT Bio Farma dan Sinovac, China; PT Kalbe Farma dengan Genexine, Korea Selatan; dan Kimia Farma dengan Sinopharm, China, melalui G42.
”Untuk pengembangan vaksin dalam negeri, yakni vaksin Merah Putih, Badan POM juga sudah membuatkan road map tahapan pengembangan vaksin yang diperlukan untuk memenuhi persyaratan data mulai dari tahap preklinik sampai uji klinik. Ini juga untuk memastikan mutu vaksin terjamin,” kata Penny.
Ditargetkan, vaksin Merah Putih yang dikembangkan dengan koordinasi Konsorsium Riset dan Inovasi untuk Percepatan Penanganan Covid-19 bisa mulai diproduksi pada awal 2022. Saat ini, pengembangan masih dilakukan dalam skala laboratorium di Lembaga Biologi Molekuler Eijkman.
Secara terpisah, Sekretaris Perusahaan Bio Farma Bambang Heriyanto menyebut, Bio Farma hanya membeli bahan aktif dari China. Sementara bahan baku sudah dimiliki BUMN itu. Kebetulan, Bio Farma dan Sinovac mengembangkan vaksin Covid-19 dalam bentuk vaksin yang tidak aktif. Bambang belum bisa memastikan harga vaksin karena proses produksi masih jauh. Kini, Bio Farma dan Sinovac masih menunggu hasil uji klinis tahap ketiga. Jika hasilnya bagus, proses produksi bisa dimulai dan pada tahap itu harga vaksin sudah bisa lebih diperkirakan.
Langkah untuk mengembangkan, memperoleh, dan mengamankan pasokan vaksin adalah hal utama saat ini. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menekankan, ketidakpastian ekonomi masih sangat tinggi selama vaksin Covid-19 belum ditemukan. Penemuan dan pendistribusian vaksin akan menentukan proses pemulihan ekonomi nasional. ”Apakah vaksin bisa segera ditemukan dan didistribusikan, ini memiliki implikasi luar biasa terhadap kegiatan seluruh masyarakat, termasuk aspek ekonomi,” ujarnya.
Isu pendanaan
Sayangnya, kegesitan berburu vaksin di luar negeri tidak diimbangi keligatan penyediaan dana. Hingga Kamis (27/8/2020), Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto dan Menteri Keuangan Sri Mulyani belum bisa memastikan anggaran pengadaan vaksin. Airlangga menyebut, pengadaan vaksin akan menggunakan penganggaran tahun jamak dengan pembayaran di muka. Meski anggaran belum jelas, Airlangga menegaskan, pemerintah menjamin alokasinya.
Sri Mulyani menuturkan, kebutuhan pengadaan vaksin tahun 2020 dipenuhi dari anggaran penanganan Covid-19 bidang kesehatan yang belum memiliki daftar isian pelaksanaan anggaran (DIPA). Hingga 19 Agustus, Rp 34,85 triliun dari total Rp 87,55 triliun anggaran penanganan Covid-19 bidang kesehatan belum memiliki DIPA. Dalam RAPBN 2021, pemerintah mengalokasikan anggaran penanganan Covid-19 bidang kesehatan Rp 25,4 triliun untuk pengadaan vaksin antivirus, sarana dan prasarana kesehatan, laboratorium, litbang, serta bantuan iuran BPJS Kesehatan untuk peserta bukan penerima upah (PBPU). Dengan kata lain, pemerintah punya paling banyak Rp 60,2 triliun untuk pengadaan vaksin.
Terkait dengan pemenuhan vaksin di Indonesia, Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto dalam rapat kerja dengan Komisi IX DPR, Kamis (27/8/2020), mengatakan, Kementerian Kesehatan telah mengajukan anggaran Rp 3,8 triliun. Anggaran tersebut akan digunakan untuk membayar uang muka vaksin Covid-19 yang dikembangkan WHO bersama GAVI dan CEPI.
Terkait dengan harga, Menteri BUMN Erick Tohir memperkirakan, harga vaksin nantinya sekitar 30 dollar AS per dosis. Menurut Erick, harga konsentrat untuk vaksin itu rata-rata 8 dollar AS per dosis. Karena bahan bakunya dibuat Bio Farma, kehalalannya sudah dijamin. Meskipun demikian, sertifikat halal untuk vaksin tetap diurus.
Langkah tepat
Ketua Indonesian Technical Advisory Group on Immunization (ITAGI) Sri Rezeki mengatakan, langkah Pemerintah Indonesia sudah dalam rel yang benar. Vaksin menjadi amat penting karena menjadi ”pengubah permainan” di tengah tren kasus dan gelombang baru penularan.
”Strateginya sudah bagus, tinggal koordinasi antarlembaga yang perlu ditingkatkan. Kementerian Kesehatan harus di depan karena mereka yang memahami masalah,” ujar Sri.
Dengan jumlah yang terbatas, vaksin harus diprioritaskan kepada para petugas di garda depan, baik petugas medis maupun nonmedis. Setelah itu, prioritas selanjutnya adalah kelompok berisiko, seperti warga lansia dengan penyakit penyerta. Kemudian, kelompok yang juga jadi prioritas adalah kelompok usia produktif, di atas 18 tahun, karena selama ini kelompok usia itulah yang paling banyak tertular.
Menurut dia, tidak perlu semua orang mendapat vaksin Covid-19. Dengan perhitungan cakupan vaksinasi tertentu, sekitar 80 persen dari kelompok usia mayoritas yang terpapar, kekebalan kelompok akan terbentuk sehingga bisa menekan risiko penularan di populasi.
Dalam jangka pendek, itulah yang bisa dilakukan Indonesia. Dalam jangka panjang, Sri berharap Indonesia bisa mengembangkan sendiri vaksin Covid-19 karena Indonesia memiliki sumber daya yang diperlukan untuk itu.
Akan tetapi, ia juga mengingatkan, meski ingin cepat mendapatkan vaksin Covid-19, pemerintah tetap harus mengutamakan aspek keamanan vaksin. Selain itu, pemerintah perlu memperkuat sosialisasi, pelatihan tenaga kesehatan, kesiapan logistik pendukung, termasuk ketersediaan rantai dingin, buangan limbah, dan pemantauan kejadian ikutan pasca-imunisasi (KIPI).
Kini, semua telah di depan mata, sasaran telah terkunci, tinggal menunggu eksekusi. (TAN/JOS)