Thailand Makin Keras pada Pengunjuk Rasa, Pemimpin Mahasiswa Ditangkap
Satu per satu pemimpin unjuk rasa antipemerintah Thailand ditangkap polisi. Saat bersamaan, lahir gerakan pro-monarki. Banyak pihak khawatir, muncul lagi polarisasi politik yang diwarnai bentrokan jalanan di negara itu.
Oleh
Mahdi Muhammad
·4 menit baca
BANGKOK, SELASA — Polisi Thailand, Selasa (1/9/2020), menahan Jutatip Sirikhan (21), mahasiswi yang memimpin gerakan mahasiswa dalam unjuk rasa antipemerintah. Jutatip dituduh melanggar aturan keamanan dalam negeri dan aturan pembatasan kegiatan di tengah pandemi Covid-19 yang melarang pengumpulan massa dalam jumlah besar.
Kabar penangkapan Jutatip, Presiden Persatuan Mahasiswa Thailand, diketahui berdasarkan unggahan video yang direkam sendiri oleh Jutatip dan disebarluaskan melalui laman Facebook miliknya. Ia ditangkap oleh seorang petugas kepolisian berpakaian preman ketika ia naik taksi dalam perjalanan menuju sebuah kampus di Bangkok.
Sebelum menahan Jutatip, petugas kepolisian itu memperkenalkan dirinya sebagai anggota Kepolisian Metropolitan Bangkok. Dalam proses penangkapan, polisi itu menyebut surat perintah penangkapan yang dikeluarkan oleh pengadilan setempat.
”Penangkapan itu dilakukan dengan dasar surat perintah penangkapan untuk aksi protes tanggal 18 Juli,” kata seorang petugas di kantor polisi Samranrat di Bangkok.
Petugas kepolisian itu mengutip dua aturan yang diduga dilanggar oleh Jutatip, yaitu pelanggaran aturan keamanan dalam negeri dan aturan pembatasan kegiatan di tengah pandemi Covid-19. Jutatip diduga bertindak sebagai koordinator unjuk rasa.
Namun, menurut petugas tersebut, ada sejumlah tuduhan lain yang akan disangkakan pada Jutatip tanpa memerinci tuduhan itu.
Penangkapan Jutatip merupakan upaya lanjutan pemerintah Thailand untuk menindak keras aktivitas politik warga yang menuntut mundurnya Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha. Pada Jumat pekan lalu, lebih dari 15 orang aktivis pro-demokrasi memenuhi panggilan polisi terkait aksi demonstrasi yang berlangsung hampir setiap hari di Bangkok.
Sejak pertengahan Juli lalu, mahasiswa dan para aktivis pro-demokrasi berunjuk rasa hampir setiap hari mendesak amandemen konstitusi Thailand. Mereka juga menuntut diakhirinya pengaruh militer terhadap sistem ketatanegaraan ”Negeri Gajah Putih” itu.
Selain mendesak reformasi politik dan ketatanegaraan, para pengunjuk rasa juga menyerukan reposisi monarki Thailand di dalam sistem politik negara tersebut. Salah satu tuntutannya adalah perubahan Undang-Undang Lese Majeste yang memberikan hukuman maksimal terhadap pengkritik raja dan keluarganya hingga 15 tahun penjara.
Belakangan ini demonstrasi hampir setiap hari terjadi di Bangkok. Aksi-aksi unjuk rasa itu dipandang sebagai ancaman paling serius bagi pemerintahan PM Prayuth. Prayuth, yang merebut kekuasaan melalui kudeta tahun 2014 dan mempertahankannya kembali melalui pemilihan umum tahun 2019, didesak mundur.
Para pengunjuk rasa dan aktivis pro-demokrasi menilai gurita kekuasaan para jenderal di pemerintahan sipil Thailand semakin kuat. Kinerja yang tidak memuaskan, bahkan sebelum pandemi Covid-19 melanda, dan skandal korupsi yang tidak pernah ditangani secara serius, menjadi titik tolak tuntutan mahasiswa dan para aktivis pro-demokrasi.
Tandingan pro-monarki
Aksi mahasiswa dan kelompok prodemokrasi, yang terjadi hampir setiap hari, pada Minggu (30/8/2020) lalu, mulai mendapat tandingan dari kelompok pendukung monarki. Sekitar 1.000 orang pendukung monarki berkumpul di sebuah arena olahraga di Bangkok dan bersumpah untuk melindungi dan membela raja serta keluarganya.
Tergabung dalam kelompok yang menyebut diri mereka dengan nama ”Thai Pakdee” atau ”Orang Thailand yang Setia”, sebagian besar dari mereka mengenakan kemeja kuning. Warna ini terkait erat dengan warna khas Kerajaan Thailand.
Beberapa pengunjuk rasa terlihat membawa potret Raja Thailand Maha Vajiralongkorn dan mendiang ayahnya, Raja Bhumibhol Adulyadej.
”Saya berjanji akan berjuang bahu-membahu dengan saudara-saudari yang memiliki keyakinan yang sama untuk melindungi lembaga tercinta,” kata Patiyut Tongpajong, salah satu pendukung monarki yang didaulat berbicara di depan massa.
Somporn Suklert, seorang pensiunan, menyatakan bahwa dirinya tidak mempermasalahkan jika aktivis pro-demokrasi dan anak-anak muda yang tergabung di dalamnya memprotes pemerintah. Hal itu adalah bagian dari hak rakyat.
”Saya tidak peduli jika Anda berbicara tentang politik. Anda bisa terus memprotes pemerintah. Lanjutkan, lakukanlah. Tetapi, jangan sentuh monarki. Kami tidak bisa membiarkan hal itu terjadi. Itulah mengapa begitu banyak dari kami yang keluar hari ini, dan Anda akan melihat lebih banyak lagi (dalam unjuk rasa berikutnya),” kata Somporn.
Pemimpin Thai Pakdee, yang juga merupakan mantan anggota parlemen Thailand, Warong Dechgitvigrom, mengatakan bahwa tujuan mereka adalah ”untuk mendidik rakyat”.
Peningkatan suhu politik di Thailand membawa kekhawatiran adanya kekerasan politik baru di negara ini. Dalam 15 tahun terakhir, polarisasi politik telah menyebabkan bentrokan jalanan antara blok politik yang bersaing dan antara mereka dan aparat keamanan.
Munculnya gerakan kelompok pro-monarki menambahkan komposisi aktivitas politik baru. Kondisi ini juga memicu kekhawatiran tentang kemungkinan konfrontasi pada rapat umum anti-pemerintah besar-besaran yang direncanakan pada 19 September mendatang. (AP/REUTERS)