Telah muncul perdebatan tak berujung bahkan menjadi kontroversi di seluruh dunia, apakah anak harus ke sekolah atau belajar jarak jauh dengan kelas daring.
Oleh
Luki Aulia
·4 menit baca
Kapan sebaiknya sekolah dibuka kembali? Kapan anak bisa belajar di sekolah lagi? Amankah anak dan sekolah dari ancaman pandemi Covid-19? Serentetan pertanyaan ini memunculkan perdebatan tak berujung bahkan menjadi kontroversi di seluruh dunia.
Sebagian masyarakat berharap sekolah dibuka lagi supaya anak bisa belajar normal dan tidak bergelut dengan pembelajaran jarak jauh yang terkadang merepotkan. Namun, sebagian lagi tidak setuju sekolah buru-buru dibuka karena khawatir anak-anak rentan terhadap Covid-19.
Tak mau mengambil risiko, Pemerintah Korea Selatan memutuskan untuk menutup semua sekolah mulai dari taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi setelah hampir 200 staf dan siswa terinfeksi Covid-19 selama dua pekan terakhir. Pembelajaran jarak jauh dengan kelas online akan dilakukan lagi sampai 11 September mendatang.
Padahal, menurut harian the Korea Times, Kamis, sebagian besar sekolah di Korsel baru saja buka lagi secara bertahap mulai 20 Mei dan 1 Juni lalu setelah kasus Covid-19 menurun. Menurut data dari Johns Hopkins University, di Korsel ada 17.945 kasus dan 310 orang di antaranya meninggal.
Berbeda dengan Korsel, Pemerintah Amerika Serikat dan Inggris justru akan tetap membuka sekolah meski kasus Covid-19 masih tinggi. Pemerintah Inggris berpandangan risiko anak kehilangan kesempatan mendapat pendidikan berkualitas jauh lebih besar ketimbang tertular Covid-19. Bahkan, prioritas Perdana Menteri Inggris Boris Johnson sekarang adalah memastikan semua anak kembali ke sekolah.
”Dampak jangka panjangnya untuk masa depan anak akan lebih parah kalau anak tidak kembali ke sekolah,” kata Menteri Pendidikan Inggris Gavin Williamson, Sabtu lalu.
Dampak yang dimaksud itu, antara lain, melebarnya kesenjangan antaranak, membatasi kesempatan berkembang, dan memicu persoalan kesehatan mental dan fisik. Kepercayaan diri pemerintah untuk membuka sekolah lagi itu karena ada beberapa studi di Inggris yang membuktikan risiko anak tertular dan meninggal karena Covid-19 sangat rendah. Studi serupa juga dilakukan di Spanyol, Italia, dan Swiss.
”Persentase kasus kira-kira 0,1 persen untuk anak usia 0-9 tahun dan 0,3 persen untuk usia 10-19 tahun jika dibandingkan dengan rata-rata kasus yang perlu masuk rumah sakit 4 persen untuk seluruh populasi,” sebut pernyataan Kementerian Kesehatan Inggris.
Johnson akan membuka sekolah lagi mulai September dan menjamin akan menetapkan protokol kesehatan yang ketat seperti memastikan anak menjaga jarak dan wajib mengenakan masker agar orangtua tak khawatir.
Untuk memastikan jarak antaranak, Jepang dan China membuat kotak bening di meja setiap anak. Ketika jam istirahat atau jam makan, anak juga harus jaga jarak dengan teman-temannya.
Bagi orangtua yang tidak setuju sekolah dibuka, banyak yang mengikutkan anak-anaknya untuk belajar bersama dengan anak-anak yang tinggal berdekatan.
Tren ”learning pods” ini muncul di Amerika Serikat karena masih banyak yang tidak setuju dengan keputusan Presiden AS Donald Trump membuka sekolah lagi. Masalahnya, belajar kelompok ini menjadi mahal karena harus ada guru sekolah yang dibayar untuk mengajar seperti layaknya di ruang kelas.
”Inisiatif ini muncul karena banyak orangtua yang sadar anak-anaknya tidak bisa belajar dengan cara jarak jauh,” kata Dekan Sekolah Pendidikan di University of Southern California Pedro Noguera.
Sayangnya, inisiatif ini tak akan terjangkau oleh masyarakat menengah ke bawah dan miskin karena biayanya bisa mencapai minimal 10.000 dollar untuk 1 semester. Pakar pembelajaran di Sekolah Publik Atlanta, Clara Totenberg Green, menilai, meski ini bisa menjadi salah satu solusi, tetap saja akan memperlebar kesenjangan dan segregasi ras di dunia pendidikan.
Karena tak semua mampu, pembelajaran secara virtual atau online masih menjadi andalan. Cara belajar online saja masih belum bisa diikuti semua anak.
Menurut studi Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Anak-anak (Unicef), Rabu lalu, sedikitnya sepertiga siswa atau 463 juta anak di seluruh dunia tidak bisa atau kesulitan mengakses pendidikan virtual. Ini karena mereka tidak memiliki peralatan belajar atau gawai yang memadai.
”Ini sudah darurat pendidikan global. Masyarakat dan ekonomi akan terdampak dalam jangka panjang,” kata Direktur Eksekutif Unicef Henrietta Fore.
Setidaknya 1,5 miliar anak di dunia terdampak karantina atau penutupan sekolah akibat Covid-19. Akibat perbedaan geografis, akses anak terhadap pendidikan jarak jauh yang disampaikan melalui internet, televisi, dan radio pun berbeda. Situasi di Afrika atau sebagian Asia lebih parah ketimbang di Eropa.
Dari seluruh anak di dunia yang tidak bisa mengakses pendidikan virtual, 67 juta anak berada di Afrika Timur dan Selatan, 54 juta di Afrika Barat dan Tengah, 80 juta di Pasifik dan Asia Timur, 37 juta di Timur Tengah dan Afrika Utara, 147 juta di Asia Selatan, dan 13 juta di Amerika Latin dan Karibia.
Melihat kondisi ini dan mengingat pentingnya masa depan anak, membuka sekolah bagaikan memakan buah simalakama; tidak terelakkan sekaligus mengkhawatirkan. Mempertimbangkan kepentingan masa depan anak, Unicef mendorong berbagai pemerintah untuk segera membuka sekolah, tetapi tentu dengan menegakkan protokol kesehatan yang ketat. (REUTERS/AFP/AP)