Kerja sama yang baik antara Indonesia dan China dalam pengembangan vaksin diharapkan dapat menyelamatkan banyak nyawa.
Oleh
Pascal S Bin Saju
·4 menit baca
Kematian akibat pandemi Covid-19 di Indonesia terus meningkat. Sejak kematian pertama akibat Covid-19 pada Maret 2020, Indonesia pada Senin (31/8/2020) mencatat 7.343 kasus kematian atau bertambah 274 kasus dari 7.069 kasus pada tiga hari lalu, Jumat.
Covid-19 yang berawal dari Wuhan, China, ini telah membuat Indonesia kerepotan. Semua sektor kehidupan penting, baik ekonomi dan bisnis, kesehatan, maupun pendidikan, menjadi kedodoran akibat terdampak pandemi.
Situasi seperti itu dialami banyak negara, tidak terkecuali negara sebesar dan sehebat seperti Amerika Serikat sekalipun. Masuk akal jika pada awal pandemi mengguncang AS, Presiden Donald Trump menuding China tidak berterus terang terkait kemunculan Covid-19 di Wuhan.
Penasihat Keamanan Nasional Gedung Putih Robert O’Brien bahkan lebih jauh lagi. Dia secara langsung menuduh China dengan sengaja menutupi informasi yang benar tentang Covid-19. Apabila ada informasi yang benar, memungkinkan langkah antisipatif yang lebih siap.
”Bagaimana virus ini dimulai di China, bagaimana penanganannya sejak awal, semuanya tidak benar. Wabah itu seharusnya ditangani secara berbeda,” kata O’Brien, kepada Reuters.
Tudingan itu bisa masuk akal. Pembatasan aktivitas dokter Li Wenliang, orang pertama (whistleblower) yang menemukan virus mematikan itu sampai harus berurusan dengan polisi Wuhan, memang bisa dipakai menjadi bukti awal upaya China membungkam informasi itu.
Senator AS Lindsey Graham mengatakan dia yakin jika bukan karena ”penyesatan”oleh Partai Komunis China yang berkuasa, virus itu takkan sampai ke banyak negara termasuk, AS. Sampai Minggu (30/8/2020), AS memiliki lebih dari 5,8 juta kasus infeksi dengan lebih dari 180.000 kasus kematian.
Graham mengatakan, China telah menolak mengizinkan para penyelidik mempelajari bagaimana wabah itu dimulai. Dalam satu pernyataan, ia berujar, ”Saya yakin China tidak akan pernah bekerja sama untuk sebuah penyelidikan yang serius,” seperti dikutip Reuters.
Beijing telah membalas tuduhan AS sebagai fitnah dan merusak citra China. ”Saya pikir masalah ini harus diserahkan kepada para ilmuwan dan medis profesional dan bukan politisi yang berbohong demi tujuan politik domestik mereka sendiri,” kata juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Hua Chunying, seperti dikuti Al Jazeera.
Sementara itu, Indonesia boleh dibilang nrimo. Namun, di tengah situasi yang semakin sulit ini, Indonesia kemudian terus berusaha membangun komunikasi dan kolaborasi untuk pengembangan vaksin yang lebih cepat.
Dalam konteks itulah, Menlu RI Retno LP Marsudi membangun komunikasi virtual dengan Menlu China Wang Yi, pekan lalu. Indonesia juga berharap pada vaksin dari China yang diproduksi Sinopharm dan Sinovac untuk menghentikan penyebaran virus korona.
Bahkan calon vaksin produksi Sinovac sudah pula melakukan pengujian kepada ratusan orang di Indonesia atas kerja sama dengan Bio Farma di Bandung, Jawa Barat. Hasilnya sejauh ini memang menjanjikan.
Walau demikian, Sinovac belum menetapkan harga. Adapun Sinopharm sudah memasang tarif mahal, yakni 1.000 yuan atau sekitar Rp 2,1 juta per dua dosis. Sementara harga calon vaksin Oxford (Inggris) 8 dollar AS per dua dosis.
Pada satu titik itulah, titik di mana harga vaksin China meroket, masuk akal juga jika berbagai kalangan bertanya apakah para petinggi Partai Komunis China (PKC) yang berkuasa saat ini lebih mengutamakan vaksinasi atau bisnis vaksin?
Jika pakar vaksin di Shanghai (China), Tao Lina, terkejut dengan harga calon vaksin Covid-19 dari Sinopharm yang mahal, kita lebih terperanjat lagi.
Tao bahkan mengatakan, harga yang selangit itu mengindikasikan kemungkinan bahwa China tidak memasukkan vaksin Covid-19 ke dalam program vaksinasi gratisnya. Dengan kata lain, China lebih mengutamakan bisnis ketimbang upaya memerangi bencana kesehatan global ini.
Jika itu yang terjadi, wajar muncul pertanyaan, apakah PKC dan petinggi China peduli atas krisis kesehatan global saat ini, termasuk mitranya Indonesia, atau hanya lebih mementingkan perbaikan citra negaranya—dari negara asal virus korona menjadi pemimpin pengendalian Covid-19—perjalanan waktu akan membuktikan.
Mungkin, akan lebih banyak lagi nyawa orang Indonesia yang terancam jika kelak rakyat takkan mampu membayar atau mengakses vaksin yang mahal. Walau untuk rakyat yang benar-benar tidak mampu, terbuka kemungkinan pembiayaan vaksinnya dari APBM.
Meski, ada pula banyak pilihan vaksin yang mungkin bisa dipilih melalui banyak prasyarat yang ketat.
Presiden China Xi Jinping, Mei lalu, juga telah mengumumkan pemberian bantuan internasional dan menjadikan vaksin Covid-19 China sebagai barang publik global jika sudah tersedia. Meski Xi Jinping belum menyinggung soal harga vaksin.
Anggota Komisi IX DPR, Saleh Partaonan Daulay, baru-baru ini khawatir jika uji klinis vaksin Covid-19 Sinovac dijadikan bisnis. Dia khawatir jika uji klinis vaksin ini tidak dilakukan dengan pendekatan government to government (G2G), tetapi business to business (B2B).
Terlepas dari soal harga vaksin yang belum ditetapkan, kita berharap kerja sama yang baik Indonesia-China dapat menyelamatkan banyak nyawa. (AFP/REUTERS/AP)