Suhu Politik AS Semakin Panas Pascaperhelatan Dua Konvensi
Partai Republik dan Partai Demokrat telah menyelesaikan konvensi jelang pemilihan presiden 2020. Penyebaran ketakutan adalah senjata utama Republikan. Adapun bagi Demokrat, pertanyaan soal kapabilitas Trump jadi amunisi.
Sekitar dua bulan lagi, pemilihan presiden Amerika Serikat akan berlangsung. Permasalahan di dalam negeri yang belum tertangani, termasuk hantaman pandemi Covid-19, hingga masalah hubungan luar negeri menjadi isu yang diperdebatkan dan ”dijual” dalam kampanye. Isu-isu tersebut dimaknai oleh setiap kubu dengan tujuan menjatuhkan pihak lawan.
Partai Republik dan Donald Trump, calon presiden petahana, langsung tancap gas sejak hari pertama konvensi, Senin (24/8/2020). Hampir semua pembicara yang tampil pada malam pembukaan konvensi Partai Republik berpidato dengan ritme dan substansi yang sama, yaitu soal ketakutan dan kekhawatiran jika Amerika Serikat dipimpin seorang anggota Demokrat.
Ketakutan akan dirampasnya hak milik warga kulit putih, isu kepemilikan senjata api, hingga masalah identitas kewarganegaraan merupakan beberapa isu yang menjadi senjata para pembela Trump untuk menjatuhkan Joe Biden, calon presiden dari Demokrat, serta untuk memperoleh kepercayaan para pendukung mereka. Kemunculan tokoh muda progresif dari kalangan kulit berwarna di tubuh Demokrat juga menjadi senjata Republikan untuk menuduh lawan mereka telah disusupi ”kelompok kiri radikal”.
Baca juga : Republikan Buka Konvensi dengan Tebar Ketakutan
Untuk mendukung wacananya, tim kampanye Partai Republik sampai mengundang pasangan suami istri Mark dan Patricia McCloskey asal St Louis, Missouri. Pasangan ini menjadi sorotan karena menodongkan senjata api otomatis kepada para peserta unjuk rasa Black Lives Matter yang lewat di depan properti milik mereka.
Pasangan itu mengingatkan para calon pemilih, khususnya pemilih konservatif, tentang bahaya ”kelompok kiri radikal” yang mendukung Biden dan Demokrat. ”Tidak peduli di mana Anda tinggal, keluarga Anda tidak akan aman di Amerika (jika dipimpin oleh) Demokrat yang radikal,” kata Patricia McCloskey.
Tidak lama berselang, kerusuhan rasial kembali pecah di AS. Seorang petugas kepolisian di Kenosha, Negara Bagian Wisconsin, menembak seorang warga kulit hitam, Jacob Blake, dengan tujuh tembakan dari belakang. Saat ditembak, Blake sedang berada dalam posisi masuk ke mobil lewat pintu sopir.
Baca juga : Serangan Republik, Mulai dari ”Kiri” hingga Senjata Api
Republikan berusaha menggeser isu rasialisme tersebut dari isu kekerasan brutal polisi—yang dulu juga memicu kerusuhan rasial di Minneapolis, Minnesota—menjadi persoalan penegakan hukum. Meski kedua korban tindakan brutal polisi dalam dua peristiwa terpisah, Blake dan George Floyd, tidak bersenjata saat kejadian, Republikan berkilah bahwa polisi tidak bisa berbuat banyak karena Demokrat memotong anggaran kepolisian.
”Jika Demokrat mau bersama anarkis, penghasut, pembuat kericuhan, penjarah, hal itu terserah mereka. Sebagai presiden Anda, saya tidak mau menjadi bagian dari itu,” kata Trump dalam pidato menerima pencalonan dirinya sebagai capres untuk periode kedua di halaman Gedung Putih, Washington DC, pada hari terakhir konvensi, Kamis lalu (Kompas.id, 28 Agustus 2020).
Secara sederhana, mantra yang ingin disampaikan Trump dan Republikan dalam kampanye jelang pemilu, 3 November mendatang, adalah ”Anda tidak akan aman apabila memilih Biden dan Demokrat”.
Kapabilitas
Untuk mengimbangi serangan Trump dan para pendukungnya yang mencoba menebar ketakutan, Biden dan kolega-koleganya balik mempertanyakan kapasitas dan kapabilitas mantan pengusaha real estat itu dalam memimpin AS. Penanganan pandemi Covid-19 yang amburadul dan dua kali kerusuhan rasial akibat kebrutalan polisi menjadi amunisi Biden dan para koleganya untuk menjatuhkan Trump.
Bill Clinton, mantan presiden AS, dalam penampilannya secara virtual pada konvensi Partai Demokrat menyebut jargon Trump pada kampanye sebelumnya yang ingin membangun kejayaan AS hanya pepesan kosong. Sebaliknya yang terjadi, kata Clinton, AS di bawah Trump justru mundur jauh ke belakang. ”(Negara) kita adalah satu-satunya kekuatan ekonomi industri besar dengan tingkat pengangguran tiga kali lipat,” katanya.
Baca juga : Pencalonan Biden ”Si Pria Pemberani” untuk Akhiri ”Kekacauan” Trump
Ketidakmampuan Trump dalam menangani pandemi Covid-19 menjadi fokus utama serangan Demokrat kepadanya. Bukannya membawa kurva kasus dan jumlah penderita Covid-19 menurun, tetapi AS di bawah kepemimpinan Trump bergerak ke arah sebaliknya.
Hingga Sabtu (29/8/2020), berdasarkan data Universitas John Hopkins dan Worldometer.info, AS masih terus berada di puncak daftar negara paling parah terpukul pandemi Covid-19 dengan jumlah kasus hampir enam juta orang. Tingkat kematian di AS kini mencapai lebih dari 181.000 jiwa. Angka ini sangat jauh lebih tinggi dari kasus di China, negara tempat asal virus penyebab Covid-19.
”Pada saat seperti ini (pandemi Covid-19), Kantor Oval seharusnya menjadi pusat komando. Namun, yang terjadi sebaliknya, tempat itu menjadi pusat badai. Hanya ada kekacauan,” kata Clinton.
Para pembicara pada konvensi Partai Demokrat, 17-20 Agustus lalu—antara lain loyalis Republikan, seperti Colin Powell, mantan Kepala Staf Gabungan Gedung Putih, hingga Cindy McCain, janda dari John McCain, senator Republikan yang pernah menjadi calon wakil presiden AS—sepakat dengan pandangan Demokrat soal isu tersebut. Alih-alih memperkuat penanganan pandemi di dalam negeri, menurut mereka, banyak komentar menyeleneh yang disampaikan Trump, yang sering kali tidak memiliki basis ilmu pengetahuan akurat untuk mendukung pernyataannya.
Baca juga : Joe Biden Sesumbar Jadi Jalan Terang Amerika
Stacey Abrams, seorang Demokrat, dalam kolomnya di jurnal Foreign Affairs menyatakan, tantangan terbesar sistem demokrasi liberal Amerika Serikat bukan datang dari luar ataupun dari sistem itu sendiri. Tantangan sistem demokrasi liberal AS sekarang, menurut dia, adalah disfungsi pemerintahan AS.
”Variabel yang penting dalam penanganan pandemi dan krisis adalah kompetensi—membawa perpaduan yang tepat antara keterampilan, kapasitas, dan eksekusi kebijakan dalam menghadapi masalah yang dihadapi,” kata Abrams.
Kebijakan luar negeri
Dalam pandangan Christopher R Hill, mantan duta besar AS yang pernah bekerja untuk pemerintahan Republikan maupun Demokrat, dalam tulisannya di Foreign Affairs, pemerintahan Trump telah merusak standar keunggulan dan keahlian yang seharusnya dimiliki oleh Pemerintah AS. Kerusakan itu tidak hanya dalam urusan dalam negeri, tetapi juga dalam kebijakan luar negerinya.
Menurut Hill, Trump telah merusak kebijakan luar negeri AS, terutama dengan tindakan unilateralismenya. ”Di bawah Trump, Amerika Serikat mengarungi dunia sendirian tanpa kompas moral atau sekutu untuk mengawalnya, bergerak menuju tujuan yang belum ditentukan,” kata Hill.
Richard Haass, Presiden Dewan Hubungan Luar Negeri, di dalam Foreign Affairs edisi September/Oktober 2020 menyebut ada distorsi ketika Trump memandang kebijakan-kebijakan luar negerinya membawa AS dalam kondisi sekarang ini. Haass mencontohkan perdagangan, misalnya. Di mata Trump, perdagangan dinilai secara mutlak lebih menguntungkan China.
Cara pandang itu lebih mengemuka pada pemerintahan Trump dibandingkan dengan pandangan bahwa hubungan perdagangan bisa menjadi sumber ekonomi yang menguntungkan dan sarana membuka lapangan kerja baru. Cara pandang tersebut diimplementasikan Trump, antara lain, dengan memberikan insentif tambahan kepada para pemilik modal AS yang berbisnis dan membuka pabrik-pabrik mereka di China untuk pulang dan memindahkan pabrik-pabrik mereka di AS.
Dalam isu lain, misalnya pada kesepakatan nuklir Iran, Haass menyebut pemerintahan Trump telah gagal mencapai sasaran—mengubah perilaku Teheran maupun menumbangkan rezim Iran—lewat penarikan diri dari kesepakatan tahun 2015 itu. ”Iran kini telah mengabaikan batasan-batasan yang ditetapkan JCPOA (kesepakatan nuklir 2015) dan, lewat campur tangannya di Irak, Lebanon, Suriah, dan Yaman, Iran terus berupaya mengubah Timur Tengah,” tulis Haass.
Tawaran Biden
Bagaimana kira-kira wajah AS andai Biden memenangi pilpres nanti? Dalam artikelnya di Foreign Affairs, Biden memaparkan, banyak kerja yang harus dilakukan oleh pemerintahan AS pada tahun-tahun ke depan untuk memperbaiki kekacauan yang dibuat Trump dan kabinetnya.
Menurut Biden, perbaikan kebijakan di dalam negeri, mulai dari masalah imigran, isu senjata api, hingga pendidikan dan kesehatan, ikut menunjang performa AS dalam kebijakan luar negerinya. Biden ingin kembali mendudukkan Gedung Putih sebagai titik utama perbaikan sistem demokrasi dan bukan sebaliknya, untuk menyerang demokrasi itu sendiri. Beberapa perbaikan yang dimaksud Biden adalah penghormatan terhadap kebebasan pers, hak untuk memilih, hingga sistem peradilan yang independen.
Kebijakan ekonomi dengan membangun dan memberdayakan kelas menengah di AS, menurut Biden, menjadi fokus utama dan kunci percepatan ekonomi AS. Investasi dalam bidang kesehatan, pendidikan, hingga teknologi—mulai dari teknologi jalan raya, perkeretaapian, energi, hingga pengembangan kota-kota pintar baru yang dilengkapi dengan infrastruktur teknologi 5G—diharapkan akan membantu memulihkan kembali pamor AS di mata dunia.
Biden juga mengatakan, unilateralisme tidak cukup efektif ketika berhadapan dengan China atau Rusia. Cara paling efektif untuk menghadapi tantangan global saat ini, menurut Biden, adalah dengan cara kolaborasi dengan banyak negara untuk menciptakan dunia yang lebih baik.