Upaya China Mengubah Citra, dari APD hingga Calon Vaksin
Tidak hanya di Indonesia, negara-negara lain di Asia, Australia, Amerika, dan Eropa pun sempat memprotes APD ”asal jadi” dari China yang membanjiri dunia.
Oleh
pascal s bin saju
·2 menit baca
Pandemi Covid-19, yang hingga Kamis (27/8/2020) telah menginfeksi 160.165 orang dan menewaskan 6.944 orang di Indonesia, sempat diwarnai perebutan peralatan medis di seluruh dunia. Entah itu urusan masker, baju pelindung, ventilator, dan alat tes, yang sebagian besar dibuat di China.
Indonesia sempat kebanjiran barang-barang China itu dan kebanyakan tidak bermutu yang membuat geger publik. Mulai dari Jakarta hingga daerah mengeluhkan mutu produk alat pelindung diri (APD) China itu. Bahkan, pada Maret lalu sempat heboh, APD asal China itu ternyata diproduksi di Indonesia karena bertuliskan "Made in Indonesia".
Tidak hanya di Indonesia, negara-negara lain di Asia, Australia, Amerika, dan Eropa, pun sempat memprotes APD ”asal jadi” dari China yang membanjiri dunia. Pada April lalu, para ilmuwan dan otoritas kesehatan di Spanyol, Ceko, Slovakia, Turki, dan Inggris mengeluhkan tes antigen atau antibodi virus korona dari China—dalam beberapa kasus telah merugikan pemerintah hingga jutaan dollar AS.
Daftar keluhan dari negara-negara asing yang terus bertambah tentang peralatan medis dan alat uji yang buruk atau rusak asal China itu pun mengganggu agenda Beijing untuk memperbaiki citranya. China ingin bergerak cepat untuk mengubah citranya dari negara asal penyebaran virus Covid-19 ke seluruh dunia menjadi pemimpin pengendalian pandemi Covid-19.
Pertarungan soal penyediaan vaksin Covid-19 yang cepat telah membuat banyak negara berlomba-lomba, tidak terkecuali China yang terus berusaha memperbaiki citranya.
Pekan lalu, terbetik berita bahwa calon vaksin yang dikembangkan Sinopharm, China, ada di harga tertinggi, yakni hampir 1.000 yuan (145 dollar AS) atau sekitar Rp 2,1 juta per dua dosis untuk memvaksin satu orang. Harga itu jauh lebih tinggi dibandingkan dengan banderol yang dipasang oleh produsen lain. Bandingkan dengan calon vaksin yang dikembangkan oleh Oxford/AstraZeneca, Inggris, yang hanya seharga 4 dollar per satu dosis atau 8 dollar per dua dosis.
Pemimpin China National Pharmaceutical Group atau Sinopharm, Liu Jingzhen, menyebutkan, harga calon vaksin Covid-19 yang dikembangkan China National Biotec Group, salah satu unit Sinopharm, takkan lebih dari 1.000 yuan atau sekitar Rp 2,1 juta untuk dua dosis.
Namun, harga tersebut masih yang tertinggi dibandingkan perusahaan farmasi pembuat calon vaksin Covid-19 lainnya. ”Harganya takkan terlalu mahal. Harganya beberapa ratus yuan satu dosis. Dua dosis tak sampai 1.000 yuan,” kata Liu seperti dikutip Guangming Daily.
Liu tidak menjelaskan apakah itu harga eceran atau harga borongan. Selain itu, tidak dijelaskan apakah program jaminan kesehatan China akan menanggung sebagian biaya vaksinasi ataukah sudah termasuk dalam program imunisasi nasional yang gratis untuk seluruh warga China.
Pakar vaksin di Shanghai (China), Tao Lina, terkejut dengan harga calon vaksin Covid-19 dari Sinopharm yang lebih mahal dari perusahaan farmasi Barat. Hal itu mengindikasikan kemungkinan bahwa China tidak memasukkan vaksin Covid-19 ke dalam program vaksinasi gratisnya.
Tidak heran jika senator AS, Lindsey Graham, sekutu dekat Presiden Donald Trump, mengusulkan undang-undang yang memberikan wewenang kepada presiden untuk menjatuhkan sanksi luas terhadap China.
Graham bahkan yakin jika bukan karena ”penipuan” oleh Partai Komunis China yang berkuasa, virus itu tidak akan masuk ke Amerika Serikat.
Covid-19 telah membuat AS dan China saling menyalahkan dan berimplikasi luas, sebagai bagian perang dagang yang dimulai pada Maret 2018.
Semua kecaman dan tudingan AS dan sejumlah negara lain terhadap China terkait penanganan Covid-19 yang dinilai salah telah berulang kali dibantah keras oleh Beijing yang menilai ada upaya merusak citra China. (AFP/AP/REUTERS)