Seorang pria kulit putih menembaki massa yang memprotes penembakan seorang kulit hitam oleh polisi kulit putih di Wisconsin. Massa mengabaikan jam malam dan imbauan untuk tetap tenang.
Oleh
kris mada
·4 menit baca
WISCONSIN, RABU — Protes warga atas penembakan Jacob Blake terus berlanjut dan dikhawatirkan berkembang menjadi konflik sesama warga. Pada Selasa (25/8/2020) malam waktu Wisconsin atau Rabu pagi WIB terjadi tiga penembakan di sekitar lokasi protes dan kericuhan. Para pengunjuk rasa tetap turun ke jalan meski keluarga Blake dan pemerintah telah meminta massa menenangkan diri.
Kepolisian Kenosha masih menyelidiki sejumlah laporan penembakan yang berujung kematian dua orang dan melukai seorang lain. Penembakan terjadi setelah polisi menghalau massa dari depan pengadilan.
Dalam video yang didapat polisi dari warga terlihat seorang pria kulit putih membawa senapan ke dekat massa pengunjuk rasa. Setelah itu, pria yang belum dikenali tersebut menembak beberapa kali dan mengenai beberapa orang. Kepolisian masih menyelidiki penembakan itu.
Penyelidikan juga masih terus dilakukan dalam insiden pada Minggu sore yang berujung pada penembakan beruntun oleh polisi terhadap Blake. Jaksa Kenosha, Michael Graveley, mengatakan bahwa sampai sekarang belum ada dakwaan apa pun terhadap para oknum yang terlibat dalam insiden Blake.
”Kami diminta membuat dua keputusan. Pertama, apakah oknum melakukan kejahatan. Kedua, apakah ada kejahatan yang dilakukan tanpa alasan? Jika kedua pertanyaan dijawab ya, maka akan ada dakwaan,” demikian pernyataan Kejaksaan Kenosha.
Kejaksaaan berencana menyelesaikan penyelidikan dalam 30 hari. Sementara dua polisi yang terekam menggiring Blake telah dibebastugaskan. Walakin, sampai sekarang mereka belum ditahan. Bahkan, identitas mereka tidak kunjung diungkap.
Fakta itu memicu kemarahan keluarga Blake dan massa. Keluarga menyiapkan gugatan kepada kepolisian Kenosha. Pengacara Blake, Ben Crump, mendesak polisi segera menangkap dan memecat dua oknum anggotanya.
Sementara ibu Blake, Julia Jackson, mengatakan, sangat sedih karena anaknya harus masuk daftar orang yang ditembak polisi. ”Saya tidak pernah membayangkan seperti ini,” ujarnya.
Meskipun demikian, ia meminta massa tetap tenang. Ia yakin anaknya tidak senang melihat kerusuhan yang kini terjadi. ”Tolong merenung? Apakah kita sekarang bersatu? Bangsa ini besar bila semua orang berperilaku beradab,” ujarnya.
Adik Blake, Letetra Widman, mengatakan bahwa ia tidak sedih atas insiden Blake. Ia juga menolak keluarganya dikasihani. ”Saya marah dan ingin perubahan,” katanya, seraya menekankan orang kulit hitam terus-menerus menjadi korban diskriminasi rasial.
Upaya mengendalikan kerusuhan termasuk dengan pemberlakuan jam malam. Walakin, masa mengabaikan itu seperti kala mereka memprotes kematian George Floyd di Minnesota pada Mei 2020.
Tanggapan
Ibu Negara AS Melania Trump juga meminta massa untuk tenang. ”Saya mendesak warga untuk bertindak secara beradab sehingga bisa hidup dan bekerja sesuai standar Amerika. Saya meminta warga menghentikan kekerasan dan penjarahan, jangan membuat asumsi berdasarkan warna kulit,” ujarnya kala berpidato di Konvensi Nasional Republik (RNC) 2020.
Melania tampil di malam kedua RNC yang dimulai sejak 24 Agustus 2020. Dua anak Trump, yakni Eric dan Tiffany, juga menjadi pembicara RNC 2020. Mereka menyusul Trump dan anggota keluarga Trump lain yang lebih dulu tampil di malam pertama RNC 2020. ”Saya telah merenungkan protes rasial di negara kita. Itu kenyataan pahit yang tidak bisa dibanggakan,” ujarnya.
Ia juga menyinggung soal pandemi Covid-19 yang telah menginfeksi hampir 6 juta orang dan menewaskan 182.449 orang di AS. ”Sejak Maret, kehidupan kita berubah drastis. Simpati terdalam saya untuk siapa pun yang kehilangan orang tercintanya. Doa saya untuk mereka yang masih sakit dan menderita,” ujarnya.
Melania menyinggung sebagian dari isu yang disebut sebagai buah ketidakbecusan suaminya bertugas sebagai Presiden AS. Isu yang biasa digunakan lawan untuk menyerang Trump adalah penurunan kinerja ekonomi. Para sekutu Trump menegaskan, perekonomian AS sangat baik sebelum pandemi. Kini, keadaan memburuk sehingga puluhan juta orang menganggur.
Dalam serangkaian jajak pendapat, ketidakpuasan terhadap kinerja Trump selalu di atas 55 persen. Sementara peluang keterpilihannya di kisaran 40 persen hingga 46 persen. Dalam jajak pendapat terbaru yang digelar secara terpisah oleh CNN dan Reuters, terungkap peluang keterpilihan Trump paling tinggi 42 persen.
Dengan waktu pemilihan yang tidak sampai 2,5 bulan lagi, tidak mudah bagi Trump untuk menaikkan peluang keterpilihan. Apalagi, berbeda dengan 2016, kini peluang keterpilihan lawannya tidak hanya tinggi. Para pendukung Joe Biden lebih tersebar dibanding Hillary Clinton yang dikalahkan Trump pada 2016.
Kala itu, Hillary juga selalu memimpin berbagai jajak pendapat dan unggul di perolehan suara langsung (popular vote). Hillary 65,8 juta, Trump 63,9 juta. Masalahnya, suara pendukung Hillary tidak tersebar. Akibatnya, Hillary kalah di banyak dapil dan gagal mendapat suara perwakilan (electoral vote). Padahal, kemenangan di pilpres AS ditentukan oleh suara perwakilan. Karena itu, setiap capres harus memenangi dapil sebanyak mungkin.
Kini, suara pendukung Biden lebih tersebar dan berpeluang memenangi lebih banyak dapil. Wisconsin termasuk dalam negara bagian yang masih mengambang dan belum ada kecenderungan untuk dimenangi Biden atau Trump. (AP/REUTERS)