AstraZeneca Kembangkan Antibodi untuk Lawan Virus Korona
Selain vaksin, para ilmuwan di dunia juga mengembangkan berbagai metode terapi untuk menyembuhkan pasien Covid-19.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·3 menit baca
LONDON, SELASA — Perusahaan farmasi di seluruh dunia tidak hanya mengembangkan vaksin untuk mencegah infeksi virus korona, tetapi juga mengembangkan terapi untuk mengobati pasien Covid-19. Salah satu yang dikembangkan adalah antibodi monoklonal.
Salah satu perusahaan farmasi yang mengembangkan antibodi untuk mengobati Covid-19 adalah AstraZeneca dari Inggris. Selama ini, bersama dengan University of Oxford, AstraZeneca mengembangkan calon vaksin Covid-19.
Kini, perusahaan yang berbasis di London itu akan menguji aspek keamanan kombinasi dua antibodi monoklonalnya, yaitu AZD7442, pada 48 partisipan sehat berusia 18-55 tahun. Hasil uji klinis ini kemungkinan sudah tersedia akhir tahun ini.
Apabila hasil uji klinis menunjukkan ternyata AZD7442 aman, AstraZeneca akan meneruskan uji klinis antibodi monoklonal itu sebagai upaya pencegahan sekaligus pengobatan pasien Covid-19 dalam skala yang lebih luas.
Teknik menggunakan antibodi monoklonal (mAbs) untuk melawan virus korona ini sudah dilakukan sebelumnya oleh Regeneron, ELi Lilly, Roche, dan Molecular Partners dan didukung oleh para ilmuwan terkemuka.
Antibodi monoklonal meniru antibodi alami yang dihasilkan dalam tubuh untuk melawan infeksi dan bisa disintesis di laboratorium untuk mengobati penyakit pada pasien. Penggunaan antibodi monoklonal saat ini sudah dilakukan pada beberapa jenis kanker.
Pakar penyakit menular Amerika Serikat, Anthony Fauci, menyebut antibodi monoklonal ”taruhan yang hampir pasti” melawan Covid-19. Pada Juni 2020, AstraZeneca menerima suntikan dana 23,7 juta dollar AS dari Pemerintah AS untuk mengembangkan lebih lanjut pengobatan Covid-19 yang berbasis antibodi.
”Kombinasi antibodi ini, digabungkan dengan teknologi perpanjang waktu paruh kami, berpotensi meningkatkan efektivitas dan ketahanan penggunaan selain mengurangi resistensi virusnya,” kata Wakil Presiden Eksekutif Penelitian dan Pengembangan Biofarmasi AstraZeneca Mene Pangalos.
Meski vaksin merupakan senjata pamungkas jangka panjang untuk melawan pandemi Covid-19, terapi alternatif medis lain juga terus diteliti, misalnya antibodi monoklonal dan plasma konvalesen. AS pada Minggu (23/8/2020) memberikan izin penggunaan plasma darah pasien sembuh dari Covid-19 untuk mengobati pasien Covid-19 yang masih sakit.
Kasus Covid-19 global kini telah melampaui 23 juta kasus dengan kasus meninggal mencapai lebih dari 800 orang. Sementara beberapa negara di Eropa sedang menghadapi lonjakan kasus secara sporadis, sejumlah negara masih menghadapi gelombang infeksi pertamanya, misalnya India. Di India, akhir pekan lalu, jumlah kasus Covid-19 sudah menembus 3 juta kasus.
Italia yang pernah jadi episentrum pandemi di Eropa, Sabtu pekan lalu, melaporkan lebih dari 1.000 kasus baru Covid-19, tertinggi sejak penutupan wilayah dilonggarkan pada Mei 2020. Hal serupa juga dialami Spanyol, Jerman, dan Perancis.
Sementara itu, di Asia, Korea Selatan memperketat kebijakan pembatasannya untuk mengendalikan lonjakan kasus Covid-19 yang terus meningkat. ”Situasinya sangat gawat dan serius, kami berada di ambang pandemi nasional,” kata Jung Eun-kyeong, Direktur Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Korea Selatan (KCDC), memperingatkan.
Kelab malam, bar karaoke, dan pantai kini ditutup. Acara keagamaan dan kerumunan juga dilarang setelah ratusan kasus positif muncul dari kluster gereja. Di Seoul, warga juga diwajibkan menggunakan masker ketika berada di luar rumah.
Adapun India, salah satu negara yang menerapkan kebijakan pembatasan yang ketat di dunia, mulai melonggarkan pembatasannya untuk menggerakkan sektor ekonomi. Namun, pada saat yang sama, hal ini ternyata memicu lonjakan infeksi. ”Kami melihat virus ini menyebar di seluruh India,” kata K Srinath Reddy dari Public Health Foundation of India, sebuah organisasi nonpemerintah bidang kesehatan di India.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Jumat pekan lalu, menyebutkan bahwa dunia harus mampu mengendalikan Covid-19 dalam dua tahun. (REUTERS/AFP)