Upaya sejumlah negara maju untuk menimbun calon vaksin Covid-19 yang potensial memperlebar ketimpangan akses dalam bidang kesehatan. Praktik ini akan membuat akhir pandemi menjadi tidak baik.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·3 menit baca
Mengembangkan vaksin Covid-19 yang aman dan efektif untuk mencegah infeksi virus korona dalam waktu singkat merupakan tantangan yang tidak mudah. Namun, siapa yang memiliki akses pada vaksin itu dan bagaimana cara mendistribusikannya ketika sudah tersedia menjadi persoalan yang tidak kalah pelik.
Sejumlah negara, seperti Amerika Serikat, Inggris, India, dan beberapa negara di Eropa, mencoba untuk mengamankan kebutuhan vaksin Covid-19 dalam negeri masing-masing. Langkah mereka adalah dengan ”mengijon” calon vaksin potensial dari sejumlah perusahaan farmasi.
Di AS, misalnya, lewat program Operasi Warp Speed, Washington menyiapkan anggaran hampir 10 miliar dollar AS atau setara Rp 147,8 triliun untuk mengamankan ratusan juta dosis vaksin Covid-19 bagi warganya. Perancis, Jerman, Italia, dan Belanda membentuk Aliansi Vaksin Inklusif untuk mengamankan kebutuhan mereka sendiri. Aliansi ini pun menjadi bagian Uni Eropa dalam upaya mendapatkan calon vaksin Covid-19 yang potensial.
Logika Pemerintahan Donald Trump yang menyamakan akses akan vaksin dengan masker oksigen di pesawat terbang sangat keliru. Ketika tekanan oksigen di pesawat berkurang, masker udara akan tersedia bagi penumpang.
”Kita pakai masker oksigen terlebih dulu baru menolong penumpang lain,” ujar Peter Marks, pejabat senior di Badan Pengawas Obat dan Makanan (FDA) AS yang mengawasi tahap awal pengembangan vaksin Pemerintah AS, seperti dikutip Foreign Affairs.
Namun, persoalannya, di dalam pesawat, masker oksigen tidak hanya tersedia bagi penumpang kelas bisnis atau kelas pertama. Semua penumpang mendapatkan masker oksigen ketika tekanan udara di pesawat berkurang.
Sementara di lain pihak, Presiden China Xi Jinping pada forum Sidang Kesehatan Tahunan Organisasi Kesehatan Dunia menyampaikan, China akan membagi vaksin Covid-19 buatannya kepada dunia jika sudah tersedia. Tapi, Sinopharm sebagai badan usaha milik negara China yang mengembangkan vaksin Covid-19 baru-baru ini mengumumkan harga yang tinggi bagi calon vaksin Covid-19 buatannya, yakni 145 dollar AS untuk dua dosis.
Upaya sejumlah negara kaya yang akan menimbun vaksin Covid-19 dan harga vaksin Covid-19 yang tinggi bakal menimbulkan ketimpangan akses yang lebar yang akan membuat negara-negara miskin semakin tidak berdaya dan semakin lama bangkit dari pandemi.
Berbicara di Geneva, Swiss, pada 18 Agustus lalu, Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus menyerukan negara-negara di dunia untuk turut serta mencegah ”nasionalisme vaksin”.
”Nasionalisme memperparah pandemi dan berkontribusi pada kegagalan total rantai pasok global,” kata Tedros. Ia mengingatkan bahwa kelangkaan masker, ventilator, dan alat pelindung diri bagi tenaga kesehatan saat awal pandemi Covid-19 terjadi akibat sejumlah negara yang menimbun seharusnya jadi pelajaran dan tidak perlu kembali terjadi pada vaksin.
Dunia yang kian terhubung berarti bahwa ”sebuah vaksin yang dikembangkan di satu negara bisa jadi dikemas dalam botol dengan penutup yang diproduksi di negara lain menggunakan bahan kaca berkualitas yang hanya ada di negara yang lain lagi”. Multilateralisme vaksin pun menjadi realitas yang tidak terelakkan.
”Berbagi persediaan yang terbatas secara strategis dan global merupakan kepentingan nasional setiap negara yang sebenarnya,” ujar Tedros.
Untuk memastikan akses terhadap vaksin Covid-19, Tedros mengajak negara-negara untuk bergabung dalam COVAX Global Vaccines Facility yang dibangun oleh Koalisi untuk Inovasi Kesiapsiagaan Epidemi (CEPI), Gavi, dan WHO.
CEO Gavi Seth Berkley pernah menyebutkan, di masa pandemi ini tak seorang pun aman sampai semua orang aman. Artinya, semua orang harus memiliki akses yang sama pada vaksin atau obat Covid-19.