Thailand Tangkapi Tokoh Perlawanan terhadap Pemerintah
Seorang penyanyi rap dan empat aktivis prodemokrasi di Thailand ditangkap pada Kamis (20/8/2020). Penangkapan itu menyusul tindakan serupa terhadap sejumlah aktivis sehari sebelumnya.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·5 menit baca
BANGKOK, KAMIS — Kepolisian Thailand pada Kamis (20/8/2020) menangkap seorang penyanyi rap dan empat aktivis prodemokrasi di Thailand. Penangkapan itu menjadi perkembangan terbaru dalam dinamika politik dan sosial di Thailand yang beberapa waktu terakhir diwarnai aksi protes terhadap pemerintahan Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha.
Penyanyi rap yang ditangkap adalah Dechathorn Bamrungmuang, seorang anggota kunci gerakan Rap Melawan Kediktatoran (Rap Against Dictatorship/RAD). Melalui musik rap, gerakan itu memprotes pemerintahan Prayuth karena dinilai kepemimpinan mantan jenderal angkatan darat itu tidak kompeten dan korup. Dechathorn mengunggah foto yang menampilkan saat dirinya digelandang ke kantor polisi untuk menjalani penahanan.
Penangkapan kepolisian atas para aktivis itu sudah dicanangkan oleh aparat sehari sebelumnya. Merujuk pada pemberitaan Bangkok Post pada Rabu (19/8/2020), polisi akan mengeluarkan surat perintah penangkapan atas enam pemimpin pertemuan politik yang digelar pada 10 Agustus lalu di kampus Universitas Rangsit Thammasat di Pathum Thani. Enam orang yang disasar itu adalah Panusaya Sithijirawattanakul, Panupong Chadnok, Arnon Nampa, Natchanon Phairot, Thanawat Chanphluek, dan Sitnon Songsiri, menurut sumber polisi.
Sejauh ini tidak terungkap siapa-siapa saja yang ditangkap kepolisian pada Kamis. Namun, polisi sebelumnya mengungkapkan tengah mencari enam orang di Pathum Thani itu. Mereka diduga terkait dengan pelanggaran dalam rapat umum tersebut, yakni penghasutan, pelanggaran hukum kejahatan komputer, pelanggaran undang-undang pengendalian penyakit, serta menggelar pengumuman atau kegiatan semacam kampanye menggunakan pengeras suara di tempat umum tanpa izin.
Dalam sejumlah aksinya, para aktivis mendesak PM Prayuth dan pemerintahannya mengundurkan diri. Protes, yang dipicu oleh ribuan mahasiswa, adalah ancaman paling serius bagi mantan panglima militer yang merebut kekuasaan dalam kudeta militer 2014 itu. Prayuth mempertahankan kekuasaannya dalam pemilu 2019 yang secara luas dianggap curang semata untuk menang.
Dalam kabinetnya, Prayuth mempertahankan pos-pos penting tetap di tangan para mantan jenderal militer. Kondisi itu pun mengeraskan protes terhadap keberadaan militer dan kepemimpinan Prayuth secara umum. ”Jika kita terus melakukan protes di dalam lingkungan sekolah kita, orang lain tidak akan menyadarinya. Semakin luas kita menyebarkan kesadaran, semakin baik tujuannya,” kata seorang pengunjuk rasa berusia 15 tahun yang mengaku seorang murid sekolah menengah di tengah aksi unjuk rasa beberapa waktu lalu.
Dalam kabinetnya, Prayuth mempertahankan pos-pos penting tetap di tangan para mantan jenderal militer. Kondisi itu pun mengeraskan protes terhadap keberadaan militer dan kepemimpinan Prayuth secara umum.
Protes yang diinisiasi para pelajar dan mahasiswa di Thailand menuntut tiga hal utama. Pertama, digelarnya pemilihan baru. Kedua, diadakannya perubahan konstitusi yang telah diberlakukan oleh militer. Ketiga, diakhirinya intimidasi terhadap para pengkritik pemerintah.
Para pemimpin protes memicu kontroversi besar di Thailand setelah awal bulan ini mereka memperluas agenda awal mereka. Para pemrotes secara terbuka mengkritik monarki konstitusional Thailand dan mengeluarkan 10 poin manifesto yang menyerukan reformasi.
Tindakan mereka hampir tidak pernah terjadi sebelumnya. Sebab, selama ini monarki dianggap sakral dan setiap kritik biasanya dirahasiakan. Undang-undang lese majeste menyerukan hukuman penjara hingga 15 tahun bagi siapa pun yang terbukti bersalah mencemarkan nama baik raja.
Salah satu aktivis yang diduga membuat pernyataan kritis, Arnon Nampha, ditangkap pada Rabu tengah pekan ini. Ia didakwa dengan pasal penghasutan dan pelanggaran UU majelis publik karena berpartisipasi dalam protes bertema Harry Potter pada 3 Agustus silam. Kelompok Pengacara Hak Asasi Manusia Thailand mengungkapkan tiga aktivis politik dan perburuhan lainnya juga ditangkap pada Rabu. Mereka didakwa dengan pasal penghasutan dan pelanggaran lainnya terkait dengan protes pada bulan Juli. Melalui unggahannya di media sosial Twitter, kelompok itu menyatakan upaya pembebasan dengan jaminan atas Arnon ditolak dan Arnon akan dibawa ke pengadilan pidana pada Kamis.
Kelompok advokasi HAM, Human Rights Watch, mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa pihak berwenang Thailand harus mencabut semua tuduhan dan membebaskan para aktivis prodemokrasi yang ditahan. ”Janji berulang Pemerintah Thailand untuk mendengarkan suara-suara yang berbeda pendapat terbukti tidak berarti karena tindakan keras terhadap aktivis prodemokrasi terus berlanjut,” kata Brad Adams, Direktur Human Rights Watch Asia. ”Pihak berwenang harus memperbaiki kesalahan mereka dan segera mencabut tuntutan serta membebaskan Arnon dan aktivis lain yang ditahan.”
Pada Rabu sekitar 400 siswa sekolah menengah bergabung dalam seruan antipemerintah. Mengenakan seragam sekolah, mereka menyematkan pita putih, simbol gerakan protes, dan memberi hormat dengan tiga jari. Ini menjadi sebuah tanda perlawanan, meniru yang ditampilkan pada film The Hunger Games.
Sorak-sorai para pengunjuk rasa pecah saat Menteri Pendidikan Thailand Nataphol Teepsuwan dan para pembantunya muncul di tengah aksi itu. Nataphol tampak mencoba berbicara dengan beberapa siswa di bagian depan kelompok pengunjuk rasa. Namun, para pejabat itu justru kemudian dihalau karena dinilai terlambat hadir.
Respons para pengunjuk rasa itu cukup mengagetkan mengingat dalam kebudayaan Thailand, figur otoritas dan sosok-sosok yang lebih tua wajib dihormati. Namun, Nataphol menurut dengan desakan massa itu. Ia beranjak menuju bagian paling belakang kelompok pengunjuk rasa. Ia lalu duduk, mendengarkan dengan sabar orasi-orasi dan menuliskan keluhan-keluhan warga. Ia lalu menanggapi keluhan dan desakan warga.
Enam tahun lalu, Nataphol mengambil bagian dalam protes jalanan berskala besar serupa. Bedanya, unjuk rasa itu telah membantu memicu kudeta militer yang membawa Prayuth ke tampuk kekuasaan. Beberapa pengunjuk rasa dari kalangan mahasiswa meniup peluit saat Nataphol berbicara di tengah kerumunan. Hal yang dimaksudkan mengganggu sang orator itu kini dialami sendiri oleh Nataphol saat dirinya berorasi.
”Saya senang mereka berani angkat bicara dan tertarik pada politik di usia ini, selama ide mereka bermanfaat bagi negara,” kata Nataphol sebelum berangkat ke tengah aksi. Ia menilai mereka adalah masa depan Thailand dan hal itu memengaruhi masa depan dirinya. Ia bergeming dengan suara-suara ejekan atas dirinya dari arah massa.
Citra pemerintahan Thailand telah ternoda oleh sejumlah skandal korupsi yang tidak jelas penyelesaiannya. Negara itu juga tengah menghadapi tekanan di bidang perekonomian. Pandemi Covid-19 telah menghancurkan sektor pariwisata Thailand, sektor yang menghasilkan devisa terbesar bagi negara itu. (AP/BEN)