Setelah sempat dibatalkan, negosiasi perdagangan antara Amerika Serikat dan China kembali akan dilanjutkan. Berita itu mendorong sentimen positif pasar global.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·4 menit baca
BEIJING, KAMIS — Kementerian Perdagangan China, Kamis (20/8/2020), mengungkapkan, negosiasi perdagangan antara Pemerintah China dan Amerika Serikat akan berlanjut dalam beberapa waktu mendatang. Kelanjutan negosiasi yang sebelumnya sempat dinyatakan Washington ditunda akan menjadi sentimen positif bagi para investor dan pelaku pasar keuangan global yang berharap berita baik di tengah tekanan ekonomi akibat pandemi Covid-19.
Pemerintah AS dan China menandatangani perjanjian perdagangan pada Januari tahun ini. Penandatanganan kesepakatan yang disebut sebagai fase I itu dilakukan setelah dua negara adidaya tersebut berada dalam kondisi perang dagang lebih dari dua tahun terakhir. Dalam ”gencatan senjata” parsial itu, Beijing sepakat mengimpor tambahan senilai 200 miliar AS produk-produk AS selama dua tahun. Produk itu mulai dari mobil, mesin, minyak, hingga produk pertanian.
Kesepakatan fase I juga mewajibkan dua pihak untuk meninjau ulang kesepakatan per enam bulan sekali. Namun, kedua pihak kemudian mengonfirmasi hal itu meski bulan Juli telah lewat. Muncul spekulasi atas nasib kesepakatan itu dan kemudian pernyataan Washington menyebutkan adanya penundaan kelanjutan negosiasi, sebelum Kementerian Perdagangan China memastikan rencana terbaru kedua pihak. ”Kedua belah pihak telah sepakat untuk mengadakan pembicaraan dalam waktu dekat,” kata juru bicara Kementerian Perdagangan China, Gao Feng, pada jumpa pers di Beijing, Kamis. Namun, dia tidak memberikan rincian lebih lanjut, termasuk tanggal pelaksanaan negosiasi.
Media Bloomberg sebelumnya menyatakan, dari pihak AS, Perwakilan Dagang Robert Lighthizer dan Menteri Keuangan Steven Mnuchin dijadwalkan siap menggelar telekonferensi secara virtual dengan Wakil Perdana Menteri China Liu He, akhir pekan lalu. Media South China Morning Post menyebutkan, awalnya pembicaraan itu digelar pada 15 Agustus 2020. Pandemi Covid-19 dilaporkan telah memberikan tekanan pada perjanjian dagang kedua pihak. Pembelian barang-barang oleh China sebagai bagian dari kesepakatan fase I dilaporkan tersendat.
Presiden AS Donald Trump dalam beberapa pekan terakhir telah meningkatkan retorikanya terhadap China. Para analis menilai pernyataan-pernyataan Trump itu terkait langsung dengan strateginya menghadapi pemilihan presiden pada November mendatang. Pilpres kali ini dinilai akan menjadi pertarungan sulit bagi Trump di tengah aneka tekanan yang dihadapi Washington di tengah pandemi. Dalam hubungannya dengan China, kelindan kondisi itu juga menimbulkan pertanyaan tentang nasib kesepakatan serta kemungkinan penandatanganan fase II di antara kedua negara.
Presiden AS Donald Trump dalam beberapa pekan terakhir telah meningkatkan retorikanya terhadap China. Para analis menilai pernyataan-pernyataan Trump itu terkait langsung dengan strateginya menghadapi pemilihan presiden pada November mendatang.
Trump, Selasa (18/8/2020), mengatakan, dia membatalkan pembicaraan perdagangan yang sedianya dijadwalkan pada akhir pekan lalu. Hal itu pun sontak menimbulkan pertanyaan tentang masa depan kesepakatan AS-China. Greg Gilligan, Ketua Kamar Dagang Amerika di China, menyebutkan, pembicaraan kedua pihak berlanjut secara teratur di tingkat yang lebih rendah. Hal itu menegaskan pernyataan penasihat ekonomi utama Trump, Larry Kudlow, sebelumnya. Dia menepis kekhawatiran bahwa ketegangan yang meningkat di antara kedua negara dapat membahayakan pakta kesepakatan tersebut.
Mark Tepper, Presiden Strategic Wealth Partners, mengharapkan lebih banyak hal positif di pasar keuangan, sekalipun ketegangan AS-China semakin tinggi. Ia menanggapi kenaikan saham-saham di sektor teknologi pada dua hari pertama pekan ini. ”Yang perlu dilakukan investor hanyalah mengabaikan kebisingan yang terkait dengan beberapa ketegangan ini dan lebih fokus pada fundamental yang mendasari perusahaan,” kata Tepper, sebagaimana dikutip CNBC.
Ia menyebutkan sejumlah saham teknologi yang memiliki peluang terus naik harganya. Mulai dari Facebook, Google, Amazon, Microsoft, hingga Apple. Kondisi yang sama berlaku pada saham-saham teknologi China, seperti Alibaba. Saham-saham teknologi perusahaan China diperkirakan terus naik harganya seiring dengan pertambahan kelas menengah di negara tersebut. Saham Alibaba menjadi perhatian pelaku pasar setelah Trump mengatakan sedang mempertimbangkan untuk melarang perusahaan China tertentu di AS.
Merugikan bisnis
Media Financial News menyebutkan, kondisi perang perdagangan AS-China yang sedang berlangsung serta penundaan pembicaraan dapat merugikan bisnis kecil dan menengah hingga 750 miliar dollar AS. Hal itu mengutip pada hasil analisis perusahaan penyedia pembiayaan perdagangan Stenn Group. Stenn menyurvei 706 pembuat keputusan senior di bisnis menengah di pasar Inggris, AS, dan China, serta berlangsung pada akhir 2019, tetapi baru dirilis pada Rabu.
Menurut angka Stenn, perusahaan Inggris telah melaporkan pukulan yang lebih besar pada laba mereka daripada perusahaan-perusahaan di AS. Perusahaan Inggris menetapkan biaya rata-rata lebih besar senilai 3,9 juta dollar AS, sementara para pemimpin bisnis AS mengaku biayanya rata-rata senilai 3,7 juta dollar AS. Namun, perusahaan-perusahaan China dilaporkan paling terpukul, dengan tarif yang dikenakan mencapai 4,46 juta dollar AS. Hampir setengah dari perusahaan China mengatakan biaya operasional mereka akan meningkat dan lebih dari setengah (56 persen) dari mereka mengatakan rantai pasokan terpukul.
Di Inggris, 21 persen pelaku bisnis mengatakan bahwa biaya operasional mereka juga naik. Sekitar 30 persen dari mereka juga melaporkan penurunan bisnis. Di AS, angka yang mencakup dua faktor itu adalah 40 dan 26 persen. Di kedua negara tersebut terungkap bahwa hanya 9 persen dari para pemimpin bisnis yang mengatakan bahwa perusahaan mereka diuntungkan dari ketegangan yang sedang berlangsung. (AP/AFP/BEN)