Desakan AS untuk Pemberlakuan Lagi Sanksi atas Iran Ditentang Banyak Negara
Meski telah menarik diri dari kesepakatan nuklir Iran 2015, Amerika Serikat merasa masih punya hak untuk kembali memberlakukan sanksi terhadap Iran melalui mekanisme Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·3 menit baca
NEW YORK, JUMAT — Pemerintahan Donald Trump secara formal menyampaikan permintaannya kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa agar semua sanksi terhadap Iran diberlakukan kembali. Rusia dan anggota Dewan Keamanan PBB, termasuk sekutu Amerika Serikat di Eropa, menentang permintaan ini dan menyebutnya sebagai gerakan ilegal.
Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Mike Pompeo menyampaikan pemberitahuan tersebut kepada Presiden DK PBB. Pompeo menyebut Iran telah melanggar kesepakatan nuklir 2015 secara signifikan dan pelanggaran ini menjadi syarat ”pemberlakuan kembali” sanksi PBB.
”AS tidak akan membiarkan negara sponsor terorisme terbesar di dunia dengan bebas membeli dan menjual pesawat, tank, rudal, serta senjata konvensional lainnya, (atau) memiliki senjata nuklir,” tutur Pompeo dalam jumpa pers di PBB.
Pompeo mengatakan, AS akan memperpanjang embargo senjata yang akan berakhir 18 Oktober 2020 dan melarang melakukan uji coba rudal balistik serta memperkaya bahan nuklirnya.
Dalam surat yang ditujukan kepada Duta Besar Indonesia untuk PBB yang mendapat giliran sebagai Ketua DK PBB, Pompeo menyebutkan, AS memberi tahu lembaga itu atas ”wanprestasi signifikan” Iran untuk mematuhi kesepakatan nuklir. Alhasil, proses untuk memberlakukan kembali sanksi PBB telah dimulai.
Wakil Duta Besar Rusia untuk PBB Dmitry Polyansky menulis di Twitter, ”Sepertinya ada dua planet. Planet fiksi di mana AS seolah bisa melakukan apa pun yang diinginkannya tanpa harus ’membujuk’ orang lain, melanggar dan meninggalkan kesepakatan tapi masih mendapat untung darinya, serta planet di mana seluruh dunia hidup dan di mana hukum internasional serta diplomasi berkuasa.”
Yang menjadi pokok masalah dalam hal ini adalah mundurnya Presiden Donald Trump dari kesepakatan nuklir 2015 antara Iran dan enam negara adidaya pada 2018.
Meski mundur dari kesepakatan nuklir 2015, di bawah resolusi DK PBB yang mendukung kesepakatan itu, sebagai negara pihak awal, AS tetap memiliki hak memberlakukan kembali sanksi terhadap Iran. Sebaliknya, menurut Rusia, China, Inggris, dan Perancis serta negara anggota DK PBB lainnya, pemerintahan Trump tidak memiliki hak karena bukan lagi termasuk sebagai negara para pihak dalam Rencana Aksi Komprehensif (JCPOA).
Badan Energi Atom Internasional telah melaporkan sejumlah pelanggaran Iran terhadap kesepakatan nuklir 2015. Namun, Teheran menuturkan bahwa hal itu merupakan akibat dari pelanggaran AS atas kesepakatan yang sama dengan menarik diri dan memberlakukan kembali sanksi sepihak yang keras.
Pompeo mencatat bahwa negara Eropa dalam kesepakatan nuklir 2015 telah mencoba mendorong Iran untuk patuh. Akan tetapi, menurut dia, meski usaha keras dan diplomasi yang melelahkan dilakukan negara-negara itu, Iran tetap tidak patuh.
”Alhasil, AS keluar dengan tidak ada pilihan selain memberi tahu DK bahwa Iran secara signifikan wanprestasi dalam komitmennya terhadap JCPOA,” tulis Pompeo. Surat Pompeo kepada DK PBB ini disertai dengan enam halaman lampiran penjelasan mengapa AS yakin masih memiliki hak untuk memberlakukan kembali sanksi terhadap Iran.
Sikap ngotot AS yang merasa memiliki hak memberlakukan kembali sanksi terhadap Iran ditolak oleh 15 negara anggota DK PBB secara virtual. Jerman, yang menjadi partisipan dalam kesepakatan nuklir 2015, juga menentang.
”Perancis, Jerman, dan Inggris mencatat bahwa AS tidak lagi menjadi partisipan JCPOA menyusul mundurnya dari kesepakatan pada 8 Mei 2018,” demikian pernyataan tiga negara itu menanggapi Pompeo. ”Untuk itu, kami tidak bisa mendukung tindakan ini yang tidak sesuai dengan upaya kami mendukung JCPOA.”
Pompeo mengecam sikap negara-negara Eropa itu, menuduh mereka secara pribadi setuju dengan AS, tapi tidak berani mengatakannya di depan publik. ”Mereka malah memihak Ayatollah,” ujarnya. ”Tindakan mereka membahayakan warga Irak, Yaman, Lebanon, dan Suriah, termasuk warga mereka sendiri.”
Sementara itu, melalui telepon, Menteri Luar Negeri Iran Mohammad Javad Zarif mengatakan kepada Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres bahwa DK PBB harus menolak permintaan AS. ”Ini akan memiliki konsekuensi yang bahaya pada hukum internasional, kehancuran mekanisme internasional, dan merendahkan DK,” kata Zarif. (AP)