Jelang Tiga Tahun Krisis, Nasib Rohingya Tetap Tak Menentu
Tiga tahun sudah sejak kekerasan militer Myanmar di Negara Bagian Rakhine terjadi, yang membuat etnis Rohingya mengungsi. Upaya repatriasi pun belum berhasil.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·3 menit baca
DHAKA, RABU — Tanggal 25 Agustus 2020 menandai tiga tahun serangan kelompok milisi pemberontak Rohingya yang memicu pembalasan oleh militer Myanmar. Namun, masih lebih dari 700.000 warga etnis Rohingya yang mengungsi ke Bangladesh akibat konflik milisi dan militer itu tetap belum berubah.
Bermula dari serbuan kelompok pemberontak ke 30 pos polisi dan pangkalan militer di Negara Bagian Rakhine, Myanmar. Peristiwa itu memicu kemarahan militer dan pemerintah saat itu karena tidak saja menyebabkan pos polisi rusak, tetapi sejumlah 12 anggota pasukan keamanan tewas.
Militer Myanmar segera menanggapi serangan itu dengan menyapu area Rohingya sehingga memaksa sekitar 730.000 warga Myanmar di Rakhine mengungsi ke Bangladesh dan tinggal di kamp-kamp. Hingga kini, mereka tetap meringkuk di tenda-tenda sempit dan reyot di sana.
Penyidik Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) kemudian menyimpulkan kampanye militer Myanmar melawan pemberontak juga telah menyasar warga sipil dan dilakukan dengan ”tujuan genosida”. Myanmar membantah hal tersebut dengan menyebutkan bahwa militer mereka memerangi pemberontakan.
Warga etnis Rohingya yang mengungsi ke Bangladesh itu bergabung dengan lebih dari 200.000 pengungsi lain yang sudah berada di sana, yang pergi lebih awal ketika kekerasan mulai terjadi.
Para pengungsi yang tinggal di kamp-kamp terbuat dari bambu dan lembaran plastik itu menjadi beban bagi Bangladesh, salah satu negara miskin di Asia. Nasib mereka tetap tidak berubah, tetap miskin, tak punya identitas sebagai warga negara atau tidak diakui sebagai warga negara, dan terbelakang.
Berdasarkan laporan Badan Pengungsi PBB (UNHCR), Pemerintah Bangladesh, dan Organisasi Migrasi Internasional (IOM), terdapat lima kamp di Distrik Cox’s Bazar, Bangladesh, yang menampung sekitar 1 juta jiwa pengungsi Rohingya.
Luas area kamp ini setara dengan sepertiga Manhattan, Amerika Serikat. Sebagian dari pengungsi itu adalah anak-anak dan jumlah perempuan lebih banyak dari laki-laki.
Dari satu juta lebih pengungsi, 700.000 di antaranya tinggal di kamp Kutapalong yang hanya seluas 13 kilometer persegi. Adapun sekitar 131.000 pengungsi tinggal di kamp Teknaf, sebelah utara Kutapalong, lebih dari 22.000 orang pengungsi tinggal di kamp Unchiprang dan Shamlapur, dan hampir 13.000 tinggal di kamp yang lebih kecil, kamp Chakmarkul.
Laporan terakhir UNHCR menyebutkan, hingga 31 Juli setidaknya ada 860.494 jiwa pengungsi di Kutupalong dan Nayapara, Distrik Cox’s Bazar, Bangladesh.
Badan-badan PBB, organisasi kemanusiaan nasional ataupun internasional, dan Pemerintah Bangladesh menyediakan bantuan makanan, layanan kesehatan, dan kebutuhan dasar, seperti toilet komunal dan air minum.
Pengungsi tidak diperbolehkan bekerja dan tidak bisa meninggalkan kamp tanpa izin dari pemerintah setempat. Pemerintah Bangladesh juga melarang penggunaan internet di kamp dengan alasan keamanan nasional.
Januari lalu, Bangladesh mengizinkan anak-anak Rohingya untuk sekolah formal hingga usia 14 tahun dengan kurikulum Myanmar. Anak yang berusia di atas 14 tahun akan mendapat pelatihan keterampilan.
Kasus Covid-19 pertama di kamp pengungsi Rohingya dilaporkan pada 14 Mei 2020. Sampai dengan 17 Agustus 2020, total kasus Covid-19 mencapai 79 dengan kasus meninggal enam orang.
Bangladesh dan Myanmar telah sepakat untuk melakukan repatriasi. Namun, usaha ini gagal karena para pengungsi menolak kembali ke Myanmar takut akan mengalami kasus kekerasan lagi. (REUTERS)