Uni Eropa Buat Pertemuan Merespons Tawaran Militer Rusia ke Belarus
Krisis politik pascapilpres di Belarus kini menjadi medan baru pertentangan Uni Eropa dengan Rusia. UE siap menjatuhkan sanksi kepada Belarus, sementara Rusia siap mengirimkan militer untuk membantu Belarus.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·3 menit baca
BRUSSELS, SENIN — Para pemimpin negara anggota Uni Eropa, Rabu (19/8/2020), akan menggelar pertemuan darurat virtual untuk membahas krisis politik pascapemilu Belarus. Pertemuan puncak ini diinisiasi Presiden Dewan Eropa Charles Michel.
Konferensi tingkat tinggi darurat UE ini untuk merespons Rusia yang menyatakan telah siap menyediakan bantuan militer untuk sekutunya, Presiden Belarus Alexander Lukashenko, yang telah berkuasa 26 tahun itu. Pemilu dua pekan lalu mengantar Lukashenko ke dekade ketiga kekuasaan, tetapi ditentang oposisi.
Puluhan ribu warga memenuhi jalanan Minsk, ibu kota Belarus, mengecam kemenangan Lukashenko dalam pemilu karena diduga kuat menang dengan kecurangan. Mereka juga menentang kekerasan polisi yang menindak pengunjuk rasa.
”Warga Belarus punya hak untuk menentukan masa depan mereka dan bebas memilih pemimpin mereka,” tulis Michel di Twitter. ”Kekerasan terhadap pemrotes tidak bisa diterima dan tidak bisa dibiarkan.”
Ia juga menginformasikan bahwa pertemuan virtual para pemimpin UE pada Rabu yang rencananya dimulai pukul 12.00 waktu setempat.
Selama menghadapi unjuk rasa, pasukan keamanan bertindak keras. Lebih dari 6.700 orang telah ditangkap, ratusan orang terluka, dan dua orang tewas.
Sebuah sumber di Eropa menyatakan bahwa Michel memutuskan untuk menggelar pertemuan itu karena melihat ketegangan yang meningkat selama akhir pekan lalu setelah pemilu presiden Belarus digelar.
Meski banyak yang menentang pemerintahannya, Lukashenko mengklaim memenangi pilpres Belarus pada 9 Agustus lalu dengan perolehan suara 80 persen.
Inggris menyatakan tidak mengakui pemilu presiden Belarus yang ”curang” itu yang membuat Lukashenko kembali berkuasa kembali dan mengecam tindakan ”represif yang mengerikan” terhadap para pemrotes.
Menteri Luar Negeri Inggris Dominic Raab mengancam akan menjatuhkan sanksi kepada mereka yang bertanggung jawab atas tindakan represif itu dan mendorong adanya penyelidikan independen internasional.
”Dunia telah menyaksikan kengerian dan kekerasan yang dilakukan otoritas Belarus untuk menekan protes damai menyusul pilpres yang curang. Inggris tidak bisa menerima hasilnya,” ujar Raab.
Pada Senin (17/8/2020), dalam video yang diunggah dari tempat pengasingan di Lituania, penantang Lukashenko di pemilu presiden, Sviatlana Tsikhanouskaya, mengatakan, ia siap mengambil alih kepemimpinan Belarus.
Pada malam setelah pemilu presiden digelar, exit poll resmi menyatakan Lukahensko memenangi pemilu presiden. Protes antipemerintah pun pecah yang kemudian memicu protes dan tindakan represif aparat.
Keesokan harinya hasil resmi pilpres menyatakan Lukashensko menang dengan perolehan suara 80 persen, sementara Tsikhanouskaya 10 persen. Tsikhanouskaya juga mengklaim memenangi pemilihan dan menyerukan Lukashenko untuk mundur.
Rusia, China, dan Venezuela menyambut terpilih kembalinya Lukashensko. Bahkan, Rusia menawarkan bantuan militer kepada Lukashensko untuk menghadapi unjuk rasa.
Namun, negara-negara Uni Eropa mempertanyakan hasil pemilu itu dan mengecam tindakan represif otoritas Belarus terhadap demonstrasi.
Pada Jumat (14/8/2020), para menteri luar negeri UE sepakat untuk menetapkan serangkaian sanksi baru untuk Belarus sebagai tanggapan aparat keamanan negara itu dalam menghadapi unjuk rasa. Jerman yang kini mendapat giliran menjadi Ketua UE akan mendukung langkah yang bahkan lebih keras.
”Tentu kami mempertimbangkan opsi memperluas sanksi pada hal lain,” kata juru bicara Pemerintah Jerman, Steffen Seibert, kepada wartawan.
Seibert juga mendorong ”dialog nasional” antara Pemerintah Belarus dan oposisi perlu digelar ”untuk mengatasi krisis”. Organisasi Kerja sama dan Keamanan Eropa (OSCE) bisa berperan ”meninjau pemilu”.
OSCE telah mengirim pemantau ke Belarus sejak 2001, tetapi tidak diajak untuk memantau penyelenggaraan pemilu presiden. (AFP/REUTERS)