Ekonomi Thailand Alami Kontraksi Terburuk dalam 22 Tahun Terakhir
Ekonomi Thailand kuartal kedua tahun ini mengalami kontraksi terburuk sejak krisis finansial Asia tahun 1998. Negara ini relatif bisa mengendalikan pandemi Covid-19, tapi tak bisa menghindari pukulan akibat wabah itu.
Oleh
MH SAMSUL HADI
·4 menit baca
BANGKOK, SENIN — Ekonomi Thailand mengalami kontraksi tahunan terburuk dalam 22 tahun terakhir dan mencatat rekor penurunan secara kuartalan pada periode April-Juni 2020. Data Kantor Dewan Nasional Pembangunan Ekonomi dan Sosial (NESDC) Thailand, Senin (17/8/2020), memperlihatkan pertumbuhan ekonomi pada kuartal kedua di negara itu merosot hingga 12,2 persen dibandingkan satu tahun sebelumnya.
Secara kuartalan, ekonomi Thailand pada periode April-Juni 2020 menyusut hingga 9,7 persen. Sebelumnya, sebagaimana dikutip Nikkei Asian Review, ekonomi Thailand terkontraksi 0,3 persen pada kuartal keempat tahun 2019 dan menyusut hingga 2,5 persen pada kuartal pertama tahun 2020.
Secara teknis negara itu telah jatuh pada resesi—yang biasa ditetapkan setelah negara mencatat kontraksi pada dua kuartal secara beruntun—setelah kuartal pertama lalu. Pada kuartal kedua ini, kontraksi di negara itu lebih dalam.
Dampak pandemi Covid-19, yang ditangani antara lain dengan penutupan wilayah guna mencegah penularan wabah, telah memukul turisme, ekspor, dan aktivitas domestik di negara itu. Thailand, negara dengan kekuatan ekonomi terbesar kedua di Asia Tenggara, mengandalkan pertumbuhan dari turisme dan ekspor.
Thailand merupakan negara pertama di luar China yang melaporkan penularan Covid-19 pada Januari lalu. Meski demikian, negara itu secara umum terhindar dari penularan terburuk oleh wabah mematikan tersebut. Thailand hingga kini mencatat 3.300 kasus Covid-19, sebanyak 58 orang di antaranya meninggal.
Namun, pukulan bagi ekonomi tak bisa dihindari Thailand. Penurunan hingga 12,2 persen pada kuartal kedua secara tahunan itu merupakan kontraksi terburuk sejak krisis finansial Asia tahun 1998.
NESDC dalam laporannya yang dirilis pada Senin ini memaparkan, ekonomi Thailand menyusut 2 persen pada kuartal pertama tahun ini. Pada kuartal kedua (April-Juni), penyusutan itu lebih dalam. Investasi, konsumsi rumah tanggal, dan perdagangan seluruhnya terkontraksi. Hasil pertanian, yang terpukul oleh kekeringan, pun merosot 3 persen, sedangkan manufaktur anjlok 14,4 persen.
”(Pandemi) Telah menyebabkan ekonomi kami merosot hingga 12,2 persen, lebih rendah dibandingkan saat krisis Tom Yum Kung,” kata Thosaporn Sirisumphand, Sekretaris Jenderal NESDC, merujuk pada istilah setempat untuk krisis keuangan Asia tahun 1998. Saat itu, pertumbuhan ekonomi kuartal kedua Thailand terkontraksi 12,5 persen.
NESDC memperkirakan, kontraksi tahun 2020 berkisar 7,3-7,8 persen dengan median 7,5 persen. Sebelumnya, kontraksi ekonomi Thailand tahun ini diproyeksikan berkisar 5-6 persen.
Resesi di Asia Tenggara
Alex Holmes, ahli ekonomi dari lembaga Capital Economics di Singapura, menyebut penyusutan ekonomi Thailand tidak seburuk negara-negara Asia Tenggara lainnya, seperti Singapura, Malaysia, dan Filipina. Negara-negara itu melaporkan kontraksi ekonomi kuartal kedua tahun ini secara berurutan minus 13,2 persen; 17,1 persen; dan 16,5 persen.
Dengan penurunan tersebut, ketiga negara itu secara teknis telah memasuki resesi. Bagi Filipina, resesi kali ini merupakan yang pertama kali dalam 29 tahun terakhir. Di kawasan Asia Tenggara, ekonomi Thailand pada kuartal ini hanya lebih buruk daripada Vietnam (0,4 persen) dan Indonesia (minus 5,3 persen).
Namun, kata Holmes, perkiraan (ekonomi Thailand) ke depan masih menjadi salah satu yang terburuk di kawasan karena ketergantungan Thailand pada turisme.
”Pengumuman data ekonomi hari ini menggarisbawahi merosotnya permintaan secara agregat baik eksternal maupun internal,” ujar Kobsidthi Silpachai, Kepala Penelitian Riset Pasar Modal Kasikornbank. ”Pemulihan bakal membutuhkan waktu lama mengingat guncangan terhadap permintaan dan pasokan merupakan yang terparah dalam sepanjang ingatan.”
Ketergantungan pada turisme
Thailand telah mencabut sebagian besar kebijakan penutupan wilayah setelah tidak terjadi penularan lokal dalam dua bulan. Meski demikian, ekonomi negara itu tetap terpukul menyusul masih berlakunya larangan penerbangan dari luar negeri dan juga akibat permintaan global yang masih lemah.
Angka kunjungan dari luar Thailand anjlok hingga nol sepanjang April-Juni. Mereka juga membatalkan rencana gelembung perjalanan setelah muncul gelombang baru penularan. NESCD memperkirakan kunjungan turis asing ke Thailand pada tahun ini hanya mencapai 6,7 juta orang atau anjlok hingga 83 persen dibandingkan tahun lalu yang mencatat 39,8 juta kunjungan turis asing.
Guna meredam guncangan akibat pandemi, Pemerintah Thailand telah mengucurkan paket stimulus keuangan sebesar 1,9 triliun baht (sekitar 61,03 miliar dollar AS). Adapun Bank Sentral Thailand juga memangkas suku bunga sebesar 75 basis poin tahun ini.
Namun, dampak penutupan wilayah dan larangan bepergian masih berlanjut serta berimbas pada konsumsi domestik dan investasi. Sementara ekspor juga masih lemah, menurut para analis, maraknya unjuk rasa anti-pemerintah belakangan ini menambah risiko ekonomi di Thailand. NESCD memperkirakan, ekspor Thailand tahun ini bakal menurun 10 persen atau lebih besar dari perkiraan penurunan sebelumnya sebesar 8 persen.