Di Negeri yang Jauh, Solidaritas Tetap Tumbuh
Setelah 75 tahun Indonesia merdeka, solidaritas kuat masih diperlukan guna menyelamatkan orang muda Indonesia di kapal-kapal asing penangkap ikan.
Kemerdekaan RI diraih berkat solidaritas kuat di antara semua unsur. Di era sekarang, solidaritas kuat masih sangat diperlukan guna menyelamatkan beribu-ribu orang muda Indonesia di kapal-kapal asing penangkap ikan. Hanya dengan cara itulah, republik ini dapat menjadi sandaran bagi pekerja migran yang tengah mencari sesuap nasi.
Angin kembali membawa kabar duka. Warga Indonesia yang bekerja di sebuah kapal ikan berbendera China meninggal. Dugaan awal, pekerja migran itu mengembuskan napas terakhir akibat kecelakaan kerja. Beberapa bulan lalu, beberapa anak buah kapal asal Indonesia juga meninggal di kapal yang sama.
Kabar meninggalnya ABK Indonesia di kapal Long Xin 629 itu diterima Ari Purboyo, Ketua Serikat Pekerja Perikanan Indonesia (SPPI) di Korea Selatan, Selasa (11/8/2020) pagi. Ia segera menghubungi banyak pihak guna memastikannya. Menurut kabar awal, korban meninggal saat kapal melaut di Pasifik Selatan, tak jauh dari Peru. Selasa petang, juru bicara Kementerian Luar Negeri, Teuku Faizasyah, membenarkan informasi tersebut.
Ari mengaku geram. Beberapa bulan lalu, kasus serupa terjadi di kapal yang sama.
Beberapa bulan lalu, beberapa anak buah kapal asal Indonesia juga meninggal di kapal yang sama.
Pada Mei lalu, viral di media sosial, video yang menggambarkan situasi kerja ABK asal Indonesia tersebut. Dalam video ditampilkan pelarungan jenazah ABK asal Indonesia yang bekerja di kapal Long Xin 629 saat kapal berlayar di Samudra Pasifik. Munculnya berita pelarungan tersebut tak dapat dilepaskan dari advokasi yang dilakukan Ari, jejaringnya, dan perwakilan Indonesia di Seoul.
Bagi Ari, keterlibatannya dalam advokasi pekerja migran di sektor perikanan dipicu pengalamannya bekerja sebagai nelayan di Korsel. Ari, yang pernah bekerja di kapal penangkap teri dan bekerja di tambak di wilayah Tongyeong, mulai bekerja di Korsel sejak Juli 2016 hingga sekarang.
Ia pernah merasakan hak-haknya sebagai pekerja diabaikan: bekerja nyaris tanpa libur sepanjang tahun. Pengalamannya bekerja di sektor perikanan di luar negeri mengajarkan kepadanya, pekerjaan di sektor ini adalah 3D (dirty, difficult, dangerous) atau kotor, hidup serba susah, dan berbahaya.
Pada 2017, ia pun mendirikan SPPI bersama Wahyono, yang bertindak sebagai sekretaris jenderal. ”Dengan advokasi ini, kami tak hanya mengkritik, tetapi juga berbuat seoptimal mungkin dalam memperjuangkan hak-hak pekerja dan warga negara,” ujarnya.
SPPI menjadi salah satu saluran bagi pekerja migran Indonesia di sektor perikanan di Korsel untuk memperoleh keadilan. Ada setidaknya 13.000 pekerja migran Indonesia yang bekerja di sektor perikanan di Korsel.
Tantangan di hulu
Peneliti pekerja migran internasional di Pusat Studi Asia Pasifik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Ratih Pratiwi Anwar, mengatakan, berbagai masalah yang menimpa pekerja migran perikanan di luar negeri mencerminkan dua hal.
Pertama, kurangnya komunikasi, koordinasi, dan sinergi kebijakan, serta lembaga di tingkat pusat dan daerah, khususnya terkait tata kelola ABK perikanan. Kedua, belum diterapkannya undang-undang dan peraturan terkait ABK perikanan atau pekerja migran Indonesia.
”Idealnya satu kementerian atau lembaga saja yang memberi izin perekrutan dan penempatan ABK perikanan supaya tak tumpang tindih. Diperlukan komunikasi, koordinasi, dan sinergi antar-kementerian serta lembaga supaya tak ada ego sektoral,” ujar Ratih.
Menurut dia, UU dan peraturan terkait pekerja migran perikanan belum diimplementasikan secara baik. Contohnya, calon ABK perikanan hanya mendapat informasi lowongan kerja dari media sosial, misalnya Facebook atau blog perusahaan. Padahal, menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Penempatan dan Perlindungan TKI, dinas tenaga kerja di kabupaten/kota harus menyosialisasikan permintaan pekerja migran Indonesia melalui penyuluhan.
Ada pula UU No 18/2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia yang mengatur tugas atase ketenagakerjaan, yakni memverifikasi informasi permintaan pekerja migran dari mitra usaha di negara penempatan dan dari calon pemberi kerja. Hasil verifikasi ini disampaikan pemerintah pusat ke kota/kabupaten lewat provinsi.
Yang terjadi sekarang, menurut Ratih, berbagai informasi lowongan kerja disebar oleh perusahaan-perusahaan fiktif melalui aneka saluran. ”Korbannya adalah pencari kerja yang tak terlindungi negara. Perlindungan administratif yang diamanatkan UU No 18/2017 belum berjalan, apalagi tak ada pengawasan kontrak kerja ABK perikanan terkait syarat kerja di kapal,” ujarnya.
Berbagai informasi lowongan kerja disebar oleh perusahaan-perusahaan fiktif melalui aneka saluran.
Dalam seminar daring yang diadakan Destructive Fishing Watch Indonesia, Rabu (12/8/2020), masalah perekrutan mendapat perhatian. Kepala Seksi Pengawakan Kapal Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan Zulfikar mengatakan, tak semua pekerja migran Indonesia di kapal perikanan memiliki keterampilan dan kompetensi yang sesuai.
”Mereka dijanjikan bekerja di darat, tetapi ternyata dipekerjakan di kapal penangkap ikan. Mereka bahkan tak memiliki keterampilan dasar, seperti memancing atau memperbaiki jaring,” ujar Zulfikar.
Salah satu akar persoalannya adalah perjanjian kerja laut antara pemilik kapal atau perusahaan dan pekerja dibuat dalam bahasa asing. Lusiani Yulia, Senior Program Officer Organisasi Buruh Internasional (ILO), menegaskan, perjanjian kerja laut seharusnya dibuat dengan menggunakan bahasa yang dimengerti calon pekerja.
Hal itu penting untuk membantu pekerja memahami hak dan kewajibannya ketika berada di kapal. ”Kenyataannya, mereka menandatangani perjanjian kerja laut dalam bahasa asing yang sering kali tak dipahami. Mereka tak tahu apa yang mereka tanda tangani,” katanya.
Dampaknya, mereka tak mengetahui apakah jenazah akan dilarung, dimakamkan di negara terdekat, atau dikirim kepada keluarga. Lusiani pun mendorong diratifiksinya Konvensi ILO No 188/2007 tentang Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan oleh Pemerintah Indonesia. Langkah itu penting untuk memperkuat pengawasan pekerja di sektor perikanan.
Wahyu Susilo, Direktur Eksekutif Migrant CARE, mengatakan, kerentanan pekerja migran di sektor kelautan dan perikanan bukan hal baru. Global Slavery Index yang dikeluarkan Walk Free 2014-2016 menempatkan pekerja migran kelautan dan perikanan sebagai praktik perbudakan modern terburuk.
”Dalam indeks itu, terhitung ratusan ribu ABK Indonesia berada di kapal-kapal penangkap ikan. Jika kondisinya berlangsung sampai kini, berarti tiada perbaikan,” ujar Wahyu.
Mereka tak mengetahui apakah jenazah akan dilarung, dimakamkan di negara terdekat, atau dikirim kepada keluarga.
Pemerintah Indonesia pernah ikut dalam upaya memerangi perbudakan di sektor kelautan, terutama pada era Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti. Namun, inisiatif ini lebih banyak diwujudkan di perairan Indonesia, belum meluas pada pekerja migran di kapal-kapal pencari ikan berbendera asing yang beroperasi lintas negara.
”Bisa dibayangkan, apa jadinya jika kasus itu menimpa kapal pencari ikan berbendera A, pemiliknya adalah warga negara B, dan terjadi di laut di bawah otoritas negara C atau di laut bebas,” katanya.
Namun, Wahyu mengingatkan, apa pun situasinya, negara harus tetap mampu memberikan perlindungan kepada ABK Indonesia.